Minggu, 04 Juli 2010

Mengamini dan mengimani mitos (Cerita Mbah Priok)

Kegiatan baru cukup menyita waktu dan tenaga. Tak sempat sehingga menulis dan membuka ide baru. Baiklah saya unggah "tugas" di kegiatan baru saya ini. He-he-he...


Di zaman internet ini ternyata mitos masih menjadi ihwal yang berkelindan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Satu hal yang menarik adalah orang-orang di Indonesia, bahkan sekelas presiden, bisa dengan mudah mengamini dan mengimani suatu cerita yang berbau mitos.
Peristiwa di Tanjung Priok menjadi contoh sempurna. Makam sarat kerancauan fakta yang membuncah dipercaya sebagai kebenaran oleh orang-orang yang telanjur terkena mitos sensasi Mbah Priok. Pengkultusan Mbah Priok bahkan mengakibatkan pelanggaran sempadan kemanusiaan.

Agama menjadi meme yang paling efektif dalam hal ini. Massa menolak penggusuran makam karena mereka telah terinfeksi meme bahwa Mbah Priok adalah seorang penyiar Islam. Sebagai pemeluk agama Islam, tentu mereka membela habis-habisan. Bila mereka mati, toh, mereka masuk surga karena membela agama. Mereka tidak mau susah-susah mencari tahu kebenaran kepercayaan kepada Mbah Priok selama kunci surga aman berada di tangan.

Media pun turut terlibat. Media seharusnya bertungkus-lumus dengan pekerjaan utamanya, mewartakan fakta. Alih-alih menyinggung soal fakta yang menjelaskan bahwa cerita Mbah Priok tidak bisa dipertanggungjawabkan, sebagian besar media hanya meluruskan soal kebenaran tahun kematian Mbah Priok saja.

Politik pemerintah juga berperan besar dalam proses pengaminan dan pengimanan mitos Mbah Priok. Presiden SBY sengaja menandatangani distorsi sejarah Mbah Priok, mengesampingkan data faktual yang sebenarnya menelanjangi kepercayaan membabi-buta kepada Mbah Priok. Masyarakat seperti memperoleh tambahan amunisi kepercayaan karena sang presiden pun ternyata sama seperti mereka, percaya. Mungkin politik “ingin dekat dengan rakyat”- yang menjadi penyakit pemimpin Indonesia menurut Anhar Gonggong, sejarawan UI- menjadi agenda tersendiri.

Setakat ini kepercayaan itu masih hidup. Masyarakat tidak sadar bahwa meme ada di antara mereka, dan salah satunya sedang menjangkiti mereka. Selama mereka tidak sadar dan tidak disadarkan, tidak mustahil mitos-mitos yang lain akan terus diamini untuk kemudian diimani.