Minggu, 13 Maret 2011

Fundamentalisme=taik kucing

coba main-main ke YahooAnswer di forum Agama dan Kepercayaan,isinya taik kucing semua...saling menghujat..tapi ada juga yang tak mau ambil pusing..agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu...aku makin muak pada agama dan kepercayaan...fundamentalisme religius dan fundamentalisme sekuler sama saja...taik kucing...
apalagi mereka yang memimpikan dunia yang homogen...sebenarnya mereka ga perlu bermimpi...cukup kumpulkan orang yang punya mimpi sama, bikin pernyataan tertulis pada pemerintah, minta satu pulau biar dihuni mereka sendiri, yang sistem pemerintahannya mereka anggap paling benar...ancam saja, apabila pemerintah ga mau beri pulau, mereka bakal bunuh semua orang yang berseberangan keyakinannya..kalau pemerintah ga mau beri pulau, berarti memang bebal tu pemerintah..revolusi saja, seperti yang kalian teriakkan itu...kalau berani sih...idealis aja dari dulu onanis mulu...kebanyakan diskusi..kalau revolusi, ya bikin organisasi yang merantai, koordinasi...fundamentalis kok kompromis..taik kucing...

Minggu, 06 Maret 2011

Sekali lagie terbelalak. Gie memang galak. Kalau sekarang masih hidup bagaimana jadinya? Dulu musuh "cuma" Sukarno dan duit. Sekarang Sukarno udah ga ada. Soeharto mati juga. Duit masih. Tapi ada Facebook, TV, lagu pop pesimis pasif dan optimis kontradiktif. Musuh semakin berat. Dulu ada 2 manusia: idealis dan apatis. Sekarang manusia ada 3: idealis onanis, idealis pasif, apatis. Oportunis masih ga termasuk manusia. Neraka tempatnya. Itupun jika neraka benar ada.
Hari ini melelahkan. Hari ini Minggu, tapi seperti hari biasa aku bangun jam 5, lalu bersiap-siap untuk beraktivitas. Aku ada janji bertemu kekasih, ke gereja kemudian donor darah, setelah itu dokter giginya. Ke gereja. Aktivitas ini agak malas aku melakukan. Aku di KTP beragama Katolik, tapi aku merasa agama gagal menjad alat pendisiplin manusia. Hubungan spiritual adalah personal. Aku punya tuhanku sendiri. Selama aku bisa mencapai kepuasan spiritual dengan cara lain, aku tak ragu meninggalkan ajaran yang dilolohkan sejak aku lahir itu. Aku semakin hari semakin ragu tentang keberadaan Tuhan. Aku tak membaca Alkitab, tapi aku rasa tak harus menghafalkan kitab suci itu untuk menentukan apakah percaya pada-Nya atau tidak. Realitas yang membuatku percaya akan sesuatu. Manusia semakin lama semakin hina, termasuk aku. Modernisasi semakin menjerumuskan orang pada individualisasi. Teknologi menawarkan hubungan sosial yang artifisial. Teman banyak, tapi artifisial.

Siang. Sepulang donor darah setelah selesai misa, aku pulang ke rumah kekasih. Setelah makan dan istirahat sekejap, kami berkendara ke tempat dokter gigi. Rencana semula jam 12.00 bertemu, namun ternyata si dokter menunda, bertemu jadi jam 15.30. Kami sudah di jalan. Lumayan mendongkol juga. Di jalan panas bukan kepalang, tapi inilah Jakarta. Orang-orang Jakarta sungguh menarik. Di jalanan, orang-orang sepertinya selalu diburu waktu. Mengebut adalah hal yang lumrah. Pertama kali berkendara motor di Jakarta, aku masih terbawa kebiasaan di berkendara di Jogja dan Solo, dengan moto alon-alon waton kelakon. Tapi di Jakarta, alon-alon dan kaupun pasti diklakson. Alhasil, aku jadi sering kencang, tapi tidak mengebut. Aku takut.

Setelah istirahat dan minum es campur di kos, kami kembali menuju ke tempat dokter gigi yang tadi siang menunda bertemu. Kami datang jam 15.25. Dokter masih ada pasien. Kami menunggu sampai jam 4.00. Setelah pasien yang sebelumnya keluar, giliran kekasihku diperiksa. Giginya tidak rata, ada ginsul seperti aku. Dia sudah pakai kawat gigi biar rapi sejak di Jogja. Setelah selesai kuliah, dia kerja di Jakarta. Orangtuanya tinggal di Bekasi tapi asli Jogja.

Aku menunggu sambil baca buku. Kira-kira 1 jam, dokter sudah selesai periksa. Entah diapakan, tapi uang 500 ribu rupiah harus dibayarkan sebagai biaya jasa. Aku terbelalak. Uang sebanyak itu hilang sekejap dalam 1 jam hanya untuk usaha merapikan gigi? Berapa banyak buku yang bisa dibeli dengan uang sebanyak itu? Dokter usianya 32, sepertinya hidupnya sangat berada. Dia gemuk, rambutnya ikal diikat pendek, wajahnya bulat, pakai kacamata frame hitam tampak mewah. Enak juga kerja jadi dokter. Bisa kerja pakai kaos Bali, sandal kasual. Entah berapa biaya yang dikeluarkan untuk jadi seorang dokter gig. Tapi pastinya biaya kuliah dokter gigi di Jakarta lebih mahal dari Jogja, karena dengan peralatan dan perawatan yang sama, biaya periksa gigi di Jakarta 5x lipat lebih mahal dari Jogja.

Ada banyak cerita sebenarnya. Soal pengamen jalanan, lampu lalu lintas yang agak konyol, pasar tumpah, lagu pop dan hal kecil lainnya. Tapi aku lelah. Jam 20.00 baru sampai kos. Pengen istirahat. Malu. Baru segitu udah ngos-ngosan. Indonesia padahal masih sakit. Besok semoga aku bisa cerita.