Geram rasanya melihat pemberitaan media yang gencar membicarakan tentang “fasilitas” mewah yang didapat oleh penjahat kelas paus yang masuk ke dalam rutan di tanah Indonesia, terutama Jakarta. Kebobrokan negeri ini lambat laun mulai terkuak satu demi satu. Setelah terbentuknya satgas yang bertugas mempersempit ruang gerak mafia kasus atau “markus”, pemerintah meluncurkan satuan petugas termutakhir yang berkewajiban menertibkan lembaga pemasyarakatan atau hotel prodeo yang kerap diasosiasikan dengan suatu tempat angker yang sempit, kotor, tak terawat. Bagaimanapun juga, terkuaknya kasus “apartemen” milik Artalita Suryani, sang diva yang dipenjarakan karena kasus suap terhadap kejaksaan dan Aling sang ratu narkoba mendekonstruksi konsep “kesakralan” sel penjara. Sel tempat mereka menghabiskan masa tahanan tak ubahnya kamar hotel berbintang di ibukota. “Fasilitas” seperti pendingin ruangan, kulkas, televisi layar datar, sampai ruang karaoke menjadi teman setia para narapidana istimewa ini. Betapa indahnya hidup mereka ini. Saat masih belum menjadi warga rutan, mereka menkmati kehidupan yang serba mewah. Ketika ketukan palu hakim membawa mereka menuju ruang tahanan, mereka masih juga bisa menikmati kehidupan ala borjuis Perancis. Ironis memang, ketika ruang sel lain yang hanya berkapasitas 15 orang disesaki hingga 30 narapidana atau 2 kali lipat kapasitas yang ditentukan sampai-sampai untuk berbaringpun mereka sulit, Artalita dan Aling bisa jungkir balik di kasur empuk mereka. Hal tersebut hanyalah sekelumit cerita tentang kehidupan keras dan kotor di lapas. Masalah lain seperti pungli, transaksi narkoba, premanisme, hingga sex bebas belum terkuak ke permukaan oleh pemberitaan media. Masalah yang sebenarnya telah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat. Entah pemerintah menutup mata, atau ada sesuatu yang membuat mata mereka tertutup, namun kenyataan inilah yang terjadi di tempat yang seharusnya menjadi sebuah sarana rehabilitasi bagi para pesakitan agar mereka bisa diterima lagi oleh masyarakat.
Terlepas dari semua itu, masa reformasi yang hampir menginjak usia 12 tahun ini tampaknya mulai menuai hasilnya. Semoga ranah hukum yang menjadi sorotan utama di media massa menjadi pembuka jalan bagi ranah lain seperti sosial dan ekonomi sehingga terciptanya suatu kehidupan masyarakat plural yang makmur sejahtera secara merata, sebuah cita-cita yang diperjuangkan oleh Pattimura, Soekarno, Tan Malaka hingga Gus Dur menjadi sesuatu yang niscaya. Semoga…
Terlepas dari semua itu, masa reformasi yang hampir menginjak usia 12 tahun ini tampaknya mulai menuai hasilnya. Semoga ranah hukum yang menjadi sorotan utama di media massa menjadi pembuka jalan bagi ranah lain seperti sosial dan ekonomi sehingga terciptanya suatu kehidupan masyarakat plural yang makmur sejahtera secara merata, sebuah cita-cita yang diperjuangkan oleh Pattimura, Soekarno, Tan Malaka hingga Gus Dur menjadi sesuatu yang niscaya. Semoga…