Kamis, 26 Agustus 2010

Dirgahayu, Mas

Mas..
Hari ini, bila kau masih hidup, genap 47 tahun sudah kau mengarungi hidup berderita
Mungkin tak lagi berpartai
Tapi pasti masih menjelajahi bumi Indonesia dari satu kampung ke kampung lain
Bersenjatakan kertas dan pena
Menyuarakan penderitaan kaum jelata
Kulitmu yang mengkusam tak jadi soal
Selama suara sampai ke telinga mereka yang semakin lama semakin pejal

Mas...
Aku tak sempat mengenalmu
Tahu tulisanmu pun baru
Meski tempat pertama kita menghirup nafas sama
Namun nasib kita berbeda
Semangat kita juga berbeda

Mas...
Tulisanmu benar buatku merana
Merana karena kritikanmu masih bisa menggelegar di dada
Walau zaman kita berbeda
Namun keadaan kita tak begitu berbeda
Serupa bahkan bisa ku rasa
Hanya tonggak kepala yang berbeda
Di zamanmu, kejamnya lebih kentara
Bahkan kau menjadi korbannya
hilang...
Hilang dimakan tentara

Mas...
Zaman sekarang sangat gila
Sang kepala mungkin lebih bisa merasa
Namun coretan muka keluarganya menghantui negara
Bahkan di momen peringatan Indonesia, keluarganya menggila
Dia menggila pula bisa saja
Sumpah demi Tan Malaka, tulisanmu lebih pantas yang jadi cinderamata
Bukan... Bukan cinderamata
Tulisanmu lebih berharga daripada mobil dinas hasil keringat dingin mereka
Tulisanmu lebih pantas menjadi bunga tidur mereka
Tak sanggup direngkuh, namun menancap kuat di kepala
Meninggalkan peluh di malam buta
Menerobos jauh menimbulkan luka

Mas...
Zaman sekarang banyak orang sakit jiwa
Di bawah, mereka terlunta-lunta
Memeras tenaga, karena otak tak punya
Tak punya otak karena tak sekolah
Tak sekolah karena tak punya uang
Tak punya uang karena dirampok mereka yang di atasnya
Yang di tengah juga, walau sebagian saja

Mas...
Zaman sekarang banyak orang jadi amnesia
Tak ingat jasa pendiri bangsa
Mengorbankan jiwa raga demi mencapai satu kata, MERDEKA!!
Mungkin di zamanmu sudah banyak juga yang amnesia
Namun kala ini lebih luar biasa
Seakan harga diri bangsa tak ada di pandangan mata
Diinjak-injak...Dihina dan dianiaya...Tapi dibiarkan saja
Bah..!!
Mungkin kalau kau masih ada, sudah berdiri di atas podium kau berorasi
Tak hanya gedung yang konon punya rakyat di sana akan kau coreti
Mungkin akan kau hias dengan naskah dari darah muka petinggi negara ini

Mas...
Semoga semangatmu masih tetap menggelora di hati para pemuda
Para pemuda yang membaca tentunya
Sebab banyak dari mereka tak lagi bisa merasa
Sekolah hanya membentuk mereka menjadi calon pekerja
Bukan calon pekerja seperti yang ada di pikiranmu, Mas
Tapi pekerja yang benar-benar bekerja
Otak dan tenaga dipertukarkan dengan uang semata
Tetangga-tetangga hanya diberi ampas saja

Mas...
Hari ini, bila kau masih hidup, genap 47 tahun sudah kau mengarungi hidup berderita
Dirgahayu tak bisa lagi jadi milikmu
Biarkan...
Berikan saja pada semangatmu

Dirgahayu, untuk semangatmu Mas Wiji Thukul..
(26 Agustus 1963-26 Agustus 2010)

Selasa, 24 Agustus 2010

Ironi

Seorang gadis kecil bergembira ketika melihat berita di TV. Presiden memberikan potongan masa tahanan kepada terpidana kasus korupsi terkait peringatan Dirgahayu RI.
Ia berkata pada sang ibu," Bu, Bapak pasti juga dapet kan? Asik."
"Nak, Bapakmu cuma mengambil segelas beras di pasar. Yang tabah ya, Nak", jawab sang ibu sambil meneruskan mencuci pakaian tetangga.

Rabu, 18 Agustus 2010

Umpat!!

tercabik dan menjerit
mengumpat ku menerawang nasib
mempetakan kekuatan lawan bukan berarti mereka kan melawan

sendiri dalam kebersamaan
bahkan ironi peti mati menolak menyaingi

bila pungguk tetap merindukan bulan, baiklah aku tetap menanti keadilan
semoga pungguk cepat memeluk hangat si bulan

karena genangan air ini kian lama kian mencoklat, menyemu merah
berasa getir
beraroma tanah

bila pribumi saja seperti itu
alangkah bodoh diriku bila tetap saja mengarahkan meriam kata-kata ke arah CEO-CEO mancanegara
wajahnya saja yang lokal
kelakuannya internasional

aku mengerti
tak bisa ku sepihak mengadili persepsi
sebab tak enak, benar, ku bersumpah mati

argh...
aku sudah matikah? tapi kakiku masih menyentuh tanah
meskipun tanah semakin panas dan basah
panas oleh gas...basah oleh air tanah...
bagaimana bila ku mati?
Hmm..lalu kenapa ku hidup bila ku ingin mati?

tapi pribumi itu tetap tak punya hati
anak istri saja yang diberi
yang lain? tai..
corporate social responsibility? tai...!!

ah, entah...
pemimpin negeri saja bisa ditelanjangi
bagai kuda tanpa sembrani
ada kusir yang mengatur ia pergi

baiklah...
sekarang aku pura-pura mengerti
lebih baik menjadi api yang menyala di puncak bersalju
daripada menjadi air yang selamanya di hulu...!!

Minggu, 01 Agustus 2010

Cerita 213

Bis kota yang mengantarku setiap pulang dari Kampung Melayu, 213 namanya, seakan menjadi panggung bergerak yang menawarkan atraksi unik. Teriakan lantang kernet yang berusaha menginformasikan tujuan bis kota menggema dari arah pintu. Kata sama yang entah sudah berapa kali ia teriakkan kepada orang-orang di jalan. Sudah ribuan sepertinya, atau ratusan ribu bahkan. Keringat sedikit ia usap pakai handuk kusam yang entah sudah berapa hari tak ia cuci. Mengingat klenik dan mitos masih menancap kuat di relung masyarakat, saya berasumsi, mungkin handuk itu jimat. Semakin kotor semakin mujarab. Berdiri di pintu, berteriak, menggenggam pecahan ribuan. Dengan raut khas dunia keras, wajah sawo matangnya, bukan hitam, menghampiri setiap penumpang untuk meminta uang. Jauh-dekat dua ribu rupiah. Kasihan juga yang jaraknya dekat. Itu dunianya setiap hari.

Si sopir, dengan mata yang selalu menatap tajam ke depan, takut bisnya dibakar massa mungkin. Seperti yang dialami kawan-kawannya yang sering mengantuk atau ugal-ugalan. Sopir bis ini saya katakan berbeda, sejauh pengalaman saya menumpang. Tidak seperti 506, tidak seperti 46. Tenang, fokus, sesekali bergurau dengan kernetnya. Jarang terdengar erangan klakson. Bahkan belum pernah makian terluncur dari mulutnya saya dengar. Rokok menyala yang diapit dua jari selalu menemani. Setiap kali ia mengeluarkan asap lewat mulutnya, rasanya saya dapat menangkap ketenangannya. Ketenangan yang mungkin sebuah ironi. Keringat yang ia peras telah ditunggu keluarga di rumahnya yang sesak mungkin. Begitu nikmat kelihatan ia merasa ketika asap keluar, menambah volume asap pekat ibukota yang kian hari kian membuat paru-paru menderita. Handuk yang ia lingkarkan di leher sesekali ia gunakan mengusap keringat di wajahnya. Handuk itu menghitam pula ternyata.

Sopir mengerem kendaraannya di Matraman. Dua orang, pemuda-pemudi, masuk ke dalam. Si pemuda bertopi, berkaos hitam bersablon tulisan "MARJINAL"(banyak nian kaos ini tersebar), menenteng ukulele tua. Si pemudi, bercelana butut yang robek, atau dirobek, di bagian dengkulnya, malu-malu tersenyum sambil menyibakkan rambut panjangnya. Mau mengamen mereka rupanya. Untuk ukuran pengamen, maaf, mereka cukup bersih. Si pemuda terlihat tampan dengan garis wajah yang tegas dan jenggot-kumis ala Che Guevara. Si pemudi pun manis, putih, tak tercermin kejam ibukota di matanya. "Selamat malam, maaf mengganggu Anda-Anda sekalian, saya Dani, bersama teman saya Anis..." ucap si pemuda mengawali dialog. Baru kali aku dengar pengamen berkenalan!! Ukulele Dani petik, mengintro sebuah lagu yang samar-samar aku pernah dengar. Ya..."Darah Juang" adalah lagu yang mereka bawakan! Anis menyanyi dengan manis. Suara serak basahnya terengar klop dengan petikan ukulele butut Dani. Terkesima aku dibuatnya. Pendemokah mereka ini juga? Dahulu, semasa masih mahasiswa, lagu ini kerap dikumandangkan ketika aksi-aksi demontrasi digelar. Lagu ini menjadi semacam pemompa semangat. Selalu merinding aku ketika mendengar lagu ini. Dan sekarang, lagu ini dibawakan dengan harmonis oleh dua pengamen, yang aku ragukan status "pengamen"nya, di sebuah bis kota. Bis kota tempat aku berada di dalamnya. Oo, senangnya. Selama ini, kebanyakan pengamen hanya membawakan lagu-lagu Top 40, atau Top 400 karena band-band seragam menjamur begitu cepatnya. Tak masuk di hati, begitu aku merasa. Entah kenapa, lagu-lagu itu tak begitu berarti, tak menancap di hati. Namun kali ini "Darah Juang". yang berkmandang. Harmonis pula. Aku senang, aku merinding, aku melepas empat ribu dengan senyum gembira.

Ketika tiba di Jalan Sudirman, seorang pemuda bersandal jepit masuk ke dalam bis kota. Ia mengenakan jumper biru muda, bercelana ketat khas pemuda ibukota. Secarik kertas ia genggam di tangannya yang berhias gelang beraneka warna. Berdiri di tengah badan bis kota, ia mengucapkan salam. Salam lintas agama ia gunakan!! Dari Assalamualaikum sampai Swastiastu keluar dari mulutnya yang berbibir hitam. Seorang pluralis ia rupanya. Atau atheis?Ah, label saja!

"Mungkin sudah bosan para penumpang sekalian. Pagi pengamen, siang pengamen, malam pengamen..." begitu ia membuka penampilannya.
"Mau apa dia?" hati bertanya.
"Sebuah monolog akan saya bawakan..." katanya mantap.

Bajigur!! Ada monolog di dalam bis kota! Sungguh sebuah pengalaman baru. Ia mulai bermonolog. Suaranya berat dan serak. Nada kemarahan kentara dari setiap kata yang terucap. Sangat marah ia tampaknya. Pertama-tama ia bercerita tentang kebodohan. Ia menganggap dirinya bodoh. Orang lain menganggap ia bodoh pula. Namun sebenarnya ia tak bodoh, ia hanya sedang menghadapi kenyataan. Ia menceritakan tentang "kenyataan yang tak bisa dipungkiri". Bahwa seorang pemuda memilih jalan menjadi perampok adalah "kenyataan yang tak bisa dipungkiri". Bahwa seorang pemudi menjadi lonte adalah "kenyataan yang tak bisa dipungkiri". Seorang bernama Supreman ia bercerita tentang. Supreman tak mau dipanggil Su, Preman adalah nama yang biasa teman-teman alamatkan kepadanya. Menjadi perampok adalah pilhan hidupnya. Titik. Full Stop. Sampun. Uwis. Cuma itu monolognya! Aseng..!! Ia berdalih, monolog sebenarnya berdurasi lebih panjang, kira-kira 100 menit, namun tak sanggup ia bawakan seluruhnya karena di bis. Ia sempat mengungkapkan jatidirinya. Pun jatidiri naskah monolog yang ia bawakan. Naskah itu dahulu pernah dipentaskan di TIM di tahun 1999. Adalah kelompok teater sebuah SMA di Bandung yang mementaskan. Ia terlibat di dalamnya. Menang pula. Entah benar entah bohong.

Sialan! Kalau durasinya lama, kenapa ia "pentaskan" di dalam bis kota? Kenapa tak ia pilih monolog yang lebih pendek? Bikin kentang saja. Kena tanggung!

Jujur, cerita awalnya sungguh menarik. Apalagi suaranya sangat khas. Penuh amarah yang seakan ditahan-tahan. Begitu tiba kata "bodoh", "lonte", dan beberapa lainnya, amarah diledakkan, keluar dengan mantap, penuh jiwa. Salut aku dibuatnya. Di tengah-tengah kebanalan pengamen yang membawakan lagu, ia hadir sebagai pemberi gagasan baru. Sebuah monolog. Hebat! Hasilnya, lima ribu hilang dari peraduan. Seandainya saya bawa karya, Remy atau Sapardi mungkin, atau Wiji bahkan, akan sukarela saya pindahrakkan-kalau ia punya rak tentunya.

Haru Biru di Negeriku

Hari ini mengharu biru
Tempatku bersandar mengkhianatiku
Hujan buatan tuk atasi kekeringan tak sanggup tandingi deras muntahan air mataku
Lagi-lagi nyawa melayang
Lagi-lagi tubuh sia-sia terbuang

Meledak!!
Hangus!!
Menangis!!
Sadis!!

Sebegitu kecilkah niatannya membantu?
Sebegitu tumpulkah nurani yang rupanya membatu?
Kelam tak disangka mengubah pagi yang cerah
Pupus harapan putra bangsa berangkat sekolah

Apa takut istanamu roboh?
Apa gentar hilang tongkat sihirmu? Batu bertuahmu?

Hari ini mengharu biru
Menyusul hari-hari lain yang tlah lalu