Kamis, 30 April 2009

MERDEKA!!

Kondisi sosial ekonomi politik Indonesia sampai saat ini masih jauh dari kondisi berkembang secara nasional dan mewabah. Indonesia menjadi Jawa-sentris dengan daerah lain menjadi anak tiri, jauh dari kata terjamah. Status daerah otonomi hanya menciptakan ruang gerak baru bagi aktivis korupsi sisa-sisa orde baru dengan dalih memajukan daerah untuk memajukan negara. Semua hanya omong kosong, tak ubahnya diplomat jago lobi yang telah lulus dari perguruan silat lidah dengan predikat cum laude. Gelar Honoris Causa tanpa pertanggungan jawab disertasi. Pemekaran wilayah menjadi tren yang populer dan menjadi agenda para pemikir di tingkat regional dalam usahanya mengembangkan wilayahnya, baik secara kuantitas maupun kualitas. “Kami menjadi propinsi maka kami akan bisa lebih berkembang.” Begitu mereka berargumen. Setelah itu, mungkin mereka berkata “Lakukan jajak pendapat di wilayah kami!”. Dialektika yang terjadi hanya menjadi medan tempur antara pendemo melawan -saya lebih suka menyebutnya dengan polisi jadi – jadian- satpol pamong praja yang tak mustahil berakhir dengan menetesnya darah dan air mata. Kondisi keterceraiberaian yang terjadi sekarang ini sangat kontras bila dibandingkan dengan masa revolusi mengusir sang pemerkosa, sang penjajah. Saat itu semangat ingin merdeka menjadi zat pengumpulsatu bangsa Indonesia dengan bendera Merah Putih sebagai generator pemberi energi. Setiap orang rela berkorban demi tercapainya kelahiran negara Indonesia. Setelah pencapaian yang berakhir dengan statistik korban fajar revolusi yang tak terhingga, terbitlah matahari pembawa harapan, Indonesia Merdeka!! Semangat pembebasan diteruskan dengan semangat harapan akan kemajuan. Para praktisi dan politisi berlomba – lomba memberikan ide untuk terciptanya bangsa yang maju dan sejahtera. Pemimpin pembuka jalan diganti, sistem ekonomi turut direvolusi , dijejali limbah kontroversi. Semuanya hanya untuk satu tujuan, kesejahteraan bersama. Ironisnya, hingga detik ini kesejahteraan hanya menjadi milik segelintir orang saja. Dimana semangat kebersamaan yang dulu pernah jaya? Setting yang telah turut berevolusi ikut turut serta menjadi penyebab konflik vertikal – horizontal ini. Pada masa pembebasan, musuh utama berada di luar yang mengancam integritas negara-bangsa, sehingga konsentrasi bisa lebih terfokus dalam pergerakan. Di jaman kapitalisme global sekarang ini, musuh menjadi lebih kompleks dan canggih. Mulai dari korupsi, eksklusivitas, dan yang paling mengancam, kebobrokan sistem dan moral akibat ekonomi korporasi bertajuk globalisasi, yang disebut sebut sebagai sosok pembaharu dunia.

Suara gema reformasi yang diteriakkan ketika hendak melengserkan Soeharto yang dituduh menjadi biangnya koruptor di Indonesia, hanya menjadi dengungan lebah setelah hampir 10 tahun reformasi ini berjalan. Transisi menuju negara demokrasi akhirnya menjadi mimpi yang tak pasti. Indonesia masih akrab dengan stagnasi!! Saat ini, kita membutuhkan zat pengumpulsatu untuk mencapai pembebasan tahap kedua. Pembebasan dari hegemoni kapitalisme global. Kaum muda yang menjadi tulang punggung negara diharapkan mempunyai semangat pemberontak yang kritis, yang tidak hanya merayakan ulang tahun NKRI dengan lomba balap karung 17-an dan parade band, namun mencoba menyikapi dengan gerakan nyata melanjutkan cita-cita para pahlawan yang telah gugur di medan laga. Arus peradaban memang sangat deras mencoba menyeret, namun persenjatailah diri dengan kapal tempur yang siap melawan gelombang pasang untuk akhirnya selamat menepi dari bahaya tenggelam. Tidak ada yang tidak mungkin bila darah belum mengering. Toh batu nisan akan segera menghampiri, cepat atau lambat. Setidaknya berbuatlah sesuatu demi negara-bangsa sebelum malaikat maut menyapa. Perubahan mendasar adalah mutlak. Masanya kaum tua sudah mencapai stasiun perhentian terakhir, mereka harus segera turun dari kereta sebelum kondektur dan masinis menendang mereka keluar dari kereta. Rakyatlah (baca : kaum muda) masinis dan kondektur itu.. Seperti halnya kaum muda pada tahun 1945 yang berinisiatif “menculik” Soekarno untuk kemudian menjadikannya Sang Proklamator, kaum muda pada jaman kapitalisme global ini harus berinisiatif meretas jalan masa depan dengan menyikapi akibat yang disebabkan oleh layar monitor 21 inch yang menghiasi hampir setiap ruang tamu di setiap rumah dengan lebih bijak. Jangan hanya membeo, bermata namun tak melihat, bertelinga namun tak mendengarkan, berperasaan namun tak bertindak. Resistensi diperlukan untuk mencapai tujuan menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera sepenuhnya.

Jumat, 17 April 2009

Terbunuhnya Harapan

Petang di bukit yang tak pernah menjadi Golgota

Silau sang mentari tlah sedikit terselimuti bongkahan awan-awan berwarna jingga

Tatap sinisnya seakan berkata:

“Sudah, aku lelah..lelah akan flora dan fauna, lelah akan manusia, lelah akan dunia…

esok hari kan kusiram mereka panas yang lebih dari tubuhku biar mampus sekalian!!”

Selembar daun tertiup angin, kering, terhempas dari galangannya deras menghujam menuju tanah, namun akhirnya terangkat lagi ke atas seakan menolak untuk membelai tanah yang semakin lama semakin tak layak disebut tanah.

Seonggok tinja terdiam memojok menebar bau anyir seakan darah perawan 15 tahun yang keluar percuma akibat tersenggol telunjuk penguasa, menanti air mata dewa khayangan pertanda guyuran hujan akan segera datang hingga ia dapat segera mengakhiri hidupnya yang hanya menebar bau, tak lebih hanya bau.

Segerombol tikus tanah tengah berkumpul, mungkin sedang mendiskusikan filosofi ateisme karena merasa Tuhan tak memihak mereka, ataukah sedang merapatkan barisan untuk menjalankan teori konspirasi agar dapat segera mengakhiri krisis pangan yang mendera ladang milik petani yang setiap hari mereka curi

Perlahan tapi pasti, seakan enggan namun tak dapat melawan, sang mentari akhirnya kembali ke peraduan, pergi sambil meludah, memberi tanda bahwa dia masih belum puas untuk….membunuh…harapan….

Berbahagialah kita yang tak diundang ke perjamuannya sebab dia sudah menyiapkan ribuan cawan berisi anggur cap Orang Tua milik Patih Sengkuni yang sengaja disisakan untuk memberi kejutan pada para ksatria yang senantiasa memberi arti pada pasukan jiwa terbelakang yang ternyata selalu berada di garda depan, tegak menantang, bersenjatakan pena dan toa

Jadikah datang sang purnama?

Purnama yang lembut, redup tak menutup, hangat tak menyengat.

Ooh, betapa indahnya bila hanya ada purnama yang menguasai angkasa, purnama yang bijaksana, purnama yang berwibawa, purnama yang tak berfatamorgana

Selasa, 14 April 2009

PEMILU 2009 gagal!!

PEMILU legislatif 2009 gagal? Wacana tentang kegagalan PEMILU legislatif 2009 kerap dimunculkan di tengah – tengah masyarakat setelah banyaknya kejadian-kejadian yang seolah menjadi sinyal ketidaksiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mengorganisir event terbesar lima tahunan terbesar di Indonesia ini. Mulai dari belum datangnya logistik PEMILU di sebagian daerah di Indonesia Timur, kecurigaan tentang rekayasa daftar Daftar Pemilih Tetap (DPT), politik uang para caleg yang tidak mampu di pantau KPU, sampai kerusuhan yang melanda Papua di hari H PEMILU yang mengakibatkan gedung rektorat Universitas Cendrawasih hangus akibat di bakar massa yang diduga hendak memboikot PEMILU.

Mengacu pada fakta di lapangan tentang persiapan PEMILU, masyarakat memang pantas meragukan kesiapan KPU. Bahkan Gus Dur, sang Guru Besar salah satu partai yang sedang dilanda perpecahan internal, PKB, lebih memilih Golput sebab beliau dengan tegas berpendapat bahwa PEMILU legislatif 2009 ini memang belum siap digelar dan hendaknya ditunda sampai permasalahan yang berkaitan mampu diselesaikan.

Fenomena Golput yang selalu menghiasi setiap PEMILU di Indonesia menjadi semakin nyata keberadaannya pada PEMILU kali ini. Teman – teman saya yang sebagian besar mahasiswa rantau dari luar daerah Yogyakarta lebih memilih untuk tidak memilih sebab biaya yang digunakan untuk mudik dan balik dirasa tidak sepadan dengan kepentingan memilih pemimpin masa depan. Mereka cenderung apatis. Alasan klise dari para kolega saya adalah memilih ataupun tidak, toh mereka yang terpilih tetap saja tidak mamu membuktikan janji-janji mereka semasa kampanye, dan korupsi malah menjadi tujuan akhir semata di dalam gedung dewan untuk mengembalikan dana kampanye yang bisa mencapai ratusan juta rupiah guna memuluskan jalan mereka ke Senayan. Satu alasan lain untuk menjadi Golput adalah hari saat PEMILU diadakan tepat di tengah – tengah minggu masa ujian tengah semester. Mereka berargumen, daripada bolak – balik ke rumah, lebih baik tetap di kos, mencoba konsentrasi menghadapi ujian.

Nah, pesta PEMILU legislatif 2009 ini memang tidak keras terdengar gaung meriahnya bila dibandingkan PEMILU sebelumnya. PEMILU yang seharusnya menjadi pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia seakan kehlangan gregetnya. PEMILU seolah menjadi biro tenaga kerja yang menyalurkan para pekerjanya ke Senayan dengan syarat mereka yang punya uang lebih, jalannya akan lebih mulus daripada mereka yang pas – pasan. Saya sendiri heran, di kampung tempat saya tinggal terhitung ada 10 orang yang menjadi caleg. Padahal, sebagian besar dari mereka saya lihat masih awam soal dunia politik. Bukannya saya tidak mengakui kapabilitas mereka, namun pakah memang benar mudah sekali menjadi caleg di PEMILU kali ini? Sistem penyaringan dari internal partai di Indonesia menjadi satu hal alasan saya untuk menjadi skeptis akan kesuksesan PEMILU. Masyarakat menjadi obyek yang seakan mudah dibodohi oleh program – program kerja dari setiap partai. Hanya dengan sembako atau uang bensin 10 ribu rupiah, masyarakat berbondong-bondong datang ke lapangan untuk menghadiri kampanye partai. Ironisnya, anak kecil yang tidak tahu menahu soal ini juga turut serta menyaksikan kampanye yang menjadi semakin ironis karena dihiasi joget erotis penyanyi dangdut yang juga seolah menjadi magnet penarik masyarakat dating menghadiri kampanye.

Ajang PEMILU yang seharusnya menjadi ajang penentuan masa depan Negara seolah hanya menjadi ajang rutinitas lima tahunan memperebutkan kekuasaan sehingga berbagai cara dihalalkan untuk mencapai kursi Senayan. Saya yakin, PEMILU Pemilihan Pilpres (PilPres) 2009 pun tak jauh bedanya dengan PEMILU legislatif 2009. Oleh sebab itu, saya lebih suka memvonis PEMILU legislatif 2009 ini dengan segel besi besar bertuliskan GAGAL!!

Senin, 13 April 2009

DARAH JUANG

Ketika itu langit berwarna merah berserabut jingga kehitaman. Sanyoto duduk terdiam di kursi taman berwarna hitam dengan peluh mengalir mewarnai mukanya yang bulat dan penuh luka bekas jerawat. Badannya yang basah penuh keringat terlihat jelas dari kaos tipis warna putih bertuliskan MARJINAL. Jari – jari di tangan kanannya sibuk memainkan rokok dengan melewatkannya diantara jari manis dan telunjuk kemudian sesekali menghisapnya dengan perlahan. Tatapannya lurus menuju sebuah pemandangan yang menggugah hatinya. Di hadapannya, sekumpulan anak sedang bermain – main dengan riang gembira menikmati senja. Seorang gadis kecil berambut sepinggang tampak ceria bermain kejar – kejaran dengan dua bocah laki – laki yang bertelanjang kaki berlari kesana – kemari. Mereka begitu gembira, seakan tiada beban yang dipanggul. Lari, jongkok, lari lagi, tertawa lepas terbahak- bahak sampai tersedak. Sanyoto jadi teringat masa kanak – kanaknya. Di sebuah perkampungan kumuh di sebuah kota di Indonesia yang semakin hari kian padat penduduknya ia tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mandiri dan berbudi. Bapaknya dulu sering berkata “Jadi orang itu ya apa adanya, tetapi semua hal jangan diterima apa adanya, sebab pasti ada hal lain yang mengikutinya.” Kalimat itu terbang mengiang di gendang Sanyoto, seakan memberi peringatan yang tidak boleh tidak, harus dituruti. Bapaknya adalah seorang saudagar yang cukup terpandang di kampungnya. Boleh dibilang keluarganya adalah yang paling kaya di antara keluarga lain di lingkungan itu. Bisnis makelar mobil yang dipenuhi taktik jitu permainan kata-kata ala politisi digeluti Bapak Sanyoto sejak 25 tahun yang lalu. Sanyoto bersama kedua orang adiknya hidup berkecukupan berkat usaha Bapaknya. Sanyoto tak berminat meneruskan usaha Bapaknya. Menurutnya, pekerjaan itu tak akan memuaskan hasratnya sebagai seorang manusia yang ingin memaknai hidup. Hidup menjadi buruh perusahaan tekstil memang sudah menjadi pilihannya, walau keluarganya menentang keras. Ia ingin berjuang dari bawah, merasakan getir hidup agar kelak ia lebih bijak dalam memaknai hidup yang hanya singkat. Jamak ia melihat penderitaan di sekitar tempat tinggalnya. Pemulung, pedagang asongan, buruh pabrik berkumpul menjadi satu di situ. Hidup mereka jauh dari kata layak. Tumbuh rasa simpati di hati Sanyoto melihat derita mereka.

Sanyoto baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai buruh sebuah perusahaan tekstil terkemuka di kota kelahirannya. Sudah 10 tahun ia bekerja, namun tak mendapat apa-apa setelah dipecat. Tak ada pesangon, gaji terakhir pun tak masuk ke kantong. Hanya karena meminta kenaikan gaji, tunjangan hidup sebagai penghargaan atas keringatnya yang selama 10 tahun ia peras, ia dipecat oleh atasannya. Sebulan yang lalu, bersama ketigapuluh temannya yang seangkatan, ia mendatangi kantor atasannya untuk menuntut hak mereka. Bukannya sambutan hangat, malah semprotan dan makianlah yang mereka dapatkan.

“Sudah untung kalian masih bisa bekerja disini selama 10 tahun, kalau mau gaji lebih, cari pekerjaan lain saja, babi!” kalimat itu membuat nyali ketigapuluh temannya ciut sehingga mereka mengurungkan niatnya.

Sebagai seorang yang bermental baja didikan orangtuanya, Sanyoto terus mendesak atasannya. Hingga akhirnya, dua kata sakti keluar dari mulut atasannya yang beraroma busuk, “Kau dipecat!” Ia tak habis pikir, merenungi nasibnya yang begitu buruk. Kini, ia tak tahu lagi bagaimana cara menghidupi Sarinah, istrinya, serta Harjuna putra tunggalnya yang tengah menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama. Sanyoto memang kurang beruntung karena ia sedang hidup di jaman yang serba terbalik. Ia berenang melawan arus, namun justru tenggelam. Teman – temannya yang terbawa arus, justru selamat.

Sanyoto berkata dalam hatinya, “Dunia ini memang kejam, dunia ini tidak adil, dunia ini gila.” Tak habis pikir ia, perjuangannya mendapatkan hak sebagai manusia di dunia terhempas oleh kuasa segelintir manusia yang mungkin mewarisi pokok pikiran Mussolini yang bermediasi dengan ide gila Machiavelli. Sebagai buruh kecil, Sanyoto hanya ingin satu hal, memberikan harapan bagi keluarganya. Namun apa yang terjadi sungguh membuat ironi berdiri, harapan itu mati seiring hilangnya mata pencaharian yang menjadi tulang belakang tempat ia mengais rejeki. “Apakah benar kita tak bisa sedikit meneriakkan resistensi? Apakah kita hanya harus menurut saja? Lalu bagaimana dengan kehidupan keluarga apabila semua yang kudapat setelah memeras keringat hanya cukup untuk membeli beras seikat?” Pertanyaan-pertanyaan itu seakan-akan terus datang menghantam bagaikan palu godam ke dada Sanyoto.

Sebatang rokok telah habis diserap paru-paru, Sanyoto mengeluarkan lagi sebatang untuk kemudian dihisap perlahan. Kali ini ia melayangkan pandangannya ke atas. Cahaya langit mulai tampak redup, hanya menunggu waktu matahari akan berganti posisi dengan bulan. Lampu-lampu taman yang berwarna kuning remang-remang mulai dihidupkan, menambah aroma kegalauan hati Sanyoto. Ia bertanya pada Tuhan, “Aku ini hambaMu, aku rajin berdoa dan beribadah, namun kenapa kesengsaraan ini Kau kirimkan padaku?” Sanyoto putus asa, ia mulai meragukan kesanggupanNya menolong umatNya. “Huffhh…” Sanyoto menghela napas panjang. Ia memeriksa uang yang tersisa di dalam dompet, ia menghitung “enam puluh dua ribu tiga ratus rupiah.” Ia lapar. Namun tentunya istri dan anak semata wayangnya juga sedang kelaparan di rumah menunggu kedatangannya untuk membawakan makanan, seperti hari-hari biasanya. Sanyoto menjadi semakin galau, ia menghidupan lagi sebatang rokok. Dimainkan sekali rokok itu melewati jari-jari tangannya. Ia gelisah, enggan beranjak dari singgasananya.

Berpikir ia mencoba mencari solusi. Di bawah kakinya, ia melihat dua ekor semut hitam sedang memperebutkan secuil remahan roti. Mereka berbeda ukuran satu sama lain. Tampaknya semut yang besar akan memenangkan pertarungan tak seimbang ini. Dia menendang-nendang dan mencoba merebut remahan roti itu. Namun, tanpa diduga, si semut kecil tiba-tiba bangkit, menyenggolkan sungutnya ke kepala si semut besar, kemudian lari mengumandangkan kemenangan sambil menyunggi remahan roti yang tampaknya menjadi semakin kecil akibat terpecah-pecah, tersenggol pergumulan sengit kedua semut tersebut. Si semut besar kelihatan meringis kesalitan sambil berjalan tertatih-tatih meninggalkan arena pertempuran. Sambil sesekali menengok ke belakang, ke arah si semut kecil berlari ambli tertawa cekikikan, si semut besar tampak mengeluh sambil mengumpat menyesali kesialannya. Seakan mendapat pencerahan, Sanyoto berteriak dalam hati, “Benar, aku harus kembali menghadap atasanku esok hari”. Aku akan terus berjuang. Aku tidak bisa selamanya diinjak-injak, kan kukerahkan semua yang aku punyai, aku harus mendapatkan semua yang menjadi hakku sebagai manusia,” kali ini mantap ia berteriak, mengeluarkan sesak di hati, memecah keheningan senja di taman kota yang mulai sepi ditinggal para pengunjungnya.