Rabu, 06 Juli 2011

Polangtas Menjadikan Aku Terdakwa

Hari ini aku resmi menjadi terdakwa. Bukan terdakwa atas kasus pembunuhan. Pun bukan pengeboman atau pelecehan Presiden. Hari ini aku resmi menjadi terdakwa setelah "ditangkap" polisi tilang lalu lintas (polangtas). Begini ceritanya: Di sore yang gelap oleh awan mendung itu aku sedang dalam perjalanan menuju Harapan Baru, Bekasi. Dengan baju dimasukkan ke celana jins biru, berjaket hitam, dan bersepatu Vans KW I aku melintasi jalan di depan mal Ambassador yang macet bukan kepalang. Ketika hendak tiba di mulut terowongan casablanca yang konon seram di kala malam setelah lega telepas dari macet tiba-tiba aku diberhentikan oleh seorang petugas polangtas. Ternyata ada 3 atau 4 polangtas di situ, kalau aku tidak silap, yang sedang mengadakan razia.

"Selamat sore, Pak, kami dari dinas penindakan lapangan, bisa lihat surat-suratnya?" sapa seorang polangtas yang berwajah garang, legam. Tak ada kumis, tak ada jambang. Hanya keringat yang mengalir ke sana ke mari. Resamnya besar namun sedikit gembul. Seragam coklatnya ditutup rompi berwarna hijau. Aku tak dapat melihat siapa namanya.

Aku keluarkan SIM dan STNK dari dompet. Setelah mengecek surat-surat si polangtas lalu berucap, "Bapak tidak menyalakan lampu kendaraan." "Ini pasal dan dendanya," lanjutnya sambil menunjukkan satu halaman dari buku saku yang berisi pasal-pasal.

"Wah, iya ... maaf, Pak, lupa," kataku setelah terbelalak melihat jumlah denda yang seratus ribu rupiah itu.

"Jadi, gimana ini?" sepertinya ia mengajak "berdamai"..

"Saya ga bawa duit, Pak," aku berkelit berharap lepas dari cengkeraman manusia berseragam ini. "Ada cuma tujuh ribu ni," kataku sambil menunjukkan dompet yang memang kosong.

"Ga bisa, dua puluh ribu atau dua puluh lima ribu deh, cepetan, itu ada Komandannya, saya mau nangain yang lainnya," ia memburu.

Terkejut dengan ucapannya, aku berkata, "Emang kenapa kalo ada Komandan, Pak?"

Ia tak menjawab. "Ya sudah, ikut sidang aja," katanya sambil cepat-sepat menulis sesuatu di lembar surat tilang.

"Wah, Pak, ini tujuh ribu saya punyanya," ucapku sekali lagi mencoba berkelit.

"Udah, sini tanda tangan," dia menyodorkan surat tilang yang sudah terisi lengkap.

"Ga mau, Pak," aku berontak.

"Kamu ini .... Ya sudah, nih, tar diurus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," ia mengembalikan STNK sambil melampirkan surat tilang yang ia tanda tangani sendiri. "XX" tanda tangannya. SIM-ku disita.

Aku terima STNK tapi masih membujuk agar SIM-ku dikembalikan. Kucoba sodorkan uang 20ribu. Cuma sebagai pancingan, tak rela uangku melayang begitu saja ke kantong polangtas ini.

"Kamu mau nyuap ya?" ia berteriak.

Dalam hati aku tertawa. Bukankah ia tadi yang minta uang? Dari 100ribu turun menjadi 20ribu atau 25ribu.

"Ga bisa, urus di pengadilan, sudah terlanjur dibuatin surat tilang," katanya sambil melihat uang yang berwarna hijau ini. Nada sesal terdengar dari ucapannya. Ia kemudian cepat-cepat pergi untuk "menangani" pengendara lainnya.

Aku kesal. "Sial!" umpatku dalam hati.

Tak sampai semenit kemudian sang Komandan menghampiri. "Pak, motornya diminggirin dikit, tar ketabrak lho," katanya sambil tersenyum kecil.Sang Komandan regu razia ini wajahnya cool dan ganteng. Mirip anggota DPR seandainya ia berjas dan berdasi. Usianya mungkin 50-an. Tampak lebih makmur ketimbang polangtas yang menyita SIM-ku tadi.

Aku tak menghiraukan peringatannya.Kutuntun motorku melewati Pak Polangtas yang berwajah garang tadi. Ingin kufoto ia lalu kumasukkan ke catatan yang sudah kurencanakan akan kutulis ini. Namun sayang tak dapat kuambil gambarnya.

"Ngapain kamu? Banyak ulah aja," hardiknya ketika aku hendak mengambil gambarnya dengan kamera hp yang cuma 3,2 megapiksel ini. "Sudah sana, pergi," ia mengusirku.

"Loh, salah saya apa, Pak?" aku tak mau pergi.

"Ngapain foto-foto itu?" ia membentak. Ia kemudian membelakangiku, tak mau ku ambil gambarnya.

Aku lalu mengambil gambar dengan diam-diam. Polangtas lain yang berkacamata hitam mengawasiku. Aku tahu matanya mengarah padaku walau ia memakai kacamata hitam. Alhasil, jepretanku cuma satu. Itu pun nge-blur.

Aku lalu melanjutkan perjalanan dengan hati mendongkol. Kecewa dengan sikap para pengayom masyarakat itu. Memang aku pernah ditilang juga dulu. Tapi dulu jelas salahku: naik motor melawan arus. Sekarang? Lampu motor jadi alasan? Memang peraturan soal lampu motor harus menyala di siang hari sudah jadi hukum yang berlaku. Tapi aku tetap merasa ada yang aneh dengan peraturan ini. Kalau tidak salah, peraturan ini diadopsi dari negara-negara maju di mana pengendara motor adalah minoritas. Pengendara motor wajib menyalakan lampu di siang hari ketika musim dingin tiba. Hal ini berguna sekali bagi para pengendara kendaraan beroda empat karena mereka akan menjadi lebih awas oleh adanya cahaya dari lampu motor. Tapi ini Indonesia, Bung! Negara dunia ke-3, kalau tak mau dikatakan terkebelakang. Surga bagi para produsen motor. Siang bisa terik setengah mati.

Apakah angka kecelakaan lalu lintas benar bisa berkurang? Beberapa orang mengeluh kalau lampu di siang hari malah menyilaukan mata. Aki juga cepat soak. Boros energi. Dan kalau memang terbukti bisa mengurangi, kenapa Polri tidak menghubungi produsen kendaraan bermotor beroda dua agar memasang lampu nyala otomatis ketika pengendara menyetarter kendaraanya ((Daytime Running Lights )? Nanti tinggal pengendara yang mengatur tinggi-rendah arah sorotnya saja, lampu ikut menyala ketika mesin menyala.

Tentang si polangtas, kenapa tak sedari awal ia menegur soal lampu? Mungkin lain ceritanya kalau ia berkata begini: "Maaf, Pak, Anda tidak menyalakan lampu kendaraan di siang hari. Bisa saya lihat surat-suratnya?" Jadi jelas kesalahan dari awal. Dalam kasusku ia mengecek dulu surat-surat dulu. Ketika surat-surat didapati lengkap barulah ia mendaratkan dakwaan soal lampu. Wajarlah kalau aku menduga ia cuma cari-cari alasan. Dan soal "penyuapan" itu? Ha-ha-ha. Konyol sekali. Sekarang polangtas jadi punya "amunisi cadangan". Kalau surat dan onderdil kendaraan lengkap, lampu motor jadi sasaran. Aku berani bertaruh sebagian besar pengguna motor di Indonesia tidak menyalakan motor di siang hari. Entah disengaja entah tidak.

Sekianlah. Surat tilang sudah di tangan. Pengadilan menanti tanggal 17 Juni ini. "Cuma 20ribu kok di pengadilan," kata sang Komandan sebelum aku pergi meninggalkan TKP.

Ketika gurunya sewenang-wenang, Soe Hok-gie pernah berkata: "Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu". Seturut kata Hok-gie aku pun merasa demikian terhadap para polangtas ini. Mereka lebih mementingkan razia (yang hanya dilakukan oleh 3-4 petugas) padahal jalan di depan mal Ambassador yang mungkin cuma 50 meter dari TKP sedang macet semacet-macetnya. Tak secuil pun polisi ada di sana mengatur lalu lintas. Cih!