Selasa, 12 Mei 2009

Resistensi total

Kita mungkin sering berandai – andai, apa yang akan terjadi pada kita di masa depan. Punya pekerjaan , berkeluarga, hidup mapan. Sebuah jawaban yang klise bila ada pertanyaan apa yang menjadi harapan kita sepuluh atau dua puluh tahun kelak.
Satu hal yang menarik, pernahkah kita berpikir apa yang akan terjadi pada negara kita, atau bahkan dunia kita sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang? Mungkin sempat terbersit pikiran kita buat apa memikirkan yang lain padahal ngurus diri sendiri saja belum becus. Bila kita berpikir seperti itu, maka kita tak ubahnya wujud dari penjelmaan monster – monster kapitalis yang bertindak atas dasar kekuasaan, harta, neraka. Saya harus kaya dan sejahtera yang lain terserah mereka. Begitulah intinya. Memang sebagai manusia kita tak lepas dari sifat ego sentris, namun apabila kita bisa mengontrol komputer, kenapa kita tidak bisa mengontrol sifat egois yang notabene tertanam dalam diri kita sendiri yang seharusnya kita pahami sepenuhnya? Dunia sekarang ini penuh dengan isu yang hangat dibicarakan, mulai dari konflik di Timur Tengah, Global Warming, sampai PEMILU di Amerika Serikat. Isu yang ketiga sangat menarik bagi saya. Mendebarkan, begitu saya menyebutnya. Pernahkah Anda berpikir bahwa kita hidup di Indonesia ini belum benar – benar bisa hidup dengan bebas, tanpa ada intervensi pihak asing? Dalam hal ini, saya sedang bicara soal negara adikuasa Amerika Serikat yang sekarang ini masih dipimpin Yang Mulia Paduka Baginda Raja George W. Bush. Bersyukurlah kita dia sudah tidak bisa memimpin Amerika Serikat lagi di masa yang akan datang. Semoga sang pembawa harapan yang pernah tinggal di Indonesia berdarah Afrika bernama Barrack Obama bisa bertindak lebih manusiawi dan tidak ada tendensi untuk melakukan tindakan konyol yang merugikan negara yang lain. Semoga beliau memberi menifestasi pada slogan “Yes, we can” nya ke Indonesia. Negara Amerika Serikat yang notabene dulu juga adalah negara jajahan, sekarang menjadi negara yang besar, megah, kaya, angkuh, dan serakah. Kita di Indonesia, menyebutnya sebagai negara “Barat”. “Barat” bukanlah pembicaraan tentang geografis, sebab Australia pun ada di Timur, namun tetap saja mereka adalah bagian dari dunia Barat, melainkan sebuah dunia yang penuh dengan negara dunia pertama, sedangkan kita adalah bagian dari negara dunia ketiga. Sebuah pengakuan atas superioritas mereka yang sulit saya masukkan dalam kamus besar wacana saya. Dunia Barat, dunianya kaum maju, dunianya kaum terpelajar. Sedangkan dunia Timur, terdapat sekumpulan anak – anak kecil yang begitu mudahnya dibodohi, diberi permen untuk kemudian diambil baju dan celananya oleh mereka yang telah dewasa. Mengapa dulu Plato memberi kuliah di Yunani? Kenapa tidak di Nabire saja? Atau mengapa Edison melahirkan terang di Amerika Serikat? Kenapa bukan Suprapto saja yang mendapatkan anugerah menyemarakkan malam? Pertanyaan yang menjadi semacam penyesalan atas keinferioritasan kita di depan mereka. Dunia Barat dan dunia Timur yang diciptakan oleh kaum feodal dan kapitalis menjalarkan efek hegemoni bagi seluruh orang di dunia. Kita sedang dijajah!! Bahkan seniman yang memproklamirkan diri sebagai oposisi terhadap kaum penghisap bisa menjadi budak kapitalis global dengan menjadikan media seni sebagai ajang jualan komoditas memenuhi selera pasar. Amerika Serikat sebagai negara satu – satunya yang berstatus adikuasa di dunia punya kuasa absolut, seakan menjadi tangan kanan Tuhan dalam mengatur dunia secara global. Orang Amerika minum Coca Cola, makan di Mc Donald dan belanja di mal – mal supermewah maka kita juga melakukan hal yang sama seperti mereka, agar dianggap keren dan kaya seperti mereka. Paradigma yang bodoh, tolol, bebal, tak punya harga diri! Pembelian status semacam ini menjadi fenomena tersendiri di kalangan kaum muda. Kembali ke masalah Pemilu di Amerika Serikat, yang dibahas di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia sebab memang, pesta yang katanya demokrasi di sana menjadi penentu masa depan dunia. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pengaruh Amerika Serikat ada di setiap segmen masyarakat di seluruh dunia. Amerika Serikat adalah PBB dan PBB adalah Amerika Serikat, itulah maksud saya. Hegemoni kapitalisme global Amerika lah yang sekarang menjadi raja dan rakyat jelata harus memberi upeti agar hidupnya nyaman walau kadang tertekan. Kompromi atau mati! Intervensi Amerika Serikat sudah ada di negara ini sejak perang dunia yang berkecamuk dan melibatkan banyak negara. Yang terparah, menurut buku kesaksian Soebandrio tentang G-30-S, negara ini berada di balik kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto untuk menggulingkan pemerintahan pro-kiri Soekarno yang notabene adalah musuh terbesar kapitalis Amerika, hasil dari testimoni dokumen Gilchrist. Menurut saya, pengaruh Amerika memang sangat kental ketika Soeharto menjabat sebagai Presiden. Banyak perusahaan dari sana berinvestasi dan mendirikan pabrik – pabrik penghisap di sini, Caltex, Freeport dan kawan- kawan yang lainnya yang menamakan diri mereka proyek (menculik istilah biologi) simbiosis mutualisme. Mereka untung, “kita” juga untung. “Kita” bukanlah rakyat Indonesia. “Kita” adalah segelintir oknum yang menjadi pecundang, melacurkan diri pada uang dan kekuasaan. Dengan kedok kerjasama ekonomi, pabrik penghisap yang terkutuk ini menghisap kaum jelata dan sedikit mencipratkan hisapannya ke kaum konglomerat kapitalis lokal di Indonesia Apa jadinya jika Bung Karno, Sang Proklamator yang sangat anti kapitalis Amerika tetap menjadi Presiden bahkan sampai seumur hidup? (Tap MPRS 1963) -Untuk diketahui, pengangkatan Soekarno menjadi Presiden seumur hidup bukan atas kehendaknya sendiri, namun atas usulan perwira AD sendiri, Brigjen Suhardiman.- Amerika Serikat dengan mesin penghisapnya pasti tidak akan bisa menancapkan kuku – kuku mereka yang tajam di tanah pertiwi ini. Bung Karno dengan serta merta pasti berkata sekali lagi, “Go to Hell with Your Aid”, jika Amerika Serikat menawarkan dalih bantuannya. Intinya, Amerika Serikat telah berhasil dengan sukses gilang gemilang menjadi Tuan tanah di negeri kita tercinta ini, berkat jasa Soeharto menghadirkan mereka di tengah – tengah kita. Saya tidak sedang menyalahkan Soeharto, sebab bukan tidak mungkin Amerika datang ke sini sebagai bagian program imperialisme liberal modern dengan sendirinya seiring dengan perkembangan setting dunia soial politik dan ekonomi dunia. Namun bukan tidak mungkin pula kita bisa seperti Venezuela, atau Kuba dan bahkan rakyat Chiapas yang dengan tegas menolak intervensi Amerika Serikat. Secara tidak sadar, kita semua, termasuk saya, kecuali masyarakat pedalaman yang hidup dalam suasana utopis sedang berada dalam kungkungan skema pasar Amerika. Sekarang, terserah pada diri kita sendiri. Apakah kita mau menjadi tawanan di negara sendiri ataukah kita dengan semangat Merah Putih warisan Pangeran Diponegoro, Thomas Matulessi, ataupun Tan Malaka mau menjadi pemberontak dengan tangan kita sendiri, meretas jalan masa depan bagi Indonesia tercinta. Jangan hanya meneriakkan resistensi, namun jalankanlah resistensi itu!!