Jumat, 20 Mei 2011

Batja Toelis




Ah, lama kali tak ku goreskan sesuatu di sini. Hidup ini memang laknat. Hidup ini ironi. Lari sana-sini. Putar otak tiada henti. Dan manusia cuma bisa menghakimi. Laknat kau hidup!

Sudah kuselesaikan koreksian buku Pramoedya Ananta Toer Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid 1. Satu-satunya buah karya PAT yang bukan fiksi. Buku yang mengibakan, menyedihkan. Sedih sekali membaca pengalaman para tapol semasa pengkerdilan di Pulau Buru. Badan mereka dikerdilkan. Pun jiwa mereka. Beruntung PAT ada di sana. Beruntung bagi mereka. Kekuatan tulisan PAT sungguh mengena. Sedih di hati tak urung menyapa.

Namun kesedihan menerpa tak hanya ketika membaca bagaimana para tapol disiksa, dianiaya, dihina, dibuat tak berdaya. Sedih terasa ketika mengetahui para tentara yang bebuat semaunya. Mereka mencuri atas nama Pancasila. Mereka menyiksa atas nama Pancasila. Mereka membunuh atas nama Pancasila. Dan, agama. Menyedihkan sekali bukan? Bukan, bukan sedih yang itu. Bukan sedih terus menangis karena iba. Bukan sedih terus menangis karena terluka. Mereka menyedihkan. They're pathetic!

Begitu tak berharganya nyawa manusia sehingga bisa dimain-mainkan seperti itu. Disuruh buka lahan dengan tangan kosong. Bangun barak dengan tenaga tak berbayar. Apel. Pukul satu-satu. Tendang satu-satu. Bunuh satu-satu. Menyedihkan membayangkan para tapol dibangunkan d tengah malam. Disuruh kumpul berbaris berbanjar. Buka baju buka celana kala udara dingin Buru menerpa. Gelap malam tak bisa menutupi muka para tentara yang beringas, murka. Para tapol satu per satu ditendang kakinya. Dipukul perutnya. Dipopor kepalanya. Hey, bukankah senjata itu dibeli untuk melindungi rakyat? Sinting benar yang memberi perintah para tentara ini. Tentara sekali diberi perintah oleh atasan, benar atau salah harus dilakukan. Tentara tak boleh mengkritik atasan. Kalau mengkritik haram hukumya. Bisa hilang nyawa sia-sia. Masih mendingan PKI dengan KOKnya. Walau Tan Malaka akhirnya dicap Trotsky-nya Indonesia juga. Meski Njoto pun tak diperbolehkan ikut serta dalam rencana.

Orde Baru kala itu memang sedang sekuasa-kuasanya. Titah Jendral Suharto haruslah terlaksana. Kalau tidak buruk jadinya. Sepertinya yang sedang mejelma jadi raja jawa bukan Sukarno. Cuma raja yang satu ini konon seorang petani juga. Aku tak merasakan bagaimana hebatnya Orde Baru. Sewaktu reformasi menggema dan mencapai puncak pada 1998 aku sedang kelas 5. Waktu itu terkesima bagaimana sebuah kota bisa porak-poranda hanya dalam hitungan hari. Bukan hari, jam. Aku yang sangat nakal sewaktu kanak-kanak ikut serta, menjarah dan melempar rumah gedongan yang di luarnya tertulis kata-kata "Pribumi asli". Tak tahu aku apa arti kata-kata itu. Yang aku tahu orang-orang di sekitarku, para Mas-mas dan Pakdhe-pakdhe, pada melempari rumah, menjarahi toko, membakari mobil di jalanan. Aku ikut menjarah. Dapat beras sekarung, tapi aku tinggal. Berat, tak mampu kubawa.

Baru-baru ini konon diadakan survei dan hasilnya sungguh mengejutkan: Survei melibatkan 1.200 orang, 36,54 persen responden dari seluruh Indonesia memilih Suharto sebagai presiden favorit. Sinting! Aku memang tidak "hidup" di jaman Orde Baru. Tapi dengan membaca buku-buku soal Lekra, PKI, Udin wartawan Jogja yang malang itu, Wiji Thukul, aku tahu bagaimana Suharto memperlakukan bangsa ini. Bangsa yang konon kaya raya ini. Masih konon bagiku. Mungkin yang tahu pasti cuma Freeport, Exxon dan para anggota DPR yang lebih suka bangun gedung baru di Jakarta daripada sekolah baru di Manokwari sana. Sebentar, Manokwari di Indonesia kan ya?

Seandainya semua orang baca puisinya Chalik Hamid buat Suharto. Lain kali aku akan tulis di sini puisi yang merupakan "Doa" dari Chalik Hamid, sastrawan Lekra, yang hidupnya terlunta-lunta berkat program "Proyek Kemanusiaan, Repelita, P4, dan lainya buat sang Jendral yang selalu tersenyum itu. Akan sangat lebih baik lagi kalau mereka baca buah-buah karya PAT.

Hari ini sudah dapat Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid 2. Semoga bisa terlaksana. Terlaksana sebaik-baiknya.