Petang di bukit yang tak pernah menjadi Golgota
Silau sang mentari tlah sedikit terselimuti bongkahan awan-awan berwarna jingga
Tatap sinisnya seakan berkata:
“Sudah, aku lelah..lelah akan flora dan fauna, lelah akan manusia, lelah akan dunia…
esok hari
Selembar daun tertiup angin, kering, terhempas dari galangannya deras menghujam menuju tanah, namun akhirnya terangkat lagi ke atas seakan menolak untuk membelai tanah yang semakin lama semakin tak layak disebut tanah.
Seonggok tinja terdiam memojok menebar bau anyir seakan darah perawan 15 tahun yang keluar percuma akibat tersenggol telunjuk penguasa, menanti air mata dewa khayangan pertanda guyuran hujan akan segera datang hingga ia dapat segera mengakhiri hidupnya yang hanya menebar bau, tak lebih hanya bau.
Segerombol tikus tanah tengah berkumpul, mungkin sedang mendiskusikan filosofi ateisme karena merasa Tuhan tak memihak mereka, ataukah sedang merapatkan barisan untuk menjalankan teori konspirasi agar dapat segera mengakhiri krisis pangan yang mendera ladang milik petani yang setiap hari mereka curi
Perlahan tapi pasti, seakan enggan namun tak dapat melawan, sang mentari akhirnya kembali ke peraduan, pergi sambil meludah, memberi tanda bahwa dia masih belum puas untuk….membunuh…harapan….
Berbahagialah kita yang tak diundang ke perjamuannya sebab dia sudah menyiapkan ribuan cawan berisi anggur cap Orang Tua milik Patih Sengkuni yang sengaja disisakan untuk memberi kejutan pada para ksatria yang senantiasa memberi arti pada pasukan jiwa terbelakang yang ternyata selalu berada di garda depan, tegak menantang, bersenjatakan pena dan toa
Jadikah datang sang purnama?
Purnama yang lembut, redup tak menutup, hangat tak menyengat.
Ooh, betapa indahnya bila hanya ada purnama yang menguasai angkasa, purnama yang bijaksana, purnama yang berwibawa, purnama yang tak berfatamorgana