Minggu, 21 November 2010

sUbKULtuR

karena subkultur di Indonesia tidak lahir dari sejarah sebuah kesadaran kelas terhadap sistem yang menindas mereka. Mereka cuma meniru apa yang menurut mereka cukup merepresentasikan keeksisan mereka.

Menurut saya, segala bentuk aksi dan busana yang ditampilkan oleh masyarakat subkultur Indonesia tak lebih dari usaha untuk mengeksiskan diri. Tentunya dengan cara mereka sendiri. Hal yang sama terjadi pada fenomena alay, mereka ingin tampil menyeruak.

Bahkan, menurut saya lagi, band2 yang gloomy, kalem, dan low-profile (dalam artian tak mau diekspos) pun dengan sendirinya akan menjadi eksis karena mereka dikenal gloomy, kalem, dan low-profile.

Subkultur imitasi Indonesia (Punk) pernah dibahas di Kompas kalau tidak salah tahun 2005, saya lupa. Indonesia emang susah sih. Liat aja Fast Food yang di Amrik jadi makanan cepat saji yang muncul karena orang2 butuh makanan yang cepat disantap oleh karena kesibukan tingkat tinggi mereka, di Indonesia jadi makanan mewah yang tak sembarang orang bisa menyantapnya. Di Amrik, Fast Food itu makanan yang murah sekaleeee...kelas pekerja yang biasa memakannya...

Kembali ke masyarakat subkultur Indonesia. Saya kira Indonesia emang baru bisa mencapai tahap meniru. Karakter masyarakatnya berbeda dengan masyarakat subkultur asli dari Inggris/Amerika. Kearifan lokal dianggap terlalu kolot dan tidak keren. Orang2 memilih beli sepatu Macbeth untuk mengeksiskan ke-Vegan-an mereka. Atau orang2 memilih pakai sepatu Vans karena mereka adalah Skater. Dan parahnya, Indonesia adalah surganya produk KW!! Orang2 kelas menengah ke bawah yang tak mampu dan tak mau beli produk ori lebih memilih produk KW daripada membeli produk lokal. Ada 2 macam produsen lokal. Produsen yang tau subkultur dan produsen yang buta subkultur.Namun, saya lihat produk lokal (so called distro products) dari produsen penyuka subkultur emang terlampau mahal juga bagi remaja lokal kita.

Think local act global kali ya...whatever lah...tapi seyogyanya sih think about local, fuck the global! berpikir demi masyarakat setempat, rusaklah tatanan global dengan membawa kawan2 lokal. Mana mampu anak pekerja bangunan penyuka Youth of Today beli celana seharga 400ribu? mungkin karena ekonomi juga sih, sebagai negara dunia ke-3, ekonomi kita kalah jauh dari negara2 maju di sana. Kurs mata uang yang paling menentukan. Kalo menurut saya sih, di Indonesia dijual sepantasnya dan selayaknya, di luar sono disesuain ama kantong mereka yang tebel karena posisi mata uang mereka yang emang lebih tinggi dari kita.

Dan yang amat parah lagi, produk2 lokal lain emang murah, tapi kualitasnya NOL BESAR...ni sebenernya yang harus digarap. Produsen lokal ini ga kenal subkultur, hanya kenal cara mendapatkan uang banyak...

Kearifan lokal Indonesia terlalu lembut untuk dijadikan alat melawan tatanan sosial kita. Kita kan terkenal sebagai bangsa yang ramah...ayo, budaya asing silakan masuk, kita terima semuanya....hahahaha
Keren mana? Pake Converse Chuck Taylor KW 150ribu atau pakai selop jawa 25ribu?hehehehe....kalo pake selop buat hang out bisa dikatain ndeso...hahaha