Sabtu, 29 Oktober 2011

Penjahit Freelance

Ini bukan sepeda tapi aku genjot. Ini bukan becak tapi bertiga roda. Ini buatku dan keluargaku bisa makan, dengan menusuk-nusuk celana orang.

Jumat, 28 Oktober 2011

Wiji is Dead!!!


Another day, another hard work
The birds still fly, and I can only berserk

There Wiji stands in the middle of the street
Waiting for the sun, even though hurt is his feet

These people know that the earth is round
But these idiot people've been lost and will never be found

They run, they run, and run and run
They rush, they rush and then they crush

The sun is so stupid it stings me in the head
I don't know how to say but Wiji is about to bet

He screams, he screams and screams and screams
They kick, he screams, they punch, Wiji stopped screaming

Wiji is dead!!
"No, not quiet," they said
Wiji is dead!!

"Dead!!!" they drank his blood.

Kamis, 27 Oktober 2011

Aku Bangsat!

Jadi terbang melayang mengumbar jalang
Tak mau kenal ayah,ibu, hidup sembarang
Bukan sengaja
Bukan dibuat-buat
Kami sengaja dibuat

Ayah...
Ibu...
Kenapa kau sisakan sampah dalam hidupku?
Sampaikan salamku pada Kakek dan Nenek, sampaikan salamku pada orangtua mereka, pada orangtuanya orangtua mereka pula, pada semua orang yang ada sebelum mereka

Aku hidup sengaja dibuat!
Menderita karena asap!
Tiap hari bercumbu tanpa boleh merasakan nikmat!
Bangsat!

Aku harus bayar utang yang kalian tinggalkan
Bukan aku tak sayang,
Bukan aku mencoba menjadi durjana,
Tapi kalian memang bangsat!

Uang kalian tak ada gunanya kalau aku harus membayar utang dengan nyawa
Uang kalian bawa saja semua!

Aku takut menjatuhkan spermaku ketika bersenggama
Aku takut anakku kelak murka pula
Aku takut disebut bangsat!


Aku mau semua hidup demi hidup sesama
Biar anak kita tak bisa menjadikan kita bangsat
Agar anak kita tak dijadikan bangsat
Oleh anak-cucunya

Selasa, 25 Oktober 2011

Uang Adalah Candu

kamu punya uang berapa?
bisakah kamu membeli surga?
aku tak punya uang
tapi setauku di surga tak perlu uang

lalu kenapa kamu bekerja?
kenapa ada bank?
kenapa orang mengumpulkan uang?
bukankah semua orang ingin ke surga?

Rabu, 06 Juli 2011

Polangtas Menjadikan Aku Terdakwa

Hari ini aku resmi menjadi terdakwa. Bukan terdakwa atas kasus pembunuhan. Pun bukan pengeboman atau pelecehan Presiden. Hari ini aku resmi menjadi terdakwa setelah "ditangkap" polisi tilang lalu lintas (polangtas). Begini ceritanya: Di sore yang gelap oleh awan mendung itu aku sedang dalam perjalanan menuju Harapan Baru, Bekasi. Dengan baju dimasukkan ke celana jins biru, berjaket hitam, dan bersepatu Vans KW I aku melintasi jalan di depan mal Ambassador yang macet bukan kepalang. Ketika hendak tiba di mulut terowongan casablanca yang konon seram di kala malam setelah lega telepas dari macet tiba-tiba aku diberhentikan oleh seorang petugas polangtas. Ternyata ada 3 atau 4 polangtas di situ, kalau aku tidak silap, yang sedang mengadakan razia.

"Selamat sore, Pak, kami dari dinas penindakan lapangan, bisa lihat surat-suratnya?" sapa seorang polangtas yang berwajah garang, legam. Tak ada kumis, tak ada jambang. Hanya keringat yang mengalir ke sana ke mari. Resamnya besar namun sedikit gembul. Seragam coklatnya ditutup rompi berwarna hijau. Aku tak dapat melihat siapa namanya.

Aku keluarkan SIM dan STNK dari dompet. Setelah mengecek surat-surat si polangtas lalu berucap, "Bapak tidak menyalakan lampu kendaraan." "Ini pasal dan dendanya," lanjutnya sambil menunjukkan satu halaman dari buku saku yang berisi pasal-pasal.

"Wah, iya ... maaf, Pak, lupa," kataku setelah terbelalak melihat jumlah denda yang seratus ribu rupiah itu.

"Jadi, gimana ini?" sepertinya ia mengajak "berdamai"..

"Saya ga bawa duit, Pak," aku berkelit berharap lepas dari cengkeraman manusia berseragam ini. "Ada cuma tujuh ribu ni," kataku sambil menunjukkan dompet yang memang kosong.

"Ga bisa, dua puluh ribu atau dua puluh lima ribu deh, cepetan, itu ada Komandannya, saya mau nangain yang lainnya," ia memburu.

Terkejut dengan ucapannya, aku berkata, "Emang kenapa kalo ada Komandan, Pak?"

Ia tak menjawab. "Ya sudah, ikut sidang aja," katanya sambil cepat-sepat menulis sesuatu di lembar surat tilang.

"Wah, Pak, ini tujuh ribu saya punyanya," ucapku sekali lagi mencoba berkelit.

"Udah, sini tanda tangan," dia menyodorkan surat tilang yang sudah terisi lengkap.

"Ga mau, Pak," aku berontak.

"Kamu ini .... Ya sudah, nih, tar diurus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," ia mengembalikan STNK sambil melampirkan surat tilang yang ia tanda tangani sendiri. "XX" tanda tangannya. SIM-ku disita.

Aku terima STNK tapi masih membujuk agar SIM-ku dikembalikan. Kucoba sodorkan uang 20ribu. Cuma sebagai pancingan, tak rela uangku melayang begitu saja ke kantong polangtas ini.

"Kamu mau nyuap ya?" ia berteriak.

Dalam hati aku tertawa. Bukankah ia tadi yang minta uang? Dari 100ribu turun menjadi 20ribu atau 25ribu.

"Ga bisa, urus di pengadilan, sudah terlanjur dibuatin surat tilang," katanya sambil melihat uang yang berwarna hijau ini. Nada sesal terdengar dari ucapannya. Ia kemudian cepat-cepat pergi untuk "menangani" pengendara lainnya.

Aku kesal. "Sial!" umpatku dalam hati.

Tak sampai semenit kemudian sang Komandan menghampiri. "Pak, motornya diminggirin dikit, tar ketabrak lho," katanya sambil tersenyum kecil.Sang Komandan regu razia ini wajahnya cool dan ganteng. Mirip anggota DPR seandainya ia berjas dan berdasi. Usianya mungkin 50-an. Tampak lebih makmur ketimbang polangtas yang menyita SIM-ku tadi.

Aku tak menghiraukan peringatannya.Kutuntun motorku melewati Pak Polangtas yang berwajah garang tadi. Ingin kufoto ia lalu kumasukkan ke catatan yang sudah kurencanakan akan kutulis ini. Namun sayang tak dapat kuambil gambarnya.

"Ngapain kamu? Banyak ulah aja," hardiknya ketika aku hendak mengambil gambarnya dengan kamera hp yang cuma 3,2 megapiksel ini. "Sudah sana, pergi," ia mengusirku.

"Loh, salah saya apa, Pak?" aku tak mau pergi.

"Ngapain foto-foto itu?" ia membentak. Ia kemudian membelakangiku, tak mau ku ambil gambarnya.

Aku lalu mengambil gambar dengan diam-diam. Polangtas lain yang berkacamata hitam mengawasiku. Aku tahu matanya mengarah padaku walau ia memakai kacamata hitam. Alhasil, jepretanku cuma satu. Itu pun nge-blur.

Aku lalu melanjutkan perjalanan dengan hati mendongkol. Kecewa dengan sikap para pengayom masyarakat itu. Memang aku pernah ditilang juga dulu. Tapi dulu jelas salahku: naik motor melawan arus. Sekarang? Lampu motor jadi alasan? Memang peraturan soal lampu motor harus menyala di siang hari sudah jadi hukum yang berlaku. Tapi aku tetap merasa ada yang aneh dengan peraturan ini. Kalau tidak salah, peraturan ini diadopsi dari negara-negara maju di mana pengendara motor adalah minoritas. Pengendara motor wajib menyalakan lampu di siang hari ketika musim dingin tiba. Hal ini berguna sekali bagi para pengendara kendaraan beroda empat karena mereka akan menjadi lebih awas oleh adanya cahaya dari lampu motor. Tapi ini Indonesia, Bung! Negara dunia ke-3, kalau tak mau dikatakan terkebelakang. Surga bagi para produsen motor. Siang bisa terik setengah mati.

Apakah angka kecelakaan lalu lintas benar bisa berkurang? Beberapa orang mengeluh kalau lampu di siang hari malah menyilaukan mata. Aki juga cepat soak. Boros energi. Dan kalau memang terbukti bisa mengurangi, kenapa Polri tidak menghubungi produsen kendaraan bermotor beroda dua agar memasang lampu nyala otomatis ketika pengendara menyetarter kendaraanya ((Daytime Running Lights )? Nanti tinggal pengendara yang mengatur tinggi-rendah arah sorotnya saja, lampu ikut menyala ketika mesin menyala.

Tentang si polangtas, kenapa tak sedari awal ia menegur soal lampu? Mungkin lain ceritanya kalau ia berkata begini: "Maaf, Pak, Anda tidak menyalakan lampu kendaraan di siang hari. Bisa saya lihat surat-suratnya?" Jadi jelas kesalahan dari awal. Dalam kasusku ia mengecek dulu surat-surat dulu. Ketika surat-surat didapati lengkap barulah ia mendaratkan dakwaan soal lampu. Wajarlah kalau aku menduga ia cuma cari-cari alasan. Dan soal "penyuapan" itu? Ha-ha-ha. Konyol sekali. Sekarang polangtas jadi punya "amunisi cadangan". Kalau surat dan onderdil kendaraan lengkap, lampu motor jadi sasaran. Aku berani bertaruh sebagian besar pengguna motor di Indonesia tidak menyalakan motor di siang hari. Entah disengaja entah tidak.

Sekianlah. Surat tilang sudah di tangan. Pengadilan menanti tanggal 17 Juni ini. "Cuma 20ribu kok di pengadilan," kata sang Komandan sebelum aku pergi meninggalkan TKP.

Ketika gurunya sewenang-wenang, Soe Hok-gie pernah berkata: "Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu". Seturut kata Hok-gie aku pun merasa demikian terhadap para polangtas ini. Mereka lebih mementingkan razia (yang hanya dilakukan oleh 3-4 petugas) padahal jalan di depan mal Ambassador yang mungkin cuma 50 meter dari TKP sedang macet semacet-macetnya. Tak secuil pun polisi ada di sana mengatur lalu lintas. Cih!

Jumat, 20 Mei 2011

Batja Toelis




Ah, lama kali tak ku goreskan sesuatu di sini. Hidup ini memang laknat. Hidup ini ironi. Lari sana-sini. Putar otak tiada henti. Dan manusia cuma bisa menghakimi. Laknat kau hidup!

Sudah kuselesaikan koreksian buku Pramoedya Ananta Toer Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid 1. Satu-satunya buah karya PAT yang bukan fiksi. Buku yang mengibakan, menyedihkan. Sedih sekali membaca pengalaman para tapol semasa pengkerdilan di Pulau Buru. Badan mereka dikerdilkan. Pun jiwa mereka. Beruntung PAT ada di sana. Beruntung bagi mereka. Kekuatan tulisan PAT sungguh mengena. Sedih di hati tak urung menyapa.

Namun kesedihan menerpa tak hanya ketika membaca bagaimana para tapol disiksa, dianiaya, dihina, dibuat tak berdaya. Sedih terasa ketika mengetahui para tentara yang bebuat semaunya. Mereka mencuri atas nama Pancasila. Mereka menyiksa atas nama Pancasila. Mereka membunuh atas nama Pancasila. Dan, agama. Menyedihkan sekali bukan? Bukan, bukan sedih yang itu. Bukan sedih terus menangis karena iba. Bukan sedih terus menangis karena terluka. Mereka menyedihkan. They're pathetic!

Begitu tak berharganya nyawa manusia sehingga bisa dimain-mainkan seperti itu. Disuruh buka lahan dengan tangan kosong. Bangun barak dengan tenaga tak berbayar. Apel. Pukul satu-satu. Tendang satu-satu. Bunuh satu-satu. Menyedihkan membayangkan para tapol dibangunkan d tengah malam. Disuruh kumpul berbaris berbanjar. Buka baju buka celana kala udara dingin Buru menerpa. Gelap malam tak bisa menutupi muka para tentara yang beringas, murka. Para tapol satu per satu ditendang kakinya. Dipukul perutnya. Dipopor kepalanya. Hey, bukankah senjata itu dibeli untuk melindungi rakyat? Sinting benar yang memberi perintah para tentara ini. Tentara sekali diberi perintah oleh atasan, benar atau salah harus dilakukan. Tentara tak boleh mengkritik atasan. Kalau mengkritik haram hukumya. Bisa hilang nyawa sia-sia. Masih mendingan PKI dengan KOKnya. Walau Tan Malaka akhirnya dicap Trotsky-nya Indonesia juga. Meski Njoto pun tak diperbolehkan ikut serta dalam rencana.

Orde Baru kala itu memang sedang sekuasa-kuasanya. Titah Jendral Suharto haruslah terlaksana. Kalau tidak buruk jadinya. Sepertinya yang sedang mejelma jadi raja jawa bukan Sukarno. Cuma raja yang satu ini konon seorang petani juga. Aku tak merasakan bagaimana hebatnya Orde Baru. Sewaktu reformasi menggema dan mencapai puncak pada 1998 aku sedang kelas 5. Waktu itu terkesima bagaimana sebuah kota bisa porak-poranda hanya dalam hitungan hari. Bukan hari, jam. Aku yang sangat nakal sewaktu kanak-kanak ikut serta, menjarah dan melempar rumah gedongan yang di luarnya tertulis kata-kata "Pribumi asli". Tak tahu aku apa arti kata-kata itu. Yang aku tahu orang-orang di sekitarku, para Mas-mas dan Pakdhe-pakdhe, pada melempari rumah, menjarahi toko, membakari mobil di jalanan. Aku ikut menjarah. Dapat beras sekarung, tapi aku tinggal. Berat, tak mampu kubawa.

Baru-baru ini konon diadakan survei dan hasilnya sungguh mengejutkan: Survei melibatkan 1.200 orang, 36,54 persen responden dari seluruh Indonesia memilih Suharto sebagai presiden favorit. Sinting! Aku memang tidak "hidup" di jaman Orde Baru. Tapi dengan membaca buku-buku soal Lekra, PKI, Udin wartawan Jogja yang malang itu, Wiji Thukul, aku tahu bagaimana Suharto memperlakukan bangsa ini. Bangsa yang konon kaya raya ini. Masih konon bagiku. Mungkin yang tahu pasti cuma Freeport, Exxon dan para anggota DPR yang lebih suka bangun gedung baru di Jakarta daripada sekolah baru di Manokwari sana. Sebentar, Manokwari di Indonesia kan ya?

Seandainya semua orang baca puisinya Chalik Hamid buat Suharto. Lain kali aku akan tulis di sini puisi yang merupakan "Doa" dari Chalik Hamid, sastrawan Lekra, yang hidupnya terlunta-lunta berkat program "Proyek Kemanusiaan, Repelita, P4, dan lainya buat sang Jendral yang selalu tersenyum itu. Akan sangat lebih baik lagi kalau mereka baca buah-buah karya PAT.

Hari ini sudah dapat Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid 2. Semoga bisa terlaksana. Terlaksana sebaik-baiknya.

Minggu, 13 Maret 2011

Fundamentalisme=taik kucing

coba main-main ke YahooAnswer di forum Agama dan Kepercayaan,isinya taik kucing semua...saling menghujat..tapi ada juga yang tak mau ambil pusing..agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu...aku makin muak pada agama dan kepercayaan...fundamentalisme religius dan fundamentalisme sekuler sama saja...taik kucing...
apalagi mereka yang memimpikan dunia yang homogen...sebenarnya mereka ga perlu bermimpi...cukup kumpulkan orang yang punya mimpi sama, bikin pernyataan tertulis pada pemerintah, minta satu pulau biar dihuni mereka sendiri, yang sistem pemerintahannya mereka anggap paling benar...ancam saja, apabila pemerintah ga mau beri pulau, mereka bakal bunuh semua orang yang berseberangan keyakinannya..kalau pemerintah ga mau beri pulau, berarti memang bebal tu pemerintah..revolusi saja, seperti yang kalian teriakkan itu...kalau berani sih...idealis aja dari dulu onanis mulu...kebanyakan diskusi..kalau revolusi, ya bikin organisasi yang merantai, koordinasi...fundamentalis kok kompromis..taik kucing...

Minggu, 06 Maret 2011

Sekali lagie terbelalak. Gie memang galak. Kalau sekarang masih hidup bagaimana jadinya? Dulu musuh "cuma" Sukarno dan duit. Sekarang Sukarno udah ga ada. Soeharto mati juga. Duit masih. Tapi ada Facebook, TV, lagu pop pesimis pasif dan optimis kontradiktif. Musuh semakin berat. Dulu ada 2 manusia: idealis dan apatis. Sekarang manusia ada 3: idealis onanis, idealis pasif, apatis. Oportunis masih ga termasuk manusia. Neraka tempatnya. Itupun jika neraka benar ada.
Hari ini melelahkan. Hari ini Minggu, tapi seperti hari biasa aku bangun jam 5, lalu bersiap-siap untuk beraktivitas. Aku ada janji bertemu kekasih, ke gereja kemudian donor darah, setelah itu dokter giginya. Ke gereja. Aktivitas ini agak malas aku melakukan. Aku di KTP beragama Katolik, tapi aku merasa agama gagal menjad alat pendisiplin manusia. Hubungan spiritual adalah personal. Aku punya tuhanku sendiri. Selama aku bisa mencapai kepuasan spiritual dengan cara lain, aku tak ragu meninggalkan ajaran yang dilolohkan sejak aku lahir itu. Aku semakin hari semakin ragu tentang keberadaan Tuhan. Aku tak membaca Alkitab, tapi aku rasa tak harus menghafalkan kitab suci itu untuk menentukan apakah percaya pada-Nya atau tidak. Realitas yang membuatku percaya akan sesuatu. Manusia semakin lama semakin hina, termasuk aku. Modernisasi semakin menjerumuskan orang pada individualisasi. Teknologi menawarkan hubungan sosial yang artifisial. Teman banyak, tapi artifisial.

Siang. Sepulang donor darah setelah selesai misa, aku pulang ke rumah kekasih. Setelah makan dan istirahat sekejap, kami berkendara ke tempat dokter gigi. Rencana semula jam 12.00 bertemu, namun ternyata si dokter menunda, bertemu jadi jam 15.30. Kami sudah di jalan. Lumayan mendongkol juga. Di jalan panas bukan kepalang, tapi inilah Jakarta. Orang-orang Jakarta sungguh menarik. Di jalanan, orang-orang sepertinya selalu diburu waktu. Mengebut adalah hal yang lumrah. Pertama kali berkendara motor di Jakarta, aku masih terbawa kebiasaan di berkendara di Jogja dan Solo, dengan moto alon-alon waton kelakon. Tapi di Jakarta, alon-alon dan kaupun pasti diklakson. Alhasil, aku jadi sering kencang, tapi tidak mengebut. Aku takut.

Setelah istirahat dan minum es campur di kos, kami kembali menuju ke tempat dokter gigi yang tadi siang menunda bertemu. Kami datang jam 15.25. Dokter masih ada pasien. Kami menunggu sampai jam 4.00. Setelah pasien yang sebelumnya keluar, giliran kekasihku diperiksa. Giginya tidak rata, ada ginsul seperti aku. Dia sudah pakai kawat gigi biar rapi sejak di Jogja. Setelah selesai kuliah, dia kerja di Jakarta. Orangtuanya tinggal di Bekasi tapi asli Jogja.

Aku menunggu sambil baca buku. Kira-kira 1 jam, dokter sudah selesai periksa. Entah diapakan, tapi uang 500 ribu rupiah harus dibayarkan sebagai biaya jasa. Aku terbelalak. Uang sebanyak itu hilang sekejap dalam 1 jam hanya untuk usaha merapikan gigi? Berapa banyak buku yang bisa dibeli dengan uang sebanyak itu? Dokter usianya 32, sepertinya hidupnya sangat berada. Dia gemuk, rambutnya ikal diikat pendek, wajahnya bulat, pakai kacamata frame hitam tampak mewah. Enak juga kerja jadi dokter. Bisa kerja pakai kaos Bali, sandal kasual. Entah berapa biaya yang dikeluarkan untuk jadi seorang dokter gig. Tapi pastinya biaya kuliah dokter gigi di Jakarta lebih mahal dari Jogja, karena dengan peralatan dan perawatan yang sama, biaya periksa gigi di Jakarta 5x lipat lebih mahal dari Jogja.

Ada banyak cerita sebenarnya. Soal pengamen jalanan, lampu lalu lintas yang agak konyol, pasar tumpah, lagu pop dan hal kecil lainnya. Tapi aku lelah. Jam 20.00 baru sampai kos. Pengen istirahat. Malu. Baru segitu udah ngos-ngosan. Indonesia padahal masih sakit. Besok semoga aku bisa cerita.

Selasa, 08 Februari 2011

Tentang Mereka, Surga dan Mereka-Mereka

Lagi-lagi berita tentang kerusuhan menjadi tajuk utama di beberapa media di negeri ini. Mesir bergejolak setelah Mubarak menolak beranjak. Rakyat Mesir tak mau berhenti menyuarakan isi hati sampai sang Presiden meutuskan untuk mengundurkan diri. Alun-alun Tahrir menjadi saksi aksi para aktivis yang berteriak menuntut Mubarak yang mereka tuduh memipin rezim yang korup dan mau menang sendiri. Bahkan ElBaradei sang Reformis pun turun tangan setelah lama pergi dari negeri Firaun itu. Militer Mesir berjanji untuk tidak menggunakan kekerasan. Dan memang mereka menepati janji itu. Polisi sedari awal sudah menjadi musuh rakyat Mesir yang menuntut Mubarak mundur. Sempat beredar kabar bahwa massa pro-Mubarak adalah para polisi berpakaian sipil dan narapidana yang dibayar. Aneh juga karena tiba-tiba massa ini muncul dan menyerang massa anti-Mubarak, sedangkan polisi tidak sebiji pun ada di tempat kejadian. Padahal sebelumnya setiap ada aksi protes, para polisi selalu siaga menjaga aksi.

Gejolak Mesir ada jauh di sana. Bahkan saya pun tak tahu berapa jarak dan waktu yang harus ditempuh untuk sampai ke sana. Saya juga tak tahu kenapa Mubarak tiba-tiba bisa menjadi sangat jahat sekali di mata saya.

Setelah berita tentang Mesir memenuhi kolom di surat kabar dan beranda di Facebook, kini giliran kelompok Islam radikal yang berjejal-jejal. FPI lagi-lagi yang beraksi. Kelompok yang mengaku siap berada di garda depan untuk membela agama Islam menuru mereka ini menyerang dan membunuh anggota Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Jawa Barat. 4 manusia kehilangan nyawa dan puluhan lainnya luka-luka akibat bentrok atas nama agama. FPI memang sudah berulang kali melancarkan serangan kepada mereka yang mereka anggap melanggar ajaran Islam menurut mereka. Salah satunya tentu adalah Ahmadiyah. Saya tidak tahu Ahmadiyah itu seperti apa, yang saya tahu mereka percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah mursyid mereka. Kepercayaan ini tentu membuat berang anggota FPI yang memang garang, sebab nabi agama Islam adalah Muhammad. Alhasil, kaum Ahmadiyah menjadi bulan-bulanan FPI, tanpa ada satupun polisi yang menjadi penengah. Padahal ketika ada demonstrasi mahasiswa kecil-kecilan saja mereka langsung pro-aktif memukuli dan menendang pantat para mahasiswa yang sebagian besar terancam DO itu. Polisi malah berdalih bahwa mereka sudah berusaha mengamankan warga Ahmadiyah, tetapi mereka malah bersikeras mempertahankan rumah dan kepercayaan mereka. Konyol juga, siapa sih yang mau rumah mereka diacak-acak, kepercayaan mereka diinjak-injak? Apa mau warga Palestina diamankan karena Israel mengancam akan terus menyerang mereka?

Belum selesai masalah di Pandeglang, kini Temanggung pun ikut berkabung. 3 gereja dibakar, gedung pengadilan dirusak, mobil polisi dijadikan bangkai oleh massa FPI. Aksi ini terjadi ketika berlangsung persidangan penistaan agama yang melibatkan Antonius Richmond Bawengan di pengadilan negeri Temanggung. Antonius didakwa melecehkan agama-agama di Indonesia, terutama Islam, lewat selebaran yang ia bagi-bagikan. Massa muslim radikal sedianya akan berujuk rasa di depan pengadilan, namun entah kenapa tiba-tiba mereka menjadi beringas.

Sudah sedemikian parahkah kemanusiaan orang-orang itu? Apa harus merusak, menginjak-injak dan bahkan membunuh untuk mengatakan bahwa mereka salah? Di mana pemerintah?

Mungkin pemerintah memang harus memberikan sebuah pulau secara sukarela kepada mereka yang memang ingin menjalankan hukum yang mereka anggap benar. Biar mereka memerintah sendiri, biar mereka menerapkan hukum mereka sendiri, biar mereka saling membunuh sendiri. Persetan dengan ancaman disintegrasi. Lebih baik mereka mendirikan negara sendiri daripada selamanya meneror manusia-manusia lain yang mereka anggap sebagai babi. Membunuh untuk masuk surga sudah tertanam dalam otak mereka masing-masing yang entah mungkin sudah tidak lagi berada di tempat yang semestinya. Apabila memang benar bisa masuk surga setelah membunuh orang-orang yang mereka anggap tai, saya tidak akan pernah mau masuk surga. Bisa-bisa saya bertemu mereka dan dibunuh di sana, karena saya adalah tai.

Kamis, 06 Januari 2011

Mau Jadi Polisi

Seorang bapak sedang bermain bola dengan putranya di pekarangan rumah. Putranya masih berumur 7 tahun, gemuk, suka bermalas-malasan.
"Dik, kalo udah gede pengen jadi apa?," tanya sang bapak.
"Mau jadi polisi, Pak?"Adik menjawab.
"Kenapa mau jadi polisi? Jadi polisi susah lho, tiap hari bangun pagi, lari-lari, ga boleh males-malesan," lanjut bapak.
"Kemarin Adik liat polisi gemuk di jalan kayak Adik, kerjanya cuma berdiri di pinggir jalan sambil ngliatin kendaraan pada macet. Kan enak, Pa,"Adik menjawab sambil tertawa riang.