Selasa, 12 Februari 2013

Penyakit Akut Media Daring

Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring pernah mengatakan bahwa insan pers harus bisa menyikapi kemajuan teknologi dalam kaitannya dengan tugas utama mereka, yakni menyampaikan informasi yang benar dan berkualitas.

Kemajuan teknologi harus disikapi agar pers bisa turut serta membangun karakter bangsa. Begitu menteri yang mengaku kerap dicerca di media sosial ini berpendapat.

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat Pak Menteri. Dan saya yakin benar media-media di Indonesia bukanlah penganut Neoluddisme. Mereka pasti telah mengambil sikap di tengah bergeloranya semangat untuk memajukan teknologi. Namun sepertinya banyak di antara mereka yang luput ketika mempraktikkan sikap tersebut.

Media massa turut beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Buktinya, tren media telah beralih ke dunia digital. Pelaku bisnis di bidang media cetak berlomba-lomba mengikuti tren dengan membuka cabang di internet. Majalah cetak pun punya versi digital.  Kemudian, muncul pula pelaku bisnis media yang sebetulnya awam terhadap dunia pers: narablog.

Berkat Google dan Matt Mullenweg, banyak orang yang memutuskan membuat medianya sendiri tanpa harus menganut ideologi anti-mainstream.  Blog-blog ini memuat berita nasional, informasi tips, hingga berita internasional. Namun karena terbentur pengalaman dan kemampuan, banyak blog yang menabrak garis aturan yang berlaku di dunia pers.

Ya, mungkin mereka tak bisa sepenuhnya disalahkan karena mereka tak ada bekal soal bagaimana cara menyampaikan informasi menurut kode etik jurnalistik. Bahkan mungkin banyak yang tak tahu apa itu kode etik jurnalistik.

Kesalahan-kesalahan yang kerap dibuat para narablog selain mengesampingkan aturan 5W+1H antara lain adalah pemberitaan yang tidak berimbang, salah mencerna informasi dari media berbahasa asing, hingga keliru saat mengetik huruf.

Tapi para narablog punya jurus untuk menjawab kritik soal kesalahan-kesalahan ini: Memangnya media daring yang lebih profesional tak pernah salah?

Sayangnya, di dalam media daring yang wartawannya tergabung dalam komunitas pers yang diakui secara nasional, masih bisa ditemukan kesalahan-kesalahan dasar seperti yang dilakukan para narablog. Yang paling sering: salah ketik atau acap disebut typo.

Saya tidak tahu pasti bagaimana proses suatu berita di media daring bisa sampai dimuat hingga akhirnya dibaca oleh khalayak. Apakah prosesnya sama seperti media cetak?

Dari cerita kawan saya yang berkarya sebagai wartawan media cetak, proses yang dijalani sebelum berita naik cetak lumayan panjang. Salah satunya adalah pemeriksaan tulisan oleh redaktur yang biasanya juga berperan sebagai penyunting bahasa. Di sini, redaktur bisa mengembalikan tulisan kepada wartawan apabila dianggap tidak layak muat. Bila ada salah ketik, redaktur akan mengoreksinya.

Bagaimana dengan media daring? Saya hanya bisa berasumsi. Di beberapa media daring yang kerap saya baca seperti Kompas.com, Detik.com, Tempo.co, dan Viva.co.id (sebelumnya Vivanews), saya sering melihat ada dua nama atau inisial di bagian akhir tulisan. Artinya, ada wartawan dan ada pula editor/redaktur yang berperan dalam penerbitan tulisan tersebut. Namun, ternyata tulisan yang terbit di media daring banyak yang “cacat” dalam urusan bahasa.

Karakteristik media cetak dan media daring memang berbeda. Media daring lebih mengutamakan soal kecepatan pemuatan berita. Namun, apakah lantas alasan tersebut bisa membenarkan kesalahan-kesalahan dalam tulisan yang dimuat?

Masalah bahasa mungkin terdengar sepele. Mungkin ada yang berpendapat, “Ah, kan masih bisa ditebak itu kata yang salah ketik maksudnya apa..”

Tetapi persoalannya bukan soal tebak-tebakan kata. Dalam hal ini, redaktur dan wartawan gagal menjalankan tugas dalam usahanya menyampaikan berita yang benar dan berkualitas hanya demi traffic. Bahkan demi traffic pula, ada media yang memecah satu tulisan menjadi dua, tiga, atau bahkan empat. Hasilnya, satu judul bisa jadi hanya memuat tiga atau empat paragraf. Sangat pendek dan tidak jelas.

Heru Margianto, seorang pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, pernah berujar dalam suatu diskusi yang membahas media daring, “Demi mengejar kecepatan, akurasi dan verifikasi menjadi terabaikan”. Padahal, akurasi dan verifikasi seharusnya mutlak menjadi perhatian utama semua insan pers.

Saya tak ada niat menggurui. Apa pula kuasa saya hingga boleh memberikan pelajaran tambahan? Kapasitas saya di sini hanyalah sebagai seorang pembaca media daring yang terganggu dan kecewa. Saya berharap tren buruk ini bisa berubah, dengan atau tanpa arahan Pak Menteri Tifatul…Dan sekadar informasi, saya bukan termasuk salah satu pengikut Pak Menteri di Twitter.

Detik.com
Kompas.com
Tempo.co
Tempo.co
Viva.co.id