Rabu, 30 Desember 2009

Selamat Pulang, Gus...


Tampak cahayamu gilang gemilang
Terangi gelap untuk meruang
Tak puas kepala hati meradang
Melihat kami bertukar tendang

Sosokmu kejam hitam menjulang
Bagai beruang mereka memandang
Walau mata bertemu batas pandang
Tak buat kau jadi patah arang

Wahai kau pencipta ruang
Tak bisa kau bertemu tenang
Selama Republik masih gamang
Selama masih kau bertemu remang

Badan dan jiwa tak lagi satu sekarang
Kau sambut ajal yang datang menjelang
Kepalan tanganku sambut kau pulang
Semoga tenang jiwamu berenang

Selasa, 29 Desember 2009

Crown Royal vs Ekonomi Rakyat


Terkesan saya setelah melihat tajuk berita di sebuah stasiun televisi swasta nasional yang berbunyi “Rp. 195 Milyar Untuk Mobil Pejabat”. Hot damn!! Jumlah uang yang tak dapat saya bayangkan. Toyota Crown Royal Saloon seharga 1,3 M per kepala! Di tengah situasi krisis keuangan yang dialami oleh Republik ini, dengan begitu angkuhnya para pejabat bisa berlenggang kangkung melewati jalan yang dipenuhi pengamen dan pengamis. Tampaknya hati nurani tak memiliki arti ketika kuasa materi datang membawa upeti. Para pejabat memang jagonya menghabiskan APBN. Salah seorang pejabat berargumen, para pejabat kerjanya memang berat, kadang tidak sempat untuk beristirahat. Mungkin mereka bisa tidur di mobil dinas baru yang sangat mewah itu. Kalau itu alasannya, beli saja mobil karavan atau beli bis sekalian biar enak tidurnya.
Melihat utang Negara yang mencapai ratusan milyar dan keadaan ekonomi rakyat yang kembang kempis, saya merasa pemborosan APBN untuk mobil dinas tersebut sangat tidak masuk akal. Kenapa harus mobil seharga Rp. 1,3 Milyar? Apa tak ada mobil lain yang harganya lebih sesuai dengan keadaan ekonomi rakyat? Untuk diketahui, mobil seharga Rp 1,3 Milyar itu belum termasuk uang bensin, oli, servis dan segala macam tetek bengeknya selama 5 tahun. Ukuran keberhasilan seorang pejabat Negara dalam rangka menyejahterakan rakyat yang memberikan mandatnya tidak bisa diukur dari mewah tidaknya mobil dinas yang mereka gunakan. Toh kalau mereka memakai sepeda tetapi bekerja secara maksimal, pastilah sejahtera bangsa ini. Ada argument, kalau mereka naik sepeda bagamana bisa bekerja maksimal? Saya balik bertanya, apakah dengan mengendarai mobil seharga Rp. 1,3 M itu para pejabat bisa menjamin hasil kerja mereka mampu memberikan kontribusi pada rakyat? Untuk diketahui, anggaran untuk transportasi para pejabat di Republik ini jumlahnya lebih besar dari pada negara seperti Malaysia, India, bahkan negara maju seperti Belanda.
Ooh, betapa indahnya dunia Indonesia ini.

Minggu, 27 Desember 2009

Atmosfer itu


Sore itu saya tengah menonton sebuah film, The Secret of Moonacre ketika tiba-tiba nada dari telepon genggam pinjaman saya bersuara. Sebuah pesan singkat dari Mumun saya baca "Bos, melu nonton PERSIS ra?". Setahun sudah saya tak berteriak-teriak mengeluarkan semua hasrat dukungan di laga PERSIS SOLO, tim kebanggaan kota Solo, tempat tinggal saya. Saya pun dengan cepat mengetik "Yo" lalu mengirimnya. Kami mengucap janji bertemu di rumah seorang kawan, Cimun namanya. Saya langsung menghentikan film yang dengan mudah saya tebak hasil akhirnya ini. Saya kenakan kaos kebanggaan berwarna merah bertuliskan Pasoepati, khusus untuk mendukung PERSIS SOLO. Wah, kalau saya pikir-pikir sudah setahun pula saya tak mengenakan kaos ini.
Lima menit kemudian saya sudah sampai di kediaman Cimun. Di sana sudah ada Ario (yang memang rumahnya di situ karena dia adiknya Cimun), Griwo (sampai sekarang saya tak tahu nama aslinya), dan seorang Mas-Mas yang berumur 30-an bersama buah hatinya seorang gadis berumur sekitar enam tahun yang tidak familiar bagi ingatan saya. Kami menunggu Mumun, namun tak kunjung datang dia. Cimun mendengar telepon genggamnya berbunyi. Dia menerima telepon dari seorang yang bernama Gendut, dia teman SMA Cimun dan Mumun, hendak ikut memeriahkan laga PERSIS pula. Gendut berkata dia sedang menunggu Mumun yang juga tak kunjung datang. Saya bingung.
Cimun memutuskan lebih baik kami pergi ke rumah Gendut sambil menunggu Mumun di rumahnya. Begitu tiba, Mumun ternyata sudah di sana mengenakan celana pendek dan sepatu futsal. Sungguh menggelikan. Seandainya saya bawa kamera, saya tangkap gambarnya dan saya unggah di Facebook, saya tandai teman-teman semua sehingga mereka jugaikut tertawa menemani saya. Sepuluh menit kemudian kami sudah sampai di stadion Manahan, tempat laga tim kesayangan kami. Sore itu PERSIS Solo ditantang sang pemuncak klasemen, Deltras Sidoarjo. Nasib sial menimpa Mumun karena dia kehilangan telepon genggamnya ketika mengantri tiket. Ini yang kedua kalinya dalam setahun dia kehilangan telepon genggam. Dengan muka merah padam dan panik, dia mennyerahkan tiket pada kami masing-masing yang memang menitipkan uang padanya untuk membeli tiket. Saya jadi merasa tidak enak. Setelah mendapatkan tiket, kami memasuki stadion. Jantung saya jadi berdisko melihat antrian yang begitu tidak terlihat seperti antrian karena orang-orang saling senggol bagaikan sedang menonton konser Agnostic Front ataupun Seringai. Mereka berusaha secepat mungkin masuk ke stadion karena ternyata wasit telah meniup peluit tanda laga dimulai.
Setelah bersusah payah mengerahkan segenap kekutan keluar dari antrian, saya berhasil memasuki stadion yang sudah penuh sesak oleh kepala manusia. Sudah lama saya merindukan atmosfer di kandang PERSIS ini, apakah ada yang berbeda? Oiya, sore itu hujan rintik-rintik mewarnai laga, saya berbasah-basah ria, namun saya menikmatinya. Para suporter bernyanyi, menari, berteriak, mencaci maki, dan melempar botol, menyuarakan dukungan mereka pada tim kesayangan yang sedang berlaga. Saya biasanya menonton di tribun yang berada di balik gawang dengan pertimbangan harganya lebih murah, namun kali ini, saya memilih memberi dukungan dari tribun tengah. Lebih mahal sedikit, tapi lebih teratur penontonnya. Dan benar, setelah babak kedua dimulai dengan kedudukan masih sama lemah 0-0, para penonton yang berada di tribun di balik gawang mulai berulah. Dari tempat duduk tempat saya melihat, tampak para supporter yang notabene mendukung tim yang sama tengah saling beradu kaki dan tangan. Satu sama lain memperagakan tinju ala Chris John dan tendangan ala Barry Prima. Mereka saling berkelahi. Entah apa atau siapa yang memulai, namun adegan yang saya lihat sungguh mencengangkan. Seperti inikah potret suporter Solo yang tadi menyanyikan jingle “…suportere sopan sing nonton dijamin aman…” Sungguh suatu paradoks yang ironis.
Tak lama kemudian, supporter yang lain yang berada di tribun tengah, satu tribun dengan saya juga mulai berulah. Lemparan botol melayang bagaikan balistik-balistik Amerika yang siap menghantam kepala wasit, pemain lawan, dan terutama hakim garis yang tepat berada di garis lapangan di depan tribun. Mereka berargumen: wasit dan hakim garis tidak adil atau pemain lawan bikin jengkel. Kasihan anak-anak yang mempunyai ayah seorang wasit dan hakim garis.
Kedudukan akhir sama lemah 0-0. Kami pun beranjak meninggalkan tribun bersama ribuan suporter lainnya. Saya pulang lebih dulu bersama Cimun karena dia hendak mengantarkan kekasihnya yang berada di rumah. Di perjalanan pulang, saya mendapati sekali lagi kearoganan para supporter PERSIS solo tercinta. Pemandangan yang sangat familiar. Mereka menunjukkan arogansinnya dengan menggeber gas motor mereka, memacu motor dengan jalan zig-zag, mengacungkan bendera sehingga memakan jalan di samping mereka, dan juga berteriak-teriak tak jelas.
Ternyata atmosfer itu masih sama setelah satu tahun tak bersua. Harapan satu-satunya, manifestasikan lagu-lagu yang kamu dengungkan itu. Buatlah kita semua menjadi tuan rumah yang mampu menjamu tamu. Tumbuhkanlah jakunmu. Semoga Natal tahun depan tak kudapat apa yang kulihat ini saat.
Satu hal yang berbeda hanyalah munculnya penjual mantel hujan ketika jeda sehabis babak pertama yang melengkapi penjual kacang, tahu, arem-arem, dan bak pao yang lebih dulu meniti karir di situ. Cukup membantu mereka yang lupa tak membawa ketika hujan melanda.

Sabtu, 26 Desember 2009

Epitaph


The first thing to know when we come to appear in this world is we are nothing breathing body.
We breath so that we live.
We live therefore we breath.
The process in our life meets the end when we fail to breath.
We fail to keep our heart beating.
Nonetheles....
I prefer not to breath
I prefer not to keep my heart beating
than to breath for nothing
than to keep my heart beating while watching the others far from me
meet their epitaph

Kamis, 24 Desember 2009

Living in the Middle


It's 4:47 in the afternoon, soon I'll get the evening
Almost completely finish Eco's Tamasya Dalam Dunia Hiperrealitas
I am thinking of the Roman Empire and Renaissance too
Is it that great the Middle Age?
The Knights Templar, The Crusade...
The Catholic domination
So I do not need to doubt?
I do not need to say "really"?
But I do not like the feudalism
It sucks anyhow...
But I'd like to try to live in the Medieval..
Uuhh...let me continue to read..

Minggu, 20 Desember 2009

Biarkan Disintegrasi(?)


Kelly Kwalik tewas!! Sang panglima yang dulu dengan gigih berjuang mempertahankan asa untuk merebut cita tanah Papua merdeka kini terbujur kaku tak bernyawa. Konflik yang terus menerus menggerus di tanah yang dahulu bernama Irian Jaya ini tak sedikit telah menimbulkan nyawa hilang melayang. Gerakan tentara pembebasan tanah Papua yang lebih familiar dikenal dengan nama Operasi Papua Merdeka (OPM) seakan tak lekang dimakan jaman meneriakkan resistensi untuk menggapai cita-cita mereka. Gerakan separatis yang diawaki oleh para putra-putri Papua ini lahir pada tahun 1965. Mereka membentuk gerakan ini sebagai sebuah manifestasi meraih angan untuk lepas dari Negara Indonesia. Menurut catatan Ottis Simopiarief, seorang warga Papua yang meminta suaka politik ke Kedutaan Belanda pada tahun 1984 yang diberi judul Karkara, ada 4 dasar utama mengapa Papua ingin merdeka, yaitu hak, budaya, latar belakang sejarah, dan realitas sekarang.
Ottis berargumen bahwa setiap bangsa di dunia berhak menentukan kemerdekaan mereka masing-masing. Hal ini dihubungkan dengan Universal Declaration on Human Rights yang berbunyi all peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development –Semua bangsa berhak menentukan nasib mereka sendiri. Dengan dasar kebajikan hak itu, mereka bebas menentukan status politik dan bebas mengusahakan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri-. Oleh sebab itu, rakyat Papua merasa mereka juga punya hak untuk mendapatkan kemerdekaan pula. Dilihat dari perspektif budaya, ras rakyat Papua termasuk ras Melanesia yang berbeda dari sebagian besar ras yang ada di Indonesia seperti Batak, Jawa, Dayak, Bugis, dsb. Latar belakang sejarah turut pula menjadi faktor penting kenapa Papua ingin merdeka. Ottis berpendapat bahwa suku-suku yang ada di Papua tidak punya hubungan politik vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia. Gerakan kemerdekaan pada masa kolonisasi Belanda dan Jepang pun dilakukan atas dasar memerdekan bangsa Melanesia, bukan Indonesia. Rakyat Papua juga mengklaim bahwa mereka telah mendapatkan status tersendiri dari pemerintahan kolonial Belanda waktu itu. Mereka telah mempunyai bendera dan lagu kebangsaan sendiri sebagai wujud dari simbol-simbol kenegaraan mereka. Mengacu pada realitas sekarang, banyak hal yang perlu disoroti menyangkut keinginan putra-putri Papua untuk mendapatkan kemerdekaan. Dengan adanya kemajuan sistem informasi saat ini, banyak rakyat Papua yang kemudian ingin tahu dan akhirnya mengetahui mengapa banyak dari mereka yang ingin merdeka dari penjajahan Indonesia.

Selain hal-hal tersebut, kebijakan pemerintah pusat yang dirasa kurang bijak juga turut andil memberikan nafas perlawanan kepada rakyat Papua. Pembangunan yang kurang merata ditambah eksplotasi besar-besaran di tanah Papua dengan hanya memberikan kontribusi sangat kecil pada rakyat setempat menambah api semakin membara. Sangat ironis memang, di kala pembangunan apartemen bertingkat lima gencar dilakukan di Jakarta, pembangunan rumah yang hancur akibat gempa di Nabire tak jua dilancarkan. Ketika jembatan prestisius penghubung Jawa-Madura dicanangkan, putra-putri Papua di Manokwari masih harus melalui jalan berliku untuk dapat menapakkan kaki mereka di Merauke. Eksploitasi PT Freeport yang mendulang berton-ton emas dan hanya mencipratkan beberapa ons pada warga lokal menjadi sangat signifikan pada penembakan yang dilakukan OPM di areal Freeport. Sebuah ironi di dalam Negara yang menganut demokrasi kerakyatan ini.
Akankah pemerintah pusat menyadari betapa saudara kita di Papua ini juga membutuhkan perhatian lebih? Rakyat Papua menjelma bak anak tiri di layar televisi yang selalu dicaci maki dan tak dikasihani. Apabila memang Indonesia ingin menjadikan Papua sebagai bagian dari NKRI, konsekuensi lewat keadilan pembangunan menjadi sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan. Kelly Kwalik memang telah gugur, namun akan ada Kelly Kwalik yang lain yang akan siap mempertahankan asa untuk meraih cita Papua merdeka selama keadilan tak juga mereka dapat dari negeri kita tercinta, Indonesia.

Sabtu, 12 Desember 2009

Tanya Kenapa?

Ketika sebuah pertanyaan membuahkan jawaban, maka pertanyaan itu pasti tak ditanyakan lagi oleh si penanya.
Namun apabila pertanyaannya berbunyi seperti ini:
"Kenapa kita ada?"
"Kenapa kita hidup?"
"Apa itu hidup?"
"Bagaimana kita hidup?"
"Kenapa ada dunia?"
"Kenapa ada benda?"

Imitation is the Sincerest Form of Battery

Don't try to resist, you're coming with us
Provisions are made, accommodations have been met
Your words are encoded in the bleak genetics of the mob
Praise apocrypha - omitted offense - to relieve us of guilt but not of our sin.
We've sacraficed discourse at the feet of your clever turn of phrase.
Now you owe it to us, we demand to be taken aback
To be shown the revival of hope for which your words are responsible

Oh, it's the end of the line
I'm cornered by a precedent
The sneering public eye
My job here is done

You're fucking welcome...

Retract the accolade
The candid acclaim
Inspiration is cutting its loss
Regurgitate headlines or a theory on modern art
You've been fooled again, the red herrings a joke

I've tried so hard to tell you
That I've tapped the well dry
But there's no word

Stay wistful and young
The affected are banking on oblivion
In the drone of embittered hope
And we're sold by the way they wrote it

Oh, it's the end of the line
I'm cornered by a precedent
The sneering public eye

It is better to destroy than to create what is meaningless.
So the picture will not be finished...

Opo kui mau?
Mbuh...ngrungokne Everytime I Die meneh ah......
It is better to destroy than to create what is meaningless.....

In These Days

Sad enough to kill the wire
Bring them to see the Firm
None of them so called the liars
Forgotten, the National Anthem

None dare call it a treason
Such a fool to lift it higher
Sit back, relax, eyes to horizon
Waiting to strike the facts further