Sabtu, 30 Januari 2010

Toleransi dan Emosi



Ketika melihat program berita di Metro TV tentang adanya bentrok antara para warga Solo dan para suporter fanatik kesebelasan Persebaya, Bonek, yang berasal dari Surabaya di sekitar wilayah Solo terutama di Stasiun Jebres dan Stasiun Purwosari, saya tertegun sekaligus penasaran untuk mengetahui detil berita tersebut. Headline “Bonek buat ulah di Solo” menarik hati saya untuk menyimak berita itu dengan cermat. Bonek yang merupakan kependekan dari Bondo Nekat seakan terasa pas untuk merepresentasikan kelakuan mereka yang seakan tanpa takut dosa atau mereka memang ateis, merampok para pedagang, melempari kaca stasiun dan berteriak-teriak mengumpat sambil membanggakan eksistensi mereka sebagai suporter terbaik di Indonesia, di tengah ironis hukuman dari PSSI yang melarang mereka mendampingi Persebaya di laga tandang.
Perjalanan Bonek dari Surabaya memang bertujuan untuk mendukung Persebaya yang melakukan lawatan ke Bandung untuk melawan Persib Bandung di laga lanjutan ISL. Namun aksi mulia mereka ternoda oleh tingkah laku ala kaum bar-bar beberapa oknum suporter. Mereka berargumen bahwa wargalah yang memulai pelemparan batu ke arah mereka. Namun, saya bertanya-tanya dalam hati bagaimana mereka bisa menemukan batu di dalam kereta untuk membalas pelemparan batu? Pastilah mereka telah membawa “bekal” dari rumah masing-masing. Salah seorang saksi mata yang merupakan petugas stasiun mengatakan mereka turun dari kereta dan mengambil batu setiap kereta berhenti di stasiun-stasiun. Alhasil, genteng pecah, kaca retak, bahkan kepala berlumur darah mewarnai wilayah yang dilewati oleh kereta yang mereka tumpangi secara gratis karena dibiayai oleh Walikota Surabaya. GILA! Walikota membiayai mereka, padahal mereka tengah dihukum oleh Komdis PSSI.
Perjalanan pulang dari Bandung, mereka sudah ditunggu oleh para warga yang siap membawa batu-batu, kayu, bahkan molotov di tangan untuk kemudian dihantamkan pada Bonek. Amarah warga Solo sudah mencapai puncaknya, mengingat ulah Bonek di Solo ini bukan yang pertama kalinya. Tahun lalu, Ibu dari seorang teman saya menjadi korban ketika tas berisi baju-baju baru yang sedianya dihadiahkan pada anak-anak sebagai tanda kasih sayang dirampas dengan ganas. Menurut informasi yang didapat, rombongan Bonek akan datang dalam 3 kloter. Kloter pertama datang diperkirakan lewat Solo pada pukul 10.00. Para warga sudah berkumpul di sepanjang rel kereta api dari jam 08.00. Saya berada di Jogja ketika rombongan pertama dengan suksesnya dilempari batu, kayu, dan molotov. Rombongan kedua diperkirakan akan lewat pukul 16.00. Saya pulang ke Solo naik kereta Prambanan Ekspress pada pukul 13.00. Ketika kereta yang saya tumpangi hendak masuk Stasiun Purwosari, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, kerumunan warga yang siap dengan senjata di tangan menunggu kereta yang membawa rombongan Bonek. Saya berniat untuk ikut menonton adegan anarkis ini, namun hujan yang turun membuat rasa malas menyerang dan memborgol rasa ingin tahu saya. Saya urungkan niat untuk menonton aksi brutal massa.
Malamnya, saya berkumpul bersama teman-teman sambil menggunjingkan peristiwa siang tadi. Kebetulan, dua teman saya ikut dalam peristiwa tragis yang mengakibatkan 2 orang meninggal dan 60 lainnya luka-luka itu. Ketika mereka sedang asyik bercerita tentang bagaimana polisi yang berjaga memperingati seorang warga yang membawa batu yang besarnya seukuran ban luar mobil sedan Jepang dengan berkata “Ojo sing kui watune, mengko ndak mati. Watu siing luwih cilik wae.” (Artinya, “Jangan batu yang itu, nanti bisa mati. Batu yang lebih kecil saja” Polisi itu berkata demikian sambil memberikan batu seukuran kepalan tangan Arnold sang Terminator. Tampaknya polisi ini jengkel juga dengan ulah suporter Bonek. ) seorang tetangga rumah lewat dan mengajak untuk menanti kedatangan kloter ke 3 Bonek pada pukul 22.00. Karena saya memang ingin tahu dan ingin melihat langsung “keunikan” warga Solo ini, saya pun bersemangat menghasut teman-teman yang tampaknya agak sedikit malas, karena hujan sedikit memerciki tanah Solo malam itu. Sesampainya di tempat yang menjadi ajang pertemuan para warga itu, saya terhenyak melihat betapa buanyaknya warga yang berkumpul. Kira-kira ada 200an orang berkumpul di situ. Itu baru di satu tempat, belum di tempat lainnya. Suasana malam yang mendung ikut mendukung terciptanya suasana mencekam malam itu. Bau ban yang terbakar sedikit banyak membuat adrenalin mengalir menuju otak, menunggu momen yang saya nantikan.
Ketika portal kereta api menutup, tanda bahwa akan ada kereta yang lewat, para warga bersiap-siap. Sambil berteriak membangkitkan nyali, mereka memukul-mukul tiang listrik yang berada di situ, seakan memberi irama pada emosi warga yang membara. Penjual gudheg yang berada di pojokan rel terpaksa tutup lebih dini, takut terkena imbas emosi warga. Suara kereta yang mendekat membuat jantung saya berdegup kencang. Rasa ingin tahu mengalahkan rasa takut yang menghinggapi. Ketika moncong kereta terlihat, para warga sontak melempar batu-batu di genggaman mereka. Namun, ternyata kereta yang lewat adalah kereta Pertamina yang bergerbong tabung membawa BBM. Saya syok sekaligus tertawa geli melihat para warga yang terlanjur melancarkan serangan pada kereta yang tak bersalah ini.
Sampai jam 24.00 kereta yang ditunggu tak kunjung datang. Beberapa warga berkata bahwa kereta telah terbakar di Stasiun Balapan, tempat perhentian sebelum Stasiun Jebres tempat kami menanti. Saya bersama teman-teman langsung menuju kesana, membuktikan omongan beberapa warga tersebut. Sesampai di Stasiun Balapan, saya tidak melihat kepulan asap maupun kerumunan warga di sana. Saya bersama teman-teman memutuskan untuk kembali ke tempat semula. Suasana menjadi ricuh ketika para warga tak kunjung mendapatkan kereta yang menjadi target mereka. Memasuki pukul 01.00 di tengah rel kereta para warga membentuk lingkaran seakan melakukan rapat koordinasi. Salah satu warga yang tampaknya adalah seorang pentolan di sana berkata bahwa Bonek telah turun di Stasiun Balapan dan diangkut ke Terminal Tirtonadi untuk kemudian diberangkatka menuju Kota Pahlawan. Mendengar hal tersebut, para warga memutuskan untuk menuju Tirtonadi dan melakukan sweeping untuk menemukan keberadaan Bonek sekaligus memberikan pelajaran pada mereka. Sambil menguap, saya memutuskan untuk mengajak teman-teman untuk kembali ke rumah mengingat kereta yang dinanti tak akan datang.
Esok harinya, saya googling di internet mencari berita tentang kejadian semalam. Di salah satu website, saya menemukan berita yang mengejutkan. Ternyata benar ada kereta yang dibakar massa di Stasiun Balapan. Namun kereta itu bukanlah kereta yang ditumpangi oleh Bonek. Kereta yang bernama Gaya Baru Malam itu merupakan kereta yang ditumpangi penumpang pada umumnya. Walau ada kecurigaan bahwa beberapa Bonek turut serta, namun penumpang biasa tak sedikit menjadi korban emosi warga.
Sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan bagi saya. Melihat warga Solo bergerombol menggabungkan kekuatan amarah massa. Mendengar warga Solo meneriakkan emosi yang tak terjaga. Membau ban yang di bakar guna meninggikan adrenalin ke kepala. Merasakan ironi negeri tercinta. Membuktikan paradoksal hidup dengan mata kepala. Mempertanyakan arti eksistensi dan harga diri yang bergumul dengan emosi dan toleransi tak bermakna.