Minggu, 26 September 2010

Musik dan Sastra

Siapa bilang sastra dan musik, khususnya musik pinggiran, tak bisa berjalan berdampingan? Musik pinggiran di sini berada di dalam konteks musik yang bertitel sidestream yang menyuarakan perlawanan pada musik populer yang lebih mainstream. Intinya, musik yang dianggap terlalu bising, aneh, absurd, atau apapun itu sehingga membuatnya agak sulit (atau sangat sulit) diterima masyarakat umum. Namun maaf, bukan musik tradisional yang dimaksud. Keterbatasan pengetahuan menjegal niat hati berargumentasi. Kita akan melihat sebuah fakta yang membinarkan mata sebab ternyata banyak musisi yang dipengaruhi oleh karya sastra di dalam musik mereka.

Menengok ke belakang, kedekatan dua genre seni ini tercatat dalam sejarah perjalanan karir Pink Floyd yang menyelipkan beberapa karakter dalam novel Animal Farm karya George Orwell ke dalam album Animals (1977). Tiga karakter yaitu babi, anjing, dan domba diculik dari novel fenomenal itu untuk kemudian diberi kehormatan untuk menyuarakan kritik terhadap keadaan masyarakat Inggris yang kala itu didominasi oleh Margaret Thatcher dan Mary Whitehouse. Bahkan sebelum terciptanya Animals, Pink Floyd telah terlebih dahulu mengadopsi satu judul bab dari The Wind in the Willows karya Kenneth Grahame untuk album mereka The Piper at the Gates of Dawn tahun 1967.

Di tempat lain, Led Zeppelin lewat hentakan musik metal nan cadas, secara eksplisit menyebutkan dua nama dalam The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien yaitu Mordor dan Gollum melalui Ramble On yang dimuat di album Led Zeppelin II pada tahun 1969. Demikian bunyinya:

Twas in the darkest depths of Mordor I met a girl so fair, but Gollum, and the evil one crept up and slipped away with her

Sementara itu, lagu Killing an Arab yang disenandungkan oleh The Cure ternyata diilhami oleh The Stranger karya peraih Nobel Sastra tahun 1957, Albert Camus. Tuxedomoon, sebuah band New Wave/Post Punk dari Inggris bahkan menjadikan The Stranger sebagai judul lagu karena mereka sangat terinspirasi oleh novel ini. Ketika Tuxedomoon membawakan lagu ini, mereka seakan membacakan narasi sebuah novel lewat musik.

Di negeri sendiri, Homicide menjadi tokoh utamanya. Lewat serangan rap hip hop radikal ala The Last Poets dan Public Enemy, mereka cerdas menyuarakan kritik dengan topik politik, despotisme, hingga fundamentalisme agama. Band asal Bandung yang kini menjadi almarhum ini menyisipkan metafora mitos sisipus di dalam salah satu lagunya, Prosa Tanpa Tuhan. Ucok sang ujung tombak yang punya nama keren Morgue Vanguard memang mempunyai hobi membaca. Novel fiksi hingga interpretasi ideologi banyak dikunyah oleh Ucok yang juga gemar menyuarakan tantangan pada isu Neoliberalisme. Tak heran, metafora-metafora dan karakter-karakter yang terdapat di dalamnya digunakan oleh Homicide untuk menyampaikan pesan pada para penikmat setia mereka. Ketahuilah, Senjakala Berhala yang ada di dalam album The Nekrophone Dayz bila di dalam bahasa Inggris kurang lebih bemakna The Twilight of the Idols, dan itu adalah sebuah judul buku karya Nietzsche yang ditulis pada tahun 1888! Yang lebih kentara, Homicide secara gamblang menggambarkan kedekatan mereka dengan karya sastra melalui musikalisasi puisi Sajak Suara karya Wiji Thukul, seorang pujangga asal kota Solo yang dihilangkan oleh rezim Orba akibat suara vokalnya yang menentang pemerintahan otoriter kala itu. Satu lagi, dengarlah Barisan Nisan. Sebuah sajak yang diberi nafas nada dan dibawakan dengan suasana mencekam seakan-akan tengah mengumandangkan orasi penuh kemarahan.

Efek Rumah Kaca yang kemunculannya dianggap menodai banalitas musik pop Indonesia lewat lirik kritis sarat nuansa sastra yang mengganggu kestabilitasan lirik roman picisan band-band pop mainstream mungkin menjadi salah satu band Indonesia yang sangat sastra. Cholil sang gitaris yang juga merangkap vokalis adalah seorang penggemar berat karya-karya Iwan Simatupang. Kebetulan, dia juga yang menjadi penulis lirik lagu-lagu Efek Rumah Kaca. Di salah satu wawancara dengan media online, Cholil menyebutkan bahwa Iwan Simatupang dan Putut EA mempengaruhi proses penulisan lirik-lirik lagu Efek Rumah Kaca.

Selain beberapa band di atas, mungkin masih ada banyak lagi band-band pengalun musik pinggiran yang dipengaruhi karya sastra dalam musik mereka. Entah itu di Eropa, Afrika, atau negara-negara di Pasifik sana, pasti ada kita temui karya sastra yang berdamai dengan seni musik pinggiran. Sastra dan musik, dua anak seni yang memang indah untuk dinikmati.

Tabik