Kamis, 15 Juli 2010

Omong Kosong!!

Riwayat menjalan
Mangkus karena ramuan yang dinamainya proses
Proses bagi kami adalah menjelang makanan
Setelah itu baru bersebadan

Bersebadan tanpa makanan adalah menulis tanpa pikiran
Omong kosong kata mereka kosong

Abu-abu saja yang mereka bicarakan
Cium sana jlat sini
Jabat tangan, berpelukan sambil berbisik, "Duitku ojo lali yo..."
Hasil adalah uang
dan pesakitan

Pesakitan yang menjalar
Kepada mereka yang baru datang
Tapi kami tidak!
Omong kosong kata mereka kosong

Ide-ide yang dinamainya proses
Proses mereka mirip keadilan
mirip kemanusiaan

Uang itu dilirik dan dibau
Andai hidung bisa melihat, uang pasti yng disantap baunya
Omong kosong kata mereka kosong

Selasa, 13 Juli 2010

Amerika dan Kebebasan Artifisial Internet



Negara Amerika Serikat terkenal sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, kebebasan dalam berpendapat, sebagai sebuah asas dasar yang mutlak bagi negara. Seringkali mereka mempropagandakan sekaligus mengelu-elukan demokrasi yang mereka bawa sebagai yang terbaik di dunia. Alhasil, negara-negara lain yang mereka anggap tidak mengimplementasikan sistem demokrasi yang baik di dalam pemerintahan akan serta merta “dikunjungi” dan “diberi arahan” untuk mempraktekkan demokrasi yang baik. Dulu rakyat Guatemala, Brazil, hingga Chili dibiarkan penuh peluh. Kemudian Irak menjadi murid yang dibuat patuh. Dan baru-baru ini, Presiden penuh harapan Barrack Obama, yang secara konyol dibangunkan sebuah patung di daerah Menteng sebelum akhirnya diprotes salah satu Ormas keren di Jakarta sehingga dipindahkan ke bekas SDnya –SDN Menteng 01 Jakpus yang juga secara konyol hendak memberikan kartu alumni kepadanya, mengebiri kenyataan bahwa Obama tidak keluar dari SD tersebut dengan status lulus-, dalam sebuah pidatonya ketika bertemu dengan warga keturunan Kuba di Amerika Serikat secara terang-terangan bercerita bahwa ia ingin memberikan pengenalan demokrasi pada rakyat Kuba yang tidak pernah kenal apa itu demokrasi. Seakan Amerika adalah polisi dunia yang mempunyai hak menetapkan apa yang baik dan apa yang tidak, siapa yang menjadi malaikat dan siapa yang menjadi iblis. Semoga mereka sadar jika malaikat pencabut nyawa itu juga tergolong sebagai malaikat.

Amerika Serikat yang juga terkenal mempunyai teknologi tingkat tinggi melebihi negara lain menjadi surga bagi kaum kapitalis yang pada dasarnya selalu ingin mencium bau harum uang dan teman akrabnya, kekuasaan. Oleh sebab itu, demokrasi yang diusung di Amerika itu sebenarnya adalah demokrasinya kaum kapitalis. Logika kekuasaan berenang bebas di sana. Seperti yang terkandung di What Uncle Sam Really Wants karya Chomsky, sebuah studi inter-American yang dipublikasikan oleh Royal Institute of International Affairs di London menyimpulkan bahwa demokrasi adalah proyek terselubung kaum kapitalis. Ketika para pebisnis terancam, demokrasi harus bergerak. Bila mereka aman, pembunuh dan penyiksa tidak akan turun tangan. Marx dulu pernah berkelakar, bahwa negara hanya akan menjadi alat bagi kaum kapitalis. Dan kelakarnya ternyata dianggap serius oleh Amerika yang menganggapnya punya kredit 6 SKS jadi mereka harus serius mempraktekkannya.

Amerika yang menjadi polisi dunia tentu saja harus mengetahui keadaan dunia yang “dijaganya”. Dinas intelijen CIA dikenal sebagai organisasi yang kuat, pintar, dan punya akses ke mana saja (mungkin negara semacam Kuba dan Iran tak masuk daftar), tak terkecuali Indonesia. CIA mungkin saja berperan sebagai agen mata-mata dunia yang punya kemampuan melihat negara mana saja yang bisa diberi permen untuk kemudian ditelanjangi. Coba buka situs CIA, kemudian di kotak search ketik “Indonesia”. The world factbook tentang Indonesia terpampang jelas di sana. Rubrik Pengenalan, Geografi, Ekonomi, Militer, hingga Isu Transnasional tentang Indonesia ada di situ. Walaupun belum di update, namun seluk beluk singkat Indonesia ada di situ. Kalau seluk beluk ini ada di ensiklopedia, bolehlah kita anggap itu suatu hal yang biasa. Konon, di basis data CIA, mereka punya lebih banyak data. Bukan hanya tentang Indonesia, namun juga seluruh dunia. Hal ini karena teknologi internet yang jamak diakses setiap orang di dunia ternyata berasal dari sana. ARPA dari MIT yang pada dasarnya proyek prestisius untuk menyaingi SPUTNIK milik Uni Soviet menjadi tonggak perkembangan internet. ARPA yang menjadi cikal bakal internet adalah milik Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Tidak mustahil, internet digunakan oleh Amerika untuk mengawasi dunia. Koran harian Tempo pernah memberitakan bahwa CIA mengalirkan dana ke Visible Technologies, perusahaan pengembang aplikasi untuk memantau apa saja isi Twitter, Flickr, YouTube, Blog, Chat dan forum-forum di internet. Itu yang bisa diendus media. Belum termasuk Top Secret yang ada di agenda CIA. Jadi, semua posting, status, tweet, video, gambar, dan semua bentuk tulisan yang ada di internet pada dasarnya akan menjadi milik CIA. Data tentang rencana Kaus Merah Thailand, rencana nasionalisasi Chavez, hingga rencana demo buruh semua akan direkam oleh CIA apabila ada aktivitas di internet seperti surat elektronik yang terkait dengan hal di atas.

Hal ini seperti membalik efek sistem Panopticon yang dicetuskan oleh Jeremy Bentham seorang filsuf Inggris yang kemudian diadopsi oleh Foucault di salah satu karyanya yang berjudul Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977). Pada dasarnya, Panopticon adalah sebuah penjara yang didesain untuk mendisiplinkan tahanan lewat sistem yang membuat para tahanan merasa sedang diawasi. Oleh Foucoult, Panopticon dikaitkan dengan sistem yang dipergunakan oleh institusi lain seperti rumah sakit, militer, pabrik, sekolah, dan bahkan institusi yang lebih besar seperti negara selain penjara. Dengan Panopticon, kesadaran masyarakat bahwa mereka sedang diawasi memperlancar berfungsinya logika kekuasaan. Walaupun pengawasan sebenarnya tidak berkesinambungan, namun terdapat kesan yang menyebabkan sifat permanen pengawasan dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalam institusi. Oleh karena itu, pendisplinan dapat dilakukan secara maksimal. Namun dalam kasus ini, Amerika yang menempatkan menara-menara pengawas ke seluruh penjuru dunia membalik efek dari sistem Panopticon. Amerika yang mengawasi dunia seakan-akan membiarkan masyarakat dunia merasa bebas. Lewat internet, orang bebas menuliskan apapun. Ajakan untuk mogok kerja, propaganda sosialisme, hingga rencana demonstrasi penolakan gerakan konglomerasi Amerika yang dimuat di internet menjadi santapan lezat Amerika. Sebuah antitesis pastinya telah disiapkan oleh mereka. Mereka tidak membuat efek “sedang diawasi”. Hal ini mungkin karena sistem paksaan pendisiplinan untuk membentuk tubuh yang mampu dikontrol dengan baik tidak bisa dilakukan seiring berkembangnya tingkat kecerdasan masyarakat dunia dan terutama sikap kritis dan skeptis yang diarahkan pada Amerika. Bukan mustahil, terjadi pemberontakan dari kelompok-kelompok yang merasa tertindas karena “diawasi”. Masyarakat sebenarnya, dan seharusnya, tahu bahwa Amerika dengan kapitalismenya kian menjadi-jadi, merongrong kehidupan setiap orang.
Kapitalisme Amerika memang semakin berkembang, beradaptasi lewat kuasa yang dipunya. Teknologi yang mereka punya tak pelak membuat negara lain kalah telak. Indonesia yang konon adalah negara yang kaya sumber daya alamnya dikelola sedemikian rupa oleh Amerika sehingga rakyat masih banyak yang menderita. Amerika mungkin mengaku tak mempunyai mata-mata, namun kepala mereka yang mempunyai hidung, telinga, dan mulut selain mata yang menempel telah disebar ke penjuru dunia. Salah satunya lewat internet. Internet yang ternyata hanya menyajikan kebebasan artifisial. Mengutip jargon bang napi, waspadalah waspadalah!!

Tabik

Minggu, 04 Juli 2010

Mengamini dan mengimani mitos (Cerita Mbah Priok)

Kegiatan baru cukup menyita waktu dan tenaga. Tak sempat sehingga menulis dan membuka ide baru. Baiklah saya unggah "tugas" di kegiatan baru saya ini. He-he-he...


Di zaman internet ini ternyata mitos masih menjadi ihwal yang berkelindan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Satu hal yang menarik adalah orang-orang di Indonesia, bahkan sekelas presiden, bisa dengan mudah mengamini dan mengimani suatu cerita yang berbau mitos.
Peristiwa di Tanjung Priok menjadi contoh sempurna. Makam sarat kerancauan fakta yang membuncah dipercaya sebagai kebenaran oleh orang-orang yang telanjur terkena mitos sensasi Mbah Priok. Pengkultusan Mbah Priok bahkan mengakibatkan pelanggaran sempadan kemanusiaan.

Agama menjadi meme yang paling efektif dalam hal ini. Massa menolak penggusuran makam karena mereka telah terinfeksi meme bahwa Mbah Priok adalah seorang penyiar Islam. Sebagai pemeluk agama Islam, tentu mereka membela habis-habisan. Bila mereka mati, toh, mereka masuk surga karena membela agama. Mereka tidak mau susah-susah mencari tahu kebenaran kepercayaan kepada Mbah Priok selama kunci surga aman berada di tangan.

Media pun turut terlibat. Media seharusnya bertungkus-lumus dengan pekerjaan utamanya, mewartakan fakta. Alih-alih menyinggung soal fakta yang menjelaskan bahwa cerita Mbah Priok tidak bisa dipertanggungjawabkan, sebagian besar media hanya meluruskan soal kebenaran tahun kematian Mbah Priok saja.

Politik pemerintah juga berperan besar dalam proses pengaminan dan pengimanan mitos Mbah Priok. Presiden SBY sengaja menandatangani distorsi sejarah Mbah Priok, mengesampingkan data faktual yang sebenarnya menelanjangi kepercayaan membabi-buta kepada Mbah Priok. Masyarakat seperti memperoleh tambahan amunisi kepercayaan karena sang presiden pun ternyata sama seperti mereka, percaya. Mungkin politik “ingin dekat dengan rakyat”- yang menjadi penyakit pemimpin Indonesia menurut Anhar Gonggong, sejarawan UI- menjadi agenda tersendiri.

Setakat ini kepercayaan itu masih hidup. Masyarakat tidak sadar bahwa meme ada di antara mereka, dan salah satunya sedang menjangkiti mereka. Selama mereka tidak sadar dan tidak disadarkan, tidak mustahil mitos-mitos yang lain akan terus diamini untuk kemudian diimani.