Jumat, 11 Juni 2010

Bergumam Semata

Meraba dalam gelap, terus meraba walau terlelap. Kiri dan turunannya. Proses melingkar tak tahu arah, mata terpejam kepala menengadah. Lalu mana jalan yang ditapak? Bersenggama lewat kata dan rupa. Berkerumun menciptakan wacana tanpa menyuntikkan materi yang katanya nyata. Berjalan mundur kah? Atau tempatmu hanya di situ. Baiklah masa lalu memang kelam atau mungkin dibuat kelam. Namun mata ada di depan memandang. Tinggal berkoordinasi dengan otak untuk menentukan ke kiri, kanan, atau tengah. Literatur dan ide makanan utama. Diskusi katanya adalah awal mula. Lalu mengapa tiap tahun selalu sama? Setiap tanggal satu berbaris sedemikian rupa. Berlomba-lomba merebut toa,lalu bersenggama. Sesekali perlu berdiri di depan kaca lalu mengumpat menyumpahi kemolekan tubuh sendiri. Kian hari pasti bosan menghampiri, dan akhirnya tercipta koreksi. Kumpulan orang-orang berotak sama akan selalu menciptakan pemikiran yang sama. Apakah mitos pseudo yang banyak dikata itu benar adanya? Tanah menderita, lalu bertemu hantu yang menawarkan obat yang niscaya mujarab, terlena, lalu terpana. Sekedar terlena dan terpana. Selanjutnya bersenggama. Gelap tak akan hilang selama cahaya tak diberi jiwa. Jiwa yang membebaskan. Jiwa yang berbeda. Jiwa yang tak hanya bersenggama. Dimana ada jiwa? Punyakah mereka? Omong-omong, siapa mereka? Atau mungkin mereka adalah saya? Jangan-jangan saya sedang menulis tentang mereka.Ah, masak sih saya mereka itu saya...