Minggu, 27 Desember 2009

Atmosfer itu


Sore itu saya tengah menonton sebuah film, The Secret of Moonacre ketika tiba-tiba nada dari telepon genggam pinjaman saya bersuara. Sebuah pesan singkat dari Mumun saya baca "Bos, melu nonton PERSIS ra?". Setahun sudah saya tak berteriak-teriak mengeluarkan semua hasrat dukungan di laga PERSIS SOLO, tim kebanggaan kota Solo, tempat tinggal saya. Saya pun dengan cepat mengetik "Yo" lalu mengirimnya. Kami mengucap janji bertemu di rumah seorang kawan, Cimun namanya. Saya langsung menghentikan film yang dengan mudah saya tebak hasil akhirnya ini. Saya kenakan kaos kebanggaan berwarna merah bertuliskan Pasoepati, khusus untuk mendukung PERSIS SOLO. Wah, kalau saya pikir-pikir sudah setahun pula saya tak mengenakan kaos ini.
Lima menit kemudian saya sudah sampai di kediaman Cimun. Di sana sudah ada Ario (yang memang rumahnya di situ karena dia adiknya Cimun), Griwo (sampai sekarang saya tak tahu nama aslinya), dan seorang Mas-Mas yang berumur 30-an bersama buah hatinya seorang gadis berumur sekitar enam tahun yang tidak familiar bagi ingatan saya. Kami menunggu Mumun, namun tak kunjung datang dia. Cimun mendengar telepon genggamnya berbunyi. Dia menerima telepon dari seorang yang bernama Gendut, dia teman SMA Cimun dan Mumun, hendak ikut memeriahkan laga PERSIS pula. Gendut berkata dia sedang menunggu Mumun yang juga tak kunjung datang. Saya bingung.
Cimun memutuskan lebih baik kami pergi ke rumah Gendut sambil menunggu Mumun di rumahnya. Begitu tiba, Mumun ternyata sudah di sana mengenakan celana pendek dan sepatu futsal. Sungguh menggelikan. Seandainya saya bawa kamera, saya tangkap gambarnya dan saya unggah di Facebook, saya tandai teman-teman semua sehingga mereka jugaikut tertawa menemani saya. Sepuluh menit kemudian kami sudah sampai di stadion Manahan, tempat laga tim kesayangan kami. Sore itu PERSIS Solo ditantang sang pemuncak klasemen, Deltras Sidoarjo. Nasib sial menimpa Mumun karena dia kehilangan telepon genggamnya ketika mengantri tiket. Ini yang kedua kalinya dalam setahun dia kehilangan telepon genggam. Dengan muka merah padam dan panik, dia mennyerahkan tiket pada kami masing-masing yang memang menitipkan uang padanya untuk membeli tiket. Saya jadi merasa tidak enak. Setelah mendapatkan tiket, kami memasuki stadion. Jantung saya jadi berdisko melihat antrian yang begitu tidak terlihat seperti antrian karena orang-orang saling senggol bagaikan sedang menonton konser Agnostic Front ataupun Seringai. Mereka berusaha secepat mungkin masuk ke stadion karena ternyata wasit telah meniup peluit tanda laga dimulai.
Setelah bersusah payah mengerahkan segenap kekutan keluar dari antrian, saya berhasil memasuki stadion yang sudah penuh sesak oleh kepala manusia. Sudah lama saya merindukan atmosfer di kandang PERSIS ini, apakah ada yang berbeda? Oiya, sore itu hujan rintik-rintik mewarnai laga, saya berbasah-basah ria, namun saya menikmatinya. Para suporter bernyanyi, menari, berteriak, mencaci maki, dan melempar botol, menyuarakan dukungan mereka pada tim kesayangan yang sedang berlaga. Saya biasanya menonton di tribun yang berada di balik gawang dengan pertimbangan harganya lebih murah, namun kali ini, saya memilih memberi dukungan dari tribun tengah. Lebih mahal sedikit, tapi lebih teratur penontonnya. Dan benar, setelah babak kedua dimulai dengan kedudukan masih sama lemah 0-0, para penonton yang berada di tribun di balik gawang mulai berulah. Dari tempat duduk tempat saya melihat, tampak para supporter yang notabene mendukung tim yang sama tengah saling beradu kaki dan tangan. Satu sama lain memperagakan tinju ala Chris John dan tendangan ala Barry Prima. Mereka saling berkelahi. Entah apa atau siapa yang memulai, namun adegan yang saya lihat sungguh mencengangkan. Seperti inikah potret suporter Solo yang tadi menyanyikan jingle “…suportere sopan sing nonton dijamin aman…” Sungguh suatu paradoks yang ironis.
Tak lama kemudian, supporter yang lain yang berada di tribun tengah, satu tribun dengan saya juga mulai berulah. Lemparan botol melayang bagaikan balistik-balistik Amerika yang siap menghantam kepala wasit, pemain lawan, dan terutama hakim garis yang tepat berada di garis lapangan di depan tribun. Mereka berargumen: wasit dan hakim garis tidak adil atau pemain lawan bikin jengkel. Kasihan anak-anak yang mempunyai ayah seorang wasit dan hakim garis.
Kedudukan akhir sama lemah 0-0. Kami pun beranjak meninggalkan tribun bersama ribuan suporter lainnya. Saya pulang lebih dulu bersama Cimun karena dia hendak mengantarkan kekasihnya yang berada di rumah. Di perjalanan pulang, saya mendapati sekali lagi kearoganan para supporter PERSIS solo tercinta. Pemandangan yang sangat familiar. Mereka menunjukkan arogansinnya dengan menggeber gas motor mereka, memacu motor dengan jalan zig-zag, mengacungkan bendera sehingga memakan jalan di samping mereka, dan juga berteriak-teriak tak jelas.
Ternyata atmosfer itu masih sama setelah satu tahun tak bersua. Harapan satu-satunya, manifestasikan lagu-lagu yang kamu dengungkan itu. Buatlah kita semua menjadi tuan rumah yang mampu menjamu tamu. Tumbuhkanlah jakunmu. Semoga Natal tahun depan tak kudapat apa yang kulihat ini saat.
Satu hal yang berbeda hanyalah munculnya penjual mantel hujan ketika jeda sehabis babak pertama yang melengkapi penjual kacang, tahu, arem-arem, dan bak pao yang lebih dulu meniti karir di situ. Cukup membantu mereka yang lupa tak membawa ketika hujan melanda.