Senin, 13 April 2009

DARAH JUANG

Ketika itu langit berwarna merah berserabut jingga kehitaman. Sanyoto duduk terdiam di kursi taman berwarna hitam dengan peluh mengalir mewarnai mukanya yang bulat dan penuh luka bekas jerawat. Badannya yang basah penuh keringat terlihat jelas dari kaos tipis warna putih bertuliskan MARJINAL. Jari – jari di tangan kanannya sibuk memainkan rokok dengan melewatkannya diantara jari manis dan telunjuk kemudian sesekali menghisapnya dengan perlahan. Tatapannya lurus menuju sebuah pemandangan yang menggugah hatinya. Di hadapannya, sekumpulan anak sedang bermain – main dengan riang gembira menikmati senja. Seorang gadis kecil berambut sepinggang tampak ceria bermain kejar – kejaran dengan dua bocah laki – laki yang bertelanjang kaki berlari kesana – kemari. Mereka begitu gembira, seakan tiada beban yang dipanggul. Lari, jongkok, lari lagi, tertawa lepas terbahak- bahak sampai tersedak. Sanyoto jadi teringat masa kanak – kanaknya. Di sebuah perkampungan kumuh di sebuah kota di Indonesia yang semakin hari kian padat penduduknya ia tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mandiri dan berbudi. Bapaknya dulu sering berkata “Jadi orang itu ya apa adanya, tetapi semua hal jangan diterima apa adanya, sebab pasti ada hal lain yang mengikutinya.” Kalimat itu terbang mengiang di gendang Sanyoto, seakan memberi peringatan yang tidak boleh tidak, harus dituruti. Bapaknya adalah seorang saudagar yang cukup terpandang di kampungnya. Boleh dibilang keluarganya adalah yang paling kaya di antara keluarga lain di lingkungan itu. Bisnis makelar mobil yang dipenuhi taktik jitu permainan kata-kata ala politisi digeluti Bapak Sanyoto sejak 25 tahun yang lalu. Sanyoto bersama kedua orang adiknya hidup berkecukupan berkat usaha Bapaknya. Sanyoto tak berminat meneruskan usaha Bapaknya. Menurutnya, pekerjaan itu tak akan memuaskan hasratnya sebagai seorang manusia yang ingin memaknai hidup. Hidup menjadi buruh perusahaan tekstil memang sudah menjadi pilihannya, walau keluarganya menentang keras. Ia ingin berjuang dari bawah, merasakan getir hidup agar kelak ia lebih bijak dalam memaknai hidup yang hanya singkat. Jamak ia melihat penderitaan di sekitar tempat tinggalnya. Pemulung, pedagang asongan, buruh pabrik berkumpul menjadi satu di situ. Hidup mereka jauh dari kata layak. Tumbuh rasa simpati di hati Sanyoto melihat derita mereka.

Sanyoto baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai buruh sebuah perusahaan tekstil terkemuka di kota kelahirannya. Sudah 10 tahun ia bekerja, namun tak mendapat apa-apa setelah dipecat. Tak ada pesangon, gaji terakhir pun tak masuk ke kantong. Hanya karena meminta kenaikan gaji, tunjangan hidup sebagai penghargaan atas keringatnya yang selama 10 tahun ia peras, ia dipecat oleh atasannya. Sebulan yang lalu, bersama ketigapuluh temannya yang seangkatan, ia mendatangi kantor atasannya untuk menuntut hak mereka. Bukannya sambutan hangat, malah semprotan dan makianlah yang mereka dapatkan.

“Sudah untung kalian masih bisa bekerja disini selama 10 tahun, kalau mau gaji lebih, cari pekerjaan lain saja, babi!” kalimat itu membuat nyali ketigapuluh temannya ciut sehingga mereka mengurungkan niatnya.

Sebagai seorang yang bermental baja didikan orangtuanya, Sanyoto terus mendesak atasannya. Hingga akhirnya, dua kata sakti keluar dari mulut atasannya yang beraroma busuk, “Kau dipecat!” Ia tak habis pikir, merenungi nasibnya yang begitu buruk. Kini, ia tak tahu lagi bagaimana cara menghidupi Sarinah, istrinya, serta Harjuna putra tunggalnya yang tengah menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama. Sanyoto memang kurang beruntung karena ia sedang hidup di jaman yang serba terbalik. Ia berenang melawan arus, namun justru tenggelam. Teman – temannya yang terbawa arus, justru selamat.

Sanyoto berkata dalam hatinya, “Dunia ini memang kejam, dunia ini tidak adil, dunia ini gila.” Tak habis pikir ia, perjuangannya mendapatkan hak sebagai manusia di dunia terhempas oleh kuasa segelintir manusia yang mungkin mewarisi pokok pikiran Mussolini yang bermediasi dengan ide gila Machiavelli. Sebagai buruh kecil, Sanyoto hanya ingin satu hal, memberikan harapan bagi keluarganya. Namun apa yang terjadi sungguh membuat ironi berdiri, harapan itu mati seiring hilangnya mata pencaharian yang menjadi tulang belakang tempat ia mengais rejeki. “Apakah benar kita tak bisa sedikit meneriakkan resistensi? Apakah kita hanya harus menurut saja? Lalu bagaimana dengan kehidupan keluarga apabila semua yang kudapat setelah memeras keringat hanya cukup untuk membeli beras seikat?” Pertanyaan-pertanyaan itu seakan-akan terus datang menghantam bagaikan palu godam ke dada Sanyoto.

Sebatang rokok telah habis diserap paru-paru, Sanyoto mengeluarkan lagi sebatang untuk kemudian dihisap perlahan. Kali ini ia melayangkan pandangannya ke atas. Cahaya langit mulai tampak redup, hanya menunggu waktu matahari akan berganti posisi dengan bulan. Lampu-lampu taman yang berwarna kuning remang-remang mulai dihidupkan, menambah aroma kegalauan hati Sanyoto. Ia bertanya pada Tuhan, “Aku ini hambaMu, aku rajin berdoa dan beribadah, namun kenapa kesengsaraan ini Kau kirimkan padaku?” Sanyoto putus asa, ia mulai meragukan kesanggupanNya menolong umatNya. “Huffhh…” Sanyoto menghela napas panjang. Ia memeriksa uang yang tersisa di dalam dompet, ia menghitung “enam puluh dua ribu tiga ratus rupiah.” Ia lapar. Namun tentunya istri dan anak semata wayangnya juga sedang kelaparan di rumah menunggu kedatangannya untuk membawakan makanan, seperti hari-hari biasanya. Sanyoto menjadi semakin galau, ia menghidupan lagi sebatang rokok. Dimainkan sekali rokok itu melewati jari-jari tangannya. Ia gelisah, enggan beranjak dari singgasananya.

Berpikir ia mencoba mencari solusi. Di bawah kakinya, ia melihat dua ekor semut hitam sedang memperebutkan secuil remahan roti. Mereka berbeda ukuran satu sama lain. Tampaknya semut yang besar akan memenangkan pertarungan tak seimbang ini. Dia menendang-nendang dan mencoba merebut remahan roti itu. Namun, tanpa diduga, si semut kecil tiba-tiba bangkit, menyenggolkan sungutnya ke kepala si semut besar, kemudian lari mengumandangkan kemenangan sambil menyunggi remahan roti yang tampaknya menjadi semakin kecil akibat terpecah-pecah, tersenggol pergumulan sengit kedua semut tersebut. Si semut besar kelihatan meringis kesalitan sambil berjalan tertatih-tatih meninggalkan arena pertempuran. Sambil sesekali menengok ke belakang, ke arah si semut kecil berlari ambli tertawa cekikikan, si semut besar tampak mengeluh sambil mengumpat menyesali kesialannya. Seakan mendapat pencerahan, Sanyoto berteriak dalam hati, “Benar, aku harus kembali menghadap atasanku esok hari”. Aku akan terus berjuang. Aku tidak bisa selamanya diinjak-injak, kan kukerahkan semua yang aku punyai, aku harus mendapatkan semua yang menjadi hakku sebagai manusia,” kali ini mantap ia berteriak, mengeluarkan sesak di hati, memecah keheningan senja di taman kota yang mulai sepi ditinggal para pengunjungnya.