Layar warna-warni itu selalu kau tatap tiap hari
Jemari telunjuk dan tengahmu buat jemari lain iri
Sebelum tahun 2004 tak ada semua ini
Dan tahun 2006 semua semakin menjadi-jadi
Dulu orangtuamu tak kenal dan maka mereka tak sayang
Sekarang mereka tak hanya kenal, mereka terganyang
Tenggelam dalam bunyi "klik, klik dan klik"
Biar bayi tenggelam, biar jemuran hilang mereka tetap saja asyik
Rabu, 13 Februari 2013
Bruuummm...Semburan Knalpotmu Mengacaukan Hatiku
Bruuummm…bruuuummm…suara knalpot motor sport terkini meraung-raung di depanku. Suaranya keras, cenderung membuat bising tapi tak begitu mengganggu perjalananku di tengah padatnya lalu lintas Jakarta waktu jam berangkat kerja di pagi hari.
Hanya satu hal yang selalu menggodaku untuk mengucapkan kata “asu” dan kawan-kawannya terkait keberadaan knalpot itu: semburan.
Hampir setiap pagi aku menjumpai pemotor yang memodifikasi knalpotnya, dari standar menjadi besar dengan suara lantang dan semburan yang dahsyat, yang mungkin menurut mereka adalah sesuatu yang keren, jantan. Jalanan yang macet dari Bekasi ke Jakarta Barat memaksaku untuk sesekali merasakan semburan udara dari knalpot-knalpot itu.
Untung aku rajin mengenakan masker dan menutup kaca helm. Kalau tidak? Seperti ibu yang berjalan beriringan denganku tadi pagi?
Parahnya, sejauh pengamatanku, pemotor yang menggunakan knalpot semacam ini selalu memainkan gas di jalan raya. Apalagi saat kendaraan harus mengantre akibat penuhnya jalan oleh motor dan mobil. Entah apa maksudnya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah mereka tidak sadar bahwa kelakuan mereka di jalan itu amat tidak beretika dan bahkan sangat mengganggu pengguna jalan lain? Ataukah mereka sadar namun tidak memedulikan hal tersebut? Apakah polisi berhak menilang pemotor seperti itu? Jika iya, kenapa polisi tidak merazia saja toko atau bengkel yang menjual knalpot seperti itu?
Separah itukah hukum, perilaku, kesadaran, dan empati yang ada di ibukota tercinta ini? Ahhh...semburan knalpotmu mengacaukan hatiku...
Hanya satu hal yang selalu menggodaku untuk mengucapkan kata “asu” dan kawan-kawannya terkait keberadaan knalpot itu: semburan.
Hampir setiap pagi aku menjumpai pemotor yang memodifikasi knalpotnya, dari standar menjadi besar dengan suara lantang dan semburan yang dahsyat, yang mungkin menurut mereka adalah sesuatu yang keren, jantan. Jalanan yang macet dari Bekasi ke Jakarta Barat memaksaku untuk sesekali merasakan semburan udara dari knalpot-knalpot itu.
Untung aku rajin mengenakan masker dan menutup kaca helm. Kalau tidak? Seperti ibu yang berjalan beriringan denganku tadi pagi?
Parahnya, sejauh pengamatanku, pemotor yang menggunakan knalpot semacam ini selalu memainkan gas di jalan raya. Apalagi saat kendaraan harus mengantre akibat penuhnya jalan oleh motor dan mobil. Entah apa maksudnya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah mereka tidak sadar bahwa kelakuan mereka di jalan itu amat tidak beretika dan bahkan sangat mengganggu pengguna jalan lain? Ataukah mereka sadar namun tidak memedulikan hal tersebut? Apakah polisi berhak menilang pemotor seperti itu? Jika iya, kenapa polisi tidak merazia saja toko atau bengkel yang menjual knalpot seperti itu?
Separah itukah hukum, perilaku, kesadaran, dan empati yang ada di ibukota tercinta ini? Ahhh...semburan knalpotmu mengacaukan hatiku...
Selasa, 12 Februari 2013
Penyakit Akut Media Daring
Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring pernah mengatakan bahwa insan pers harus bisa menyikapi kemajuan teknologi dalam kaitannya dengan tugas utama mereka, yakni menyampaikan informasi yang benar dan berkualitas.
Kemajuan teknologi harus disikapi agar pers bisa turut serta membangun karakter bangsa. Begitu menteri yang mengaku kerap dicerca di media sosial ini berpendapat.
Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat Pak Menteri. Dan saya yakin benar media-media di Indonesia bukanlah penganut Neoluddisme. Mereka pasti telah mengambil sikap di tengah bergeloranya semangat untuk memajukan teknologi. Namun sepertinya banyak di antara mereka yang luput ketika mempraktikkan sikap tersebut.
Media massa turut beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Buktinya, tren media telah beralih ke dunia digital. Pelaku bisnis di bidang media cetak berlomba-lomba mengikuti tren dengan membuka cabang di internet. Majalah cetak pun punya versi digital. Kemudian, muncul pula pelaku bisnis media yang sebetulnya awam terhadap dunia pers: narablog.
Berkat Google dan Matt Mullenweg, banyak orang yang memutuskan membuat medianya sendiri tanpa harus menganut ideologi anti-mainstream. Blog-blog ini memuat berita nasional, informasi tips, hingga berita internasional. Namun karena terbentur pengalaman dan kemampuan, banyak blog yang menabrak garis aturan yang berlaku di dunia pers.
Ya, mungkin mereka tak bisa sepenuhnya disalahkan karena mereka tak ada bekal soal bagaimana cara menyampaikan informasi menurut kode etik jurnalistik. Bahkan mungkin banyak yang tak tahu apa itu kode etik jurnalistik.
Kesalahan-kesalahan yang kerap dibuat para narablog selain mengesampingkan aturan 5W+1H antara lain adalah pemberitaan yang tidak berimbang, salah mencerna informasi dari media berbahasa asing, hingga keliru saat mengetik huruf.
Tapi para narablog punya jurus untuk menjawab kritik soal kesalahan-kesalahan ini: Memangnya media daring yang lebih profesional tak pernah salah?
Sayangnya, di dalam media daring yang wartawannya tergabung dalam komunitas pers yang diakui secara nasional, masih bisa ditemukan kesalahan-kesalahan dasar seperti yang dilakukan para narablog. Yang paling sering: salah ketik atau acap disebut typo.
Saya tidak tahu pasti bagaimana proses suatu berita di media daring bisa sampai dimuat hingga akhirnya dibaca oleh khalayak. Apakah prosesnya sama seperti media cetak?
Dari cerita kawan saya yang berkarya sebagai wartawan media cetak, proses yang dijalani sebelum berita naik cetak lumayan panjang. Salah satunya adalah pemeriksaan tulisan oleh redaktur yang biasanya juga berperan sebagai penyunting bahasa. Di sini, redaktur bisa mengembalikan tulisan kepada wartawan apabila dianggap tidak layak muat. Bila ada salah ketik, redaktur akan mengoreksinya.
Bagaimana dengan media daring? Saya hanya bisa berasumsi. Di beberapa media daring yang kerap saya baca seperti Kompas.com, Detik.com, Tempo.co, dan Viva.co.id (sebelumnya Vivanews), saya sering melihat ada dua nama atau inisial di bagian akhir tulisan. Artinya, ada wartawan dan ada pula editor/redaktur yang berperan dalam penerbitan tulisan tersebut. Namun, ternyata tulisan yang terbit di media daring banyak yang “cacat” dalam urusan bahasa.
Karakteristik media cetak dan media daring memang berbeda. Media daring lebih mengutamakan soal kecepatan pemuatan berita. Namun, apakah lantas alasan tersebut bisa membenarkan kesalahan-kesalahan dalam tulisan yang dimuat?
Masalah bahasa mungkin terdengar sepele. Mungkin ada yang berpendapat, “Ah, kan masih bisa ditebak itu kata yang salah ketik maksudnya apa..”
Tetapi persoalannya bukan soal tebak-tebakan kata. Dalam hal ini, redaktur dan wartawan gagal menjalankan tugas dalam usahanya menyampaikan berita yang benar dan berkualitas hanya demi traffic. Bahkan demi traffic pula, ada media yang memecah satu tulisan menjadi dua, tiga, atau bahkan empat. Hasilnya, satu judul bisa jadi hanya memuat tiga atau empat paragraf. Sangat pendek dan tidak jelas.
Heru Margianto, seorang pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, pernah berujar dalam suatu diskusi yang membahas media daring, “Demi mengejar kecepatan, akurasi dan verifikasi menjadi terabaikan”. Padahal, akurasi dan verifikasi seharusnya mutlak menjadi perhatian utama semua insan pers.
Saya tak ada niat menggurui. Apa pula kuasa saya hingga boleh memberikan pelajaran tambahan? Kapasitas saya di sini hanyalah sebagai seorang pembaca media daring yang terganggu dan kecewa. Saya berharap tren buruk ini bisa berubah, dengan atau tanpa arahan Pak Menteri Tifatul…Dan sekadar informasi, saya bukan termasuk salah satu pengikut Pak Menteri di Twitter.
Kemajuan teknologi harus disikapi agar pers bisa turut serta membangun karakter bangsa. Begitu menteri yang mengaku kerap dicerca di media sosial ini berpendapat.
Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat Pak Menteri. Dan saya yakin benar media-media di Indonesia bukanlah penganut Neoluddisme. Mereka pasti telah mengambil sikap di tengah bergeloranya semangat untuk memajukan teknologi. Namun sepertinya banyak di antara mereka yang luput ketika mempraktikkan sikap tersebut.
Media massa turut beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Buktinya, tren media telah beralih ke dunia digital. Pelaku bisnis di bidang media cetak berlomba-lomba mengikuti tren dengan membuka cabang di internet. Majalah cetak pun punya versi digital. Kemudian, muncul pula pelaku bisnis media yang sebetulnya awam terhadap dunia pers: narablog.
Berkat Google dan Matt Mullenweg, banyak orang yang memutuskan membuat medianya sendiri tanpa harus menganut ideologi anti-mainstream. Blog-blog ini memuat berita nasional, informasi tips, hingga berita internasional. Namun karena terbentur pengalaman dan kemampuan, banyak blog yang menabrak garis aturan yang berlaku di dunia pers.
Ya, mungkin mereka tak bisa sepenuhnya disalahkan karena mereka tak ada bekal soal bagaimana cara menyampaikan informasi menurut kode etik jurnalistik. Bahkan mungkin banyak yang tak tahu apa itu kode etik jurnalistik.
Kesalahan-kesalahan yang kerap dibuat para narablog selain mengesampingkan aturan 5W+1H antara lain adalah pemberitaan yang tidak berimbang, salah mencerna informasi dari media berbahasa asing, hingga keliru saat mengetik huruf.
Tapi para narablog punya jurus untuk menjawab kritik soal kesalahan-kesalahan ini: Memangnya media daring yang lebih profesional tak pernah salah?
Sayangnya, di dalam media daring yang wartawannya tergabung dalam komunitas pers yang diakui secara nasional, masih bisa ditemukan kesalahan-kesalahan dasar seperti yang dilakukan para narablog. Yang paling sering: salah ketik atau acap disebut typo.
Saya tidak tahu pasti bagaimana proses suatu berita di media daring bisa sampai dimuat hingga akhirnya dibaca oleh khalayak. Apakah prosesnya sama seperti media cetak?
Dari cerita kawan saya yang berkarya sebagai wartawan media cetak, proses yang dijalani sebelum berita naik cetak lumayan panjang. Salah satunya adalah pemeriksaan tulisan oleh redaktur yang biasanya juga berperan sebagai penyunting bahasa. Di sini, redaktur bisa mengembalikan tulisan kepada wartawan apabila dianggap tidak layak muat. Bila ada salah ketik, redaktur akan mengoreksinya.
Bagaimana dengan media daring? Saya hanya bisa berasumsi. Di beberapa media daring yang kerap saya baca seperti Kompas.com, Detik.com, Tempo.co, dan Viva.co.id (sebelumnya Vivanews), saya sering melihat ada dua nama atau inisial di bagian akhir tulisan. Artinya, ada wartawan dan ada pula editor/redaktur yang berperan dalam penerbitan tulisan tersebut. Namun, ternyata tulisan yang terbit di media daring banyak yang “cacat” dalam urusan bahasa.
Karakteristik media cetak dan media daring memang berbeda. Media daring lebih mengutamakan soal kecepatan pemuatan berita. Namun, apakah lantas alasan tersebut bisa membenarkan kesalahan-kesalahan dalam tulisan yang dimuat?
Masalah bahasa mungkin terdengar sepele. Mungkin ada yang berpendapat, “Ah, kan masih bisa ditebak itu kata yang salah ketik maksudnya apa..”
Tetapi persoalannya bukan soal tebak-tebakan kata. Dalam hal ini, redaktur dan wartawan gagal menjalankan tugas dalam usahanya menyampaikan berita yang benar dan berkualitas hanya demi traffic. Bahkan demi traffic pula, ada media yang memecah satu tulisan menjadi dua, tiga, atau bahkan empat. Hasilnya, satu judul bisa jadi hanya memuat tiga atau empat paragraf. Sangat pendek dan tidak jelas.
Heru Margianto, seorang pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, pernah berujar dalam suatu diskusi yang membahas media daring, “Demi mengejar kecepatan, akurasi dan verifikasi menjadi terabaikan”. Padahal, akurasi dan verifikasi seharusnya mutlak menjadi perhatian utama semua insan pers.
Saya tak ada niat menggurui. Apa pula kuasa saya hingga boleh memberikan pelajaran tambahan? Kapasitas saya di sini hanyalah sebagai seorang pembaca media daring yang terganggu dan kecewa. Saya berharap tren buruk ini bisa berubah, dengan atau tanpa arahan Pak Menteri Tifatul…Dan sekadar informasi, saya bukan termasuk salah satu pengikut Pak Menteri di Twitter.
Detik.com
Kompas.com
Tempo.co
Tempo.co
Viva.co.id
Langganan:
Postingan (Atom)