Rabu, 30 Desember 2009

Selamat Pulang, Gus...


Tampak cahayamu gilang gemilang
Terangi gelap untuk meruang
Tak puas kepala hati meradang
Melihat kami bertukar tendang

Sosokmu kejam hitam menjulang
Bagai beruang mereka memandang
Walau mata bertemu batas pandang
Tak buat kau jadi patah arang

Wahai kau pencipta ruang
Tak bisa kau bertemu tenang
Selama Republik masih gamang
Selama masih kau bertemu remang

Badan dan jiwa tak lagi satu sekarang
Kau sambut ajal yang datang menjelang
Kepalan tanganku sambut kau pulang
Semoga tenang jiwamu berenang

Selasa, 29 Desember 2009

Crown Royal vs Ekonomi Rakyat


Terkesan saya setelah melihat tajuk berita di sebuah stasiun televisi swasta nasional yang berbunyi “Rp. 195 Milyar Untuk Mobil Pejabat”. Hot damn!! Jumlah uang yang tak dapat saya bayangkan. Toyota Crown Royal Saloon seharga 1,3 M per kepala! Di tengah situasi krisis keuangan yang dialami oleh Republik ini, dengan begitu angkuhnya para pejabat bisa berlenggang kangkung melewati jalan yang dipenuhi pengamen dan pengamis. Tampaknya hati nurani tak memiliki arti ketika kuasa materi datang membawa upeti. Para pejabat memang jagonya menghabiskan APBN. Salah seorang pejabat berargumen, para pejabat kerjanya memang berat, kadang tidak sempat untuk beristirahat. Mungkin mereka bisa tidur di mobil dinas baru yang sangat mewah itu. Kalau itu alasannya, beli saja mobil karavan atau beli bis sekalian biar enak tidurnya.
Melihat utang Negara yang mencapai ratusan milyar dan keadaan ekonomi rakyat yang kembang kempis, saya merasa pemborosan APBN untuk mobil dinas tersebut sangat tidak masuk akal. Kenapa harus mobil seharga Rp. 1,3 Milyar? Apa tak ada mobil lain yang harganya lebih sesuai dengan keadaan ekonomi rakyat? Untuk diketahui, mobil seharga Rp 1,3 Milyar itu belum termasuk uang bensin, oli, servis dan segala macam tetek bengeknya selama 5 tahun. Ukuran keberhasilan seorang pejabat Negara dalam rangka menyejahterakan rakyat yang memberikan mandatnya tidak bisa diukur dari mewah tidaknya mobil dinas yang mereka gunakan. Toh kalau mereka memakai sepeda tetapi bekerja secara maksimal, pastilah sejahtera bangsa ini. Ada argument, kalau mereka naik sepeda bagamana bisa bekerja maksimal? Saya balik bertanya, apakah dengan mengendarai mobil seharga Rp. 1,3 M itu para pejabat bisa menjamin hasil kerja mereka mampu memberikan kontribusi pada rakyat? Untuk diketahui, anggaran untuk transportasi para pejabat di Republik ini jumlahnya lebih besar dari pada negara seperti Malaysia, India, bahkan negara maju seperti Belanda.
Ooh, betapa indahnya dunia Indonesia ini.

Minggu, 27 Desember 2009

Atmosfer itu


Sore itu saya tengah menonton sebuah film, The Secret of Moonacre ketika tiba-tiba nada dari telepon genggam pinjaman saya bersuara. Sebuah pesan singkat dari Mumun saya baca "Bos, melu nonton PERSIS ra?". Setahun sudah saya tak berteriak-teriak mengeluarkan semua hasrat dukungan di laga PERSIS SOLO, tim kebanggaan kota Solo, tempat tinggal saya. Saya pun dengan cepat mengetik "Yo" lalu mengirimnya. Kami mengucap janji bertemu di rumah seorang kawan, Cimun namanya. Saya langsung menghentikan film yang dengan mudah saya tebak hasil akhirnya ini. Saya kenakan kaos kebanggaan berwarna merah bertuliskan Pasoepati, khusus untuk mendukung PERSIS SOLO. Wah, kalau saya pikir-pikir sudah setahun pula saya tak mengenakan kaos ini.
Lima menit kemudian saya sudah sampai di kediaman Cimun. Di sana sudah ada Ario (yang memang rumahnya di situ karena dia adiknya Cimun), Griwo (sampai sekarang saya tak tahu nama aslinya), dan seorang Mas-Mas yang berumur 30-an bersama buah hatinya seorang gadis berumur sekitar enam tahun yang tidak familiar bagi ingatan saya. Kami menunggu Mumun, namun tak kunjung datang dia. Cimun mendengar telepon genggamnya berbunyi. Dia menerima telepon dari seorang yang bernama Gendut, dia teman SMA Cimun dan Mumun, hendak ikut memeriahkan laga PERSIS pula. Gendut berkata dia sedang menunggu Mumun yang juga tak kunjung datang. Saya bingung.
Cimun memutuskan lebih baik kami pergi ke rumah Gendut sambil menunggu Mumun di rumahnya. Begitu tiba, Mumun ternyata sudah di sana mengenakan celana pendek dan sepatu futsal. Sungguh menggelikan. Seandainya saya bawa kamera, saya tangkap gambarnya dan saya unggah di Facebook, saya tandai teman-teman semua sehingga mereka jugaikut tertawa menemani saya. Sepuluh menit kemudian kami sudah sampai di stadion Manahan, tempat laga tim kesayangan kami. Sore itu PERSIS Solo ditantang sang pemuncak klasemen, Deltras Sidoarjo. Nasib sial menimpa Mumun karena dia kehilangan telepon genggamnya ketika mengantri tiket. Ini yang kedua kalinya dalam setahun dia kehilangan telepon genggam. Dengan muka merah padam dan panik, dia mennyerahkan tiket pada kami masing-masing yang memang menitipkan uang padanya untuk membeli tiket. Saya jadi merasa tidak enak. Setelah mendapatkan tiket, kami memasuki stadion. Jantung saya jadi berdisko melihat antrian yang begitu tidak terlihat seperti antrian karena orang-orang saling senggol bagaikan sedang menonton konser Agnostic Front ataupun Seringai. Mereka berusaha secepat mungkin masuk ke stadion karena ternyata wasit telah meniup peluit tanda laga dimulai.
Setelah bersusah payah mengerahkan segenap kekutan keluar dari antrian, saya berhasil memasuki stadion yang sudah penuh sesak oleh kepala manusia. Sudah lama saya merindukan atmosfer di kandang PERSIS ini, apakah ada yang berbeda? Oiya, sore itu hujan rintik-rintik mewarnai laga, saya berbasah-basah ria, namun saya menikmatinya. Para suporter bernyanyi, menari, berteriak, mencaci maki, dan melempar botol, menyuarakan dukungan mereka pada tim kesayangan yang sedang berlaga. Saya biasanya menonton di tribun yang berada di balik gawang dengan pertimbangan harganya lebih murah, namun kali ini, saya memilih memberi dukungan dari tribun tengah. Lebih mahal sedikit, tapi lebih teratur penontonnya. Dan benar, setelah babak kedua dimulai dengan kedudukan masih sama lemah 0-0, para penonton yang berada di tribun di balik gawang mulai berulah. Dari tempat duduk tempat saya melihat, tampak para supporter yang notabene mendukung tim yang sama tengah saling beradu kaki dan tangan. Satu sama lain memperagakan tinju ala Chris John dan tendangan ala Barry Prima. Mereka saling berkelahi. Entah apa atau siapa yang memulai, namun adegan yang saya lihat sungguh mencengangkan. Seperti inikah potret suporter Solo yang tadi menyanyikan jingle “…suportere sopan sing nonton dijamin aman…” Sungguh suatu paradoks yang ironis.
Tak lama kemudian, supporter yang lain yang berada di tribun tengah, satu tribun dengan saya juga mulai berulah. Lemparan botol melayang bagaikan balistik-balistik Amerika yang siap menghantam kepala wasit, pemain lawan, dan terutama hakim garis yang tepat berada di garis lapangan di depan tribun. Mereka berargumen: wasit dan hakim garis tidak adil atau pemain lawan bikin jengkel. Kasihan anak-anak yang mempunyai ayah seorang wasit dan hakim garis.
Kedudukan akhir sama lemah 0-0. Kami pun beranjak meninggalkan tribun bersama ribuan suporter lainnya. Saya pulang lebih dulu bersama Cimun karena dia hendak mengantarkan kekasihnya yang berada di rumah. Di perjalanan pulang, saya mendapati sekali lagi kearoganan para supporter PERSIS solo tercinta. Pemandangan yang sangat familiar. Mereka menunjukkan arogansinnya dengan menggeber gas motor mereka, memacu motor dengan jalan zig-zag, mengacungkan bendera sehingga memakan jalan di samping mereka, dan juga berteriak-teriak tak jelas.
Ternyata atmosfer itu masih sama setelah satu tahun tak bersua. Harapan satu-satunya, manifestasikan lagu-lagu yang kamu dengungkan itu. Buatlah kita semua menjadi tuan rumah yang mampu menjamu tamu. Tumbuhkanlah jakunmu. Semoga Natal tahun depan tak kudapat apa yang kulihat ini saat.
Satu hal yang berbeda hanyalah munculnya penjual mantel hujan ketika jeda sehabis babak pertama yang melengkapi penjual kacang, tahu, arem-arem, dan bak pao yang lebih dulu meniti karir di situ. Cukup membantu mereka yang lupa tak membawa ketika hujan melanda.

Sabtu, 26 Desember 2009

Epitaph


The first thing to know when we come to appear in this world is we are nothing breathing body.
We breath so that we live.
We live therefore we breath.
The process in our life meets the end when we fail to breath.
We fail to keep our heart beating.
Nonetheles....
I prefer not to breath
I prefer not to keep my heart beating
than to breath for nothing
than to keep my heart beating while watching the others far from me
meet their epitaph

Kamis, 24 Desember 2009

Living in the Middle


It's 4:47 in the afternoon, soon I'll get the evening
Almost completely finish Eco's Tamasya Dalam Dunia Hiperrealitas
I am thinking of the Roman Empire and Renaissance too
Is it that great the Middle Age?
The Knights Templar, The Crusade...
The Catholic domination
So I do not need to doubt?
I do not need to say "really"?
But I do not like the feudalism
It sucks anyhow...
But I'd like to try to live in the Medieval..
Uuhh...let me continue to read..

Minggu, 20 Desember 2009

Biarkan Disintegrasi(?)


Kelly Kwalik tewas!! Sang panglima yang dulu dengan gigih berjuang mempertahankan asa untuk merebut cita tanah Papua merdeka kini terbujur kaku tak bernyawa. Konflik yang terus menerus menggerus di tanah yang dahulu bernama Irian Jaya ini tak sedikit telah menimbulkan nyawa hilang melayang. Gerakan tentara pembebasan tanah Papua yang lebih familiar dikenal dengan nama Operasi Papua Merdeka (OPM) seakan tak lekang dimakan jaman meneriakkan resistensi untuk menggapai cita-cita mereka. Gerakan separatis yang diawaki oleh para putra-putri Papua ini lahir pada tahun 1965. Mereka membentuk gerakan ini sebagai sebuah manifestasi meraih angan untuk lepas dari Negara Indonesia. Menurut catatan Ottis Simopiarief, seorang warga Papua yang meminta suaka politik ke Kedutaan Belanda pada tahun 1984 yang diberi judul Karkara, ada 4 dasar utama mengapa Papua ingin merdeka, yaitu hak, budaya, latar belakang sejarah, dan realitas sekarang.
Ottis berargumen bahwa setiap bangsa di dunia berhak menentukan kemerdekaan mereka masing-masing. Hal ini dihubungkan dengan Universal Declaration on Human Rights yang berbunyi all peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development –Semua bangsa berhak menentukan nasib mereka sendiri. Dengan dasar kebajikan hak itu, mereka bebas menentukan status politik dan bebas mengusahakan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri-. Oleh sebab itu, rakyat Papua merasa mereka juga punya hak untuk mendapatkan kemerdekaan pula. Dilihat dari perspektif budaya, ras rakyat Papua termasuk ras Melanesia yang berbeda dari sebagian besar ras yang ada di Indonesia seperti Batak, Jawa, Dayak, Bugis, dsb. Latar belakang sejarah turut pula menjadi faktor penting kenapa Papua ingin merdeka. Ottis berpendapat bahwa suku-suku yang ada di Papua tidak punya hubungan politik vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia. Gerakan kemerdekaan pada masa kolonisasi Belanda dan Jepang pun dilakukan atas dasar memerdekan bangsa Melanesia, bukan Indonesia. Rakyat Papua juga mengklaim bahwa mereka telah mendapatkan status tersendiri dari pemerintahan kolonial Belanda waktu itu. Mereka telah mempunyai bendera dan lagu kebangsaan sendiri sebagai wujud dari simbol-simbol kenegaraan mereka. Mengacu pada realitas sekarang, banyak hal yang perlu disoroti menyangkut keinginan putra-putri Papua untuk mendapatkan kemerdekaan. Dengan adanya kemajuan sistem informasi saat ini, banyak rakyat Papua yang kemudian ingin tahu dan akhirnya mengetahui mengapa banyak dari mereka yang ingin merdeka dari penjajahan Indonesia.

Selain hal-hal tersebut, kebijakan pemerintah pusat yang dirasa kurang bijak juga turut andil memberikan nafas perlawanan kepada rakyat Papua. Pembangunan yang kurang merata ditambah eksplotasi besar-besaran di tanah Papua dengan hanya memberikan kontribusi sangat kecil pada rakyat setempat menambah api semakin membara. Sangat ironis memang, di kala pembangunan apartemen bertingkat lima gencar dilakukan di Jakarta, pembangunan rumah yang hancur akibat gempa di Nabire tak jua dilancarkan. Ketika jembatan prestisius penghubung Jawa-Madura dicanangkan, putra-putri Papua di Manokwari masih harus melalui jalan berliku untuk dapat menapakkan kaki mereka di Merauke. Eksploitasi PT Freeport yang mendulang berton-ton emas dan hanya mencipratkan beberapa ons pada warga lokal menjadi sangat signifikan pada penembakan yang dilakukan OPM di areal Freeport. Sebuah ironi di dalam Negara yang menganut demokrasi kerakyatan ini.
Akankah pemerintah pusat menyadari betapa saudara kita di Papua ini juga membutuhkan perhatian lebih? Rakyat Papua menjelma bak anak tiri di layar televisi yang selalu dicaci maki dan tak dikasihani. Apabila memang Indonesia ingin menjadikan Papua sebagai bagian dari NKRI, konsekuensi lewat keadilan pembangunan menjadi sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan. Kelly Kwalik memang telah gugur, namun akan ada Kelly Kwalik yang lain yang akan siap mempertahankan asa untuk meraih cita Papua merdeka selama keadilan tak juga mereka dapat dari negeri kita tercinta, Indonesia.

Sabtu, 12 Desember 2009

Tanya Kenapa?

Ketika sebuah pertanyaan membuahkan jawaban, maka pertanyaan itu pasti tak ditanyakan lagi oleh si penanya.
Namun apabila pertanyaannya berbunyi seperti ini:
"Kenapa kita ada?"
"Kenapa kita hidup?"
"Apa itu hidup?"
"Bagaimana kita hidup?"
"Kenapa ada dunia?"
"Kenapa ada benda?"

Imitation is the Sincerest Form of Battery

Don't try to resist, you're coming with us
Provisions are made, accommodations have been met
Your words are encoded in the bleak genetics of the mob
Praise apocrypha - omitted offense - to relieve us of guilt but not of our sin.
We've sacraficed discourse at the feet of your clever turn of phrase.
Now you owe it to us, we demand to be taken aback
To be shown the revival of hope for which your words are responsible

Oh, it's the end of the line
I'm cornered by a precedent
The sneering public eye
My job here is done

You're fucking welcome...

Retract the accolade
The candid acclaim
Inspiration is cutting its loss
Regurgitate headlines or a theory on modern art
You've been fooled again, the red herrings a joke

I've tried so hard to tell you
That I've tapped the well dry
But there's no word

Stay wistful and young
The affected are banking on oblivion
In the drone of embittered hope
And we're sold by the way they wrote it

Oh, it's the end of the line
I'm cornered by a precedent
The sneering public eye

It is better to destroy than to create what is meaningless.
So the picture will not be finished...

Opo kui mau?
Mbuh...ngrungokne Everytime I Die meneh ah......
It is better to destroy than to create what is meaningless.....

In These Days

Sad enough to kill the wire
Bring them to see the Firm
None of them so called the liars
Forgotten, the National Anthem

None dare call it a treason
Such a fool to lift it higher
Sit back, relax, eyes to horizon
Waiting to strike the facts further

Senin, 13 Juli 2009

Bahasa...Bahasa...

Ketika kita memperbincangkan bahasa atau istilahnya linguistik, maka kita (atau saya) akan menjadi bingung.
Kenapa? Karena bahasa (nasional/daerah) itu ada jutaaaan(bacanya smbl niru Fitri Tropica ya..hehe).Antara satu bahasa dengan bahsaa lain ada perbedaan, ada pula kesamaan. Karena bingung, kita (atau saya) maka mempelajari bahasa punya daya tarik tersendiri. Sama seperti kta coba memecahkan soal matematika, mencoba menemukan rumus sampai ketemu klimaksnya, dan kita berteriak aaaahhhh...eureka kata si Archimedes.
Belajar bahasa asing (bukan bahasa ibu) bagi orang orang Indonesia pada tahun 2000an menjadi hal yang sangat wahhhhhh...dengan adanya dengungan pasar bebas, dimana orang bebas bertransaksi, bebas membeli, bebas menelanjangi sesamanya, maka bahasa Inggris menjadi satu bahasa asing yang wahhhh itu. Orang orang ingin menyelami wacana pragmatis Amerika. Uang adalah segalanya. Kompetisi memerlukan bahasa. Bahasa adalah penentu kemakmuran seseorang. Seorang penjual angkringan langganan saya pernah berkata "wah, nek iso boso inggris, mesti duite akeh, iso ngoming karo londo, kan londo duite dollar kabeh."(Artinya?golek dewe...hehe)
Tempat kursus menjamur bak panu di kulit Toni(pisss Ton..hehe), lembaga bahasa didirikan dengan masing masing slogannya, mencoba memberi makna pada huruf yang terangkai. Masyarakat Indonesia yang budiman da (mudah-mudahan) beriman, mempelajari bahasa saat ini bukanlah sekedar untuk mencari segenggam dollar. Mempelajari bahasa akan menjadi nikmat ketika dihubungkan dengan budaya, bukan dengan uang semata.
Nah, sekarang saya bingung mau nulis apa..hahaha
Yowes, yang penting, bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi pencari harta, namun bahasa juga menjadi alat komunikasi penghubung manusia, antar satu budaya dengan budaya lain yang berlainan,oleh sebab itu, maka belajarla bahasa, belajarlah tentang manusia...Kita masih manusia kan?

Selasa, 09 Juni 2009

Ketika Negara Kita di injak- injak...

Mempersoalkan batas wilayah suatu Negara adalah wajib, ketika suatu Negara sudah mencapai tahap merdeka dan mandiri. Adalah suatu syarat terbentuknya suatu Negara, diakui kedudukannya sebagai suatu Negara oleh Negara lain, dengan terbentuknya batas Negara. Namun, apa yang akan terjadi apabila batas wilayah Negara yang menjadi patokan kedaulatan suatu Negara diterabas, diterjang, diperkosa seenakna oleh Negara lain? Diam saja….Ya, itulah kenyataan pahit yang sedang terjadi di Negara kita tercinta, Indonesia. Di tengah kemelut persaingan panas menjadi orang Indonesia nomor 1, Malaysia membidik satu (lagi) wilayah Indonesia yaitu perairan Ambalat. Gila!!! Sesudah Sipadan dan Ligitan, lalu Ambalat. Setelah itu?
Departemen Pertahanan, Departemen LuarNegeri, dan semua departemen terkait hanya diam tak bergerak, seperti seonggok bangkai di tengah kumpulan bangkai lainnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Ya, Indonesia memang kaya. Indonesia memang beraneka ragam. Indonesia memang terkenal akan keramahan warganya. Tetapi, ketika suatu Negara telah dengan sengaja melanggar peraturan, memasuki batas Negara kita tanpa ijin untuk mengambil kekayaan di dalamnya. Haruskah kita diam saja karena toh masih punya banyak kekayaan di daerah lain? Apakah kita harus tetap ramah dan tersenyum saja, mengalungkan bunga dan berkata “Selamat datang.”? Tidak!!
Apakah kita akan diam saja diinjak harga diri kita? Teriakkan dan beri tiupan nafas jiwa pada resistensi, agar resistensi itu bernyawa, sehingga kita bisa melawan inperialisme gaya Malaysia. Buktikan bahwa kita juga punya kekuatan. Ganyang Malaysia!!

Selasa, 02 Juni 2009

Anti-Communism Sentiment in Indonesia as a Result of Hegemony and Governmentality

What are the meaning of hegemony and governmentality? The real application of hegemony done by the government existed in Gramsci’s own country, Italy. Benito Mussolini, known as Italian prime minister (1922–43) and the first of 20th-century Europe's fascist dictators successfully develop the idea of fascism though it curtailed the liberty of most Italians. Gramsci revealed that this phenomenon happened as the effect of hegemonic government led by Mussolini at that time. The culture of fascism developed rapidly to the most of Italians because Mussolini used his power as the ruler to dominate the people who were inferior to him. As the one who was superior he easily injected his ideology into every Italians mind to keep his dominance in the society.
Foucault’s idea of governmentality was raised when he studied the genealogy. Foucault had a great attention to “governmentality,” the array of political arrangements, past and present, within which individuals have not simply been dominated subjects but have been able in some measure to govern, to be, and to create themselves. He expanded the scope (and lessened the bite) of genealogy. No longer focused exclusively on the dynamics of power-knowledge, it came to encompass the broader dynamics of human reflection, of the posing of questions and the seeking of answers, of “problematization.” It could thus chart the possibilities, past and present, of ethics—the “reflective practice of freedom”—a domain in which human beings could exercise their power to conceive and test the modes of domination and subjectivation under which they happened to live.
The notion of hegemony and governmentality also existed in Indonesia, especially in the New Order era. Whether in a conscious condition or not, Soeharto as the leader of the New Order applied Gramsci’s hegemony and Foucault’s governmentality in running the government. The hegemony and governmentality done by the New Order is related to the communism in Indonesia, Indonesian Communist Party (PKI) in particular. The anti-communism sentiment emerged in Indonesia is considered as the effect of the hegemony and governmentality.
As explained previously, hegemony is the combination of coercion and consent in order to dominate the inferior. New Order era led by Soeharto had an inharmonic relationship with communists in Indonesia because he was the one who commanded the “holocaust” of many people that was accused as the members on PKI. Though they did not have any participation in the organization, but if the military considered them as communists, they would be murdered. Soeharto accused PKI as the actors of the September 30th coup while the PKI itself assumed that Soeharto himself as the actor. By using his power as a president of Indonesia he run the hegemonic government by giving a bad stigma to communism. As one example, a film about the September 30th coup that was set up by PKI was always presented in all TV channels once a year, every September 30th. By using the media of television which use audio-video, the “doctrine” to mark the bad stigma to communism would be much easier in “hypnotizing” the people who watched it. The film has a tendency to blame communism that caused the dead of the generals. Television as the media to run the hegemony may become the best way to justify the “fact” that September 30th was done by PKI so communism should be blamed and avoided. The issue that brought the anti-communism sentiment contained in the film that was presented in the television which was the domain of the authorized government somehow becomes the “coercion” because all the television channels broadcasted the film and the people has no choice to watch the other programs so they watch it. The act of watching is considered as the “consent” because the people will also enjoy the film since it is strongly related to the history of Indonesia itself.
In the sense of governmentality, one example that strong enough is the content of the history books always brought the anti-communism sentiment when it arrived to the discussion about the September 30th coup. The history books included the books for elementary school, junior high school, high school, and even university. The anti-communism sentiment was taught in the educational field so it represented the governmentality that produces conforming citizens through educational system. The “brainwashing” of the people since they were still in their early ages becomes an effective way to spread the bad stigma to communism. Thus, the attempt to raise the anti-communism sentiment will appear in the mind of the people since they are still young and even children. The education is also the domain of the government, so the New Order as the government in charge at that time played a great role in influencing the people, especially in raising the anti-communism sentiment. Another way to wash the brain was connected to the September 30th film broadcasted by the TV station. Every student was ordered to write a report about the film that contained anti-communism sentiment, so the students were controlled to hate communism through the report they wrote that had to be submitted in the school.
As the effect of those two applications, the anti-communism sentiment is developed rapidly in the Indonesian society though the New Order is no longer in charge.
It happens because the way the New Order influence the people is very effective which used television and educational system media. However, television and education are two big media that hardly be separated from the progress of society in manifesting the culture in it.

Straight Edge

What is Straight Edge?
The short answer is that it is a subculture centered around hardcore music. People who are straight edge do not smoke, do drugs or consume alcohol. There are no dietary or religious beliefs tied to straight edge contrary to media coverage.
The long answer requires a bit of a history lesson
In the late 1970s and early 1980s a group of bands and kids began something that grew into a movement. It would become a movement that would outlive many of their involvement in the music and the scene. They didn't know what they were doing. They knew they didn't like what was going on around them, the self destruction, the self hatred, the pain and suffering caused by the punk mentality. The fuck you and fuck the world attitude didn't make sense to them. They took a symbol that was originally used to identify them as being too young to drink so that the bartenders would know not to serve them and they made it their own. So they started setting themselves apart by wearing X's on their hands and by singing angry songs proclaiming:
"I'm a person just like you
But I've got better things to do
Than sit around and fuck my head
Hang out with the living dead
Snort white shit up my nose
Pass out at the shows
I don't even think about speed
That's something I just don't need
I've got the straight edge"
Minor Threat wrote this song in 1980 and a name was given to what would become a movement. The basic beliefs that drugs and alcohol were not needed and should be rejected. That one should live against the grain of popular society and live by rules and standards from themselves and not the ones dictated by society.
Influenced by Minor Threat and other Washington DC bands like the Teen Idles and SOA, the Boston bands SS Decontrol and DYS took the words to heart and expanded on them and expanding Straight Edge's presence within the growing hardcore music genre.

SS Decontrol, Forced Down Your Throat from the GET IT AWAY LP
What's there to do weekends here
Go to a party drink some beer
Everybody's drinking why shouldn't you
Be a part of the drinking crew
CHORUS:
That's real cool you're a man
Forced down forced can
Forced down your throat
Forced down your throat
Conditions set conditioned to drink
Too much pressure just won't think
Look what's next smoking a J
Think for yourself break away
[CHORUS]
Do the hard stuff its real fast
Do it straight the buzz will last
Fuck off you I ain't no waste
Why drink that when I just can't stand the taste

The East Coast was not the only place where Straight Edge was starting to take hold. West Coast bands Unity, Uniform Choice and 7 Seconds were each adding their voice to the growing chorus.
Uniform Choice, Straight and Alert from the Screaming for Change LP
Who drinks the barley?
Who drinks the grain?
Who shoots that shit into their veins?
Is there really the need for the use of dope?
Does it solve ones problems
Can it help one cope?
All the above bands were active between 1981 and 1984. Things stalled at this point. It wasn't until 1985 that a band would come along and change straight edge forever and turn it into the movement that everyone involved today knows and loves. This band was Youth of Today. The record that would change it all was Can't Close my Eyes. During its existence youth of Today featured pretty much a who's who of New York Hardcore. Youth of Today shared members with bands that would define the youth crew and straight edge sound for years to come. Bands like Bold, Side By Side, Gorilla Biscuits, Judge, and Project X. These bands together would form the backbone that all modern straight edge bands benefit from. These are best represented by the lyrics of the song that named the era.
Youth of Today, Youth Crew from the Can't Close my Eyes 7"
Me you youth crew!
If the world was flat I'd grind the edge
To the positive youth my heart I pledge
X on my hand now take the oath
To positive youth to positive growth
To positive minds, to pure clean souls
These will be all my goals
Walk with me and my crew
There is so much shit we can do
And we won't stop until we're through
The Youth Crew era lasted through the late 80s and straight edge would never be the same. It was now a movement. It was more than just a set of personal beliefs. It was something more. It was more than words it was a force of change in the world.
The late 1980s and early 1990s found many straight edge bands becoming more and more political and more geographically dispersed. California saw bands like Inside Out, Insted, Chain of Strength, Outspoken, No for an Answer, Carry Nation, Chorus of disapproval and Unbroken. Seattle saw bands like Brotherhood and Undertow. The east coast had Turning Point, Mouthpiece, Flagmen, Crud, Battery, and Lifetime.
Brotherhood, No Tolerance (For Ignorance) from Fuck Racism, No Tolerance EP
So proud of your country, nationalistic pride
So proud of your race, prejudiced mind
If you so love your country why can't you see
It's made up of all people, no racial boundaries
We're dedicated to stop your ignorance
Band together to bring you to your knees
For your actions we have no tolerance
Your blind hate, prejudice, a disease
Beating up kids who don't share your views
Pull that shit with us and you'll lose
We may lose some battles
But we'll win this war
We may have sat complacent once, no more

The mid 1990s saw explosive growth due in large part to the pro animal rights, pro straight edge band Earth Crisis. The more metallic Bands of this era were One King Down, Brother’s Keeper and Strife. Many of these bands and people involved embraced a militant animal rights stance. It was at this time that Straight Edge gained notoriety, incorrectly, for advocating violence and a gang like mentality in places like Salt Lake City Utah. While misconceptions continue to this day, there is no truth or foundation in accusations like these. These stories were isolated and were blown out of proportion and ended many many years ago. During this time a large portion of people involved in Straight Edge were vegan however they were and still are viewed as completely seperate beliefs. Now however veganism is not as popular as it once was nor are any of the prominent bands now militant animal rights supporters.
Firestorm by Earth Crisis was often misinterpreted and pointed to as an example of advocating violence in the name of straight edge. However as with most hardcore the song wasn't literal, but the mainstream press doesn't understand subtext.
Firestorm from the Firestorm EP/ The Oath that keeps me Free
Street by street.
Block by block.
Taking it all back.
The youth's immersed in poison
Turn the tide counterattack.
Violence against violence,
Let the roundups begin.
A firestorm to purify the bane that society drowns in.
During this same time period saw a Youth Crew revival spearheaded by Ten Yard Fight and included bands like In My Eyes, Hands Tied, Atari, Rancor, 97a, and Better than a Thousand.
Far less militant than the "vegan warriors" of the time, these bands were positive and brought crucial and edgemen back into the lexicon.
Courage to Care by In My Eyes from The Difference between
Growing up not slowing down
Time got your best just look around
But I've found something that keeps me aware
A whole scene of people with the courage to care
Your youth is behind you
As if you were dead
Those times were good man
My best lies ahead
When I deal with you now
All I get is upset
You keep pushing me away
Something you'll regret
I know only a few have the will to stay sincere
Seeing different faces every fucking year!

The first half of the 2000's have seen a lot of ups and downs in both the number of straight edge kids as well as the number of bands. There currently aren't an overwhelming number of straight edge bands as there once were, but the ones that are around are doing it with all their heart. Recently ending bands A.18 and Over My Dead Body were straight edge super groups made up largely by members from earlier bands and all involving men in their 30s a rarity in hardcore and especially straight edge. Some bands that keeping things alive and spreading the message, With Honor, Casey Jones, Champion, The Answer, and Blue Monday
The Mirror by With Honor from their Self Titled EP
I've let tomorrow be a good excuse for
Not changing today
Looking over our lists of to-do's routines have gotten in the way
Day in, day out it becomes the same
I'm tired of standing for nothing and sleepwalking our time away
Leaving our questions unanswered
Or never asking at all
Could we be something more?
Than we are right now?
Eyes closed, shut tight,
Apathy has us by the throat,
Loosen the ropes and let our dreams take flight!
So often we let our dreams fall away but not this time... let's go
I feel like I've never wanted something so bad as this
Stand up and be something more!
We’ll make a change
STAND UP
No time to waste
RIGHT NOW
STRAIGHT EDGE
I would also like to take the time and oppurtunity to thank The Promise for their years of dedication and great music. Thanks guys and good luck with whatever you decide to do next(taken)

Sajak penohok kepala

Barisan Nisan
(HOMICIDE)

matahari terlalu pagi mengkhianati
pena terlalu cepat terbakar
kemungkinan terbesar sekarang adalah memperbesar kemungkinan
pada ruang ketidak-mungkinan
sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satu pun
sudut kemungkinan untuk berkata Tidak mungkin
tanpa darah mereka mengering
sebelum mata pena berkarat menolak kembali terisi
sebelum semua paru disesaki tragedi
dan pengulangan menemukan maknanya sendiri
dalam pasar dan semerbak deodorant
atau mungkin dalam limbah dan kotoran
atau mungkin dalam seragam sederetan nisan
atau mungkin dalam pembebasan ala monitor 14 inci
yang menawarkan hasrat pembangkangan ala Levi's dan Nokia
atau dalam 666 halaman hikayat para bigot dan despot
yang menari ketika jelaga zarkot berangsur menjadi kepulan hitam
berselubung Michael Jordan di pojokan pabrik-pabrik ma'lun para
produsen kerak neraka berlapis statistik
pembenaran teatrikal super-mall
opera sabun panitia penyusun undang-undang pemilu
yang mencoba membanyol tentang kekonyolan demokrasi
narapi berdasi bertopeng mutilasi pembebasan dengan sekarung argumen basi
tentang bagaimana menyamankan posisi pembiasaan diri di hadapan seonggok tinja
para sosok pembaharu dunia bernama PASAR BEBAS dan perdagangan yang adil
untuk kemudian memperlakukan hidup seperti AKABRI dan dikebiri matahari
terlalu pagi mengkhianati
dan heroisme berganti nama menjadi C-4, Sukhoi dan fiksi berpagar konstitusi
menjenguk setiap pesakitan dengan upeti bunga pusara dari makam pahlawan tetangga
bernama Arjuna dan Manusia Laba-laba
pahlawan dari Cobain hingga Vicious
dari berhala hingga anonimous bernama Burung Garuda Pancasila
yang menampakkan diri pada hari setiap situs menjadi sepejal bebatuan yang melayang
pada poros yang sejajar dengan tameng dan pelindung wajah para penjaga makam Firaun berkakis
yang muncul 24 jam matahari dan gulita bertukar posisi setiap pojokan
bahkan di kakus umum dan selokan mencari target konsumen dan homogenisasi kelayakan
maka setiap angka menjadi maka dan makna
ketika kita disuguhi setiap statistik dan moncong senjata dengan ribuan unit SSK
untuk menjaga stabilitas bagi mereka yang akan dinetralisir karena menolak membuang buku Pantheon sebagai panduan kebenaran
sejak hitam dan putih hanya berlaku di hadapan mata setiap salafis
menolak terasuki setan dan tuhan yang mewujud dalam ocehan pencerahan kanon-kanon
tabungan Big Mac dan es krim cone yang berseru,
Beli! Beli! Beli! Konsumsi, konsumsi kami sehingga kalian dapat berpartisipasi dalam usaha para anak negeri yang berjibaku untuk naik haji!
oh... betapa menariknya dunia yang sudah pasti
menjamin semua nyawa dan pluralitas dengan lembaran kontrak asuransi
dengan janji pahala bertubi
dengan janji akumulasi nilai lebih, bursa saham
dan dengan semantik-semantik kekuasaan yang hanya berarti dalam kala
ketika periode berkala para representatif di gedung parlemen memulai tawar-menawar jatah kursi
dan kekuatan hanya berlaku paska konsumsi cairan suplemen, tonik dan para biggot bertemu kawanan
dan cinta hanya akan berlabuh setelah melewati sederatan birokrasi ideologi berwarna merah, hijau, hitam, kuning, biru, merah, putih dan biru
dan merah
dan putih
Oh betapa indahnya dunia yang berkalang fajar poin-poin NAFTA
sehingga pion-pion negara yang berkubang di belakang pembenaran stabilisasi nasional
menemukan pembenaran evolusi mereka dengan berpetakan saluran-saluran pencerahan
para rock-stars yang lelah berkeluh-kesah
kala peluh mengering kasat di hadapan pasang diri lalat dalam pasar
dan kilauan refleksi etalase dan display berhala-berhala
berskala lebih taghut dari ampas neraka diantara robekan surat rekomendasi negara donor
perancang undang-undang dan pakta-pakta anti-teror
para arsitek bahasa penaklukan para pengagung kebebasan
kebebasan yang hanya berlaku di hadapan layar flatron kemajemukan ponsel, demokrasi kotak suara dan pluralisme gedung rubuh
Oh betapa agungnya dunia di hadapan barisan nisan yang dikebiri matahari
dan terlalu pagi mengkhianati

Maka jangan izinkan aku untuk mati terlalu dini
wahai rotasi CD dan seperangkat boombox ringkih
jangan izinkan aku mendisiplinkan diri ke dalam barisan
wahai bentangan seluloid dan narasi
dan demi perpanjangan tangan remah di mulutmu anakku,
jangan izinkan aku terlelap menjagai setiap sisa pembuluh hasrat yang kumiliki hari ini
demi setiap huruf pada setiap fabel yang kututurkan padamu sebelum tidur, Zahraku, mentariku!
Jangan sedetik pun izinkan aku berhenti menziarahi setiap makam tanpa pedang-pedang kalam terhunus
lelap tertidur tanpa satu mata membuka tanpa pagi berhenti mensponsori keinginan berbisa
tanpa di lengan kanan-kiriku adalah matahari dan rembulan
bintang dan sabit
palu dan arit
bumi dan langit
lautan dan parit
dan sayap dan rakit
sehingga seluruh paruku sesak merakit setiap pasak-pasak kemungkinan terbesar
memperbesar setiap kemungkinan pada ruang ketidak-mungkinan
sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satu pun sudut kemungkinan
untuk berkata, Tidak mungkin
tanpa darah mereka mengering
sebelum mata pena berkarat dan menolak kembali terisi
Matahari tak mungkin lagi mengebiri pagi untuk mengkhianati...
Dipresentasikan oleh:
-Jupri di negeri Pelangi-
“Musuh kita sebenarnya bukan dia atau mereka, tetapi diri kita sendiri.
Cobalah jabat tangan dan peluk diri sendiri.
Yang utopis niscaya menjadi realis”

Fallacy

Another waiting time..
Another wasted time...
Damned...!!

Jumat, 15 Mei 2009

Indah Dunia

Indah Dunia
Jejakkan kaki di angkasa
Buyarkan asa bersama
Keserakahan membeli semua nyawa
Hina
Dina
Duka
Lara
Terbakarlah bersama dalam surga
Ilusi berfatamorgana
Demokrasi hanya sebuah wacana
Emansipasi tak pernah ada
Dunia penuh dengan rekayasa genetika
Tak benar nyata adanya

Sesosok rupa
Mulut menganga
Terbuai ataukah terluka
Deras mendera
Hujan derita
Pesona indah dunia
Sirna…
Sinar…
Sirna…
Sinar dunia
Sendiri menempuh hari yang semu
Mati segan hidup tak mampu
Canda dan tawa enggan bersama
Tertinggal entah tak terbawa
Bilakah semua temui ajalnya
Melayang menuju neraka

Selasa, 12 Mei 2009

Resistensi total

Kita mungkin sering berandai – andai, apa yang akan terjadi pada kita di masa depan. Punya pekerjaan , berkeluarga, hidup mapan. Sebuah jawaban yang klise bila ada pertanyaan apa yang menjadi harapan kita sepuluh atau dua puluh tahun kelak.
Satu hal yang menarik, pernahkah kita berpikir apa yang akan terjadi pada negara kita, atau bahkan dunia kita sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang? Mungkin sempat terbersit pikiran kita buat apa memikirkan yang lain padahal ngurus diri sendiri saja belum becus. Bila kita berpikir seperti itu, maka kita tak ubahnya wujud dari penjelmaan monster – monster kapitalis yang bertindak atas dasar kekuasaan, harta, neraka. Saya harus kaya dan sejahtera yang lain terserah mereka. Begitulah intinya. Memang sebagai manusia kita tak lepas dari sifat ego sentris, namun apabila kita bisa mengontrol komputer, kenapa kita tidak bisa mengontrol sifat egois yang notabene tertanam dalam diri kita sendiri yang seharusnya kita pahami sepenuhnya? Dunia sekarang ini penuh dengan isu yang hangat dibicarakan, mulai dari konflik di Timur Tengah, Global Warming, sampai PEMILU di Amerika Serikat. Isu yang ketiga sangat menarik bagi saya. Mendebarkan, begitu saya menyebutnya. Pernahkah Anda berpikir bahwa kita hidup di Indonesia ini belum benar – benar bisa hidup dengan bebas, tanpa ada intervensi pihak asing? Dalam hal ini, saya sedang bicara soal negara adikuasa Amerika Serikat yang sekarang ini masih dipimpin Yang Mulia Paduka Baginda Raja George W. Bush. Bersyukurlah kita dia sudah tidak bisa memimpin Amerika Serikat lagi di masa yang akan datang. Semoga sang pembawa harapan yang pernah tinggal di Indonesia berdarah Afrika bernama Barrack Obama bisa bertindak lebih manusiawi dan tidak ada tendensi untuk melakukan tindakan konyol yang merugikan negara yang lain. Semoga beliau memberi menifestasi pada slogan “Yes, we can” nya ke Indonesia. Negara Amerika Serikat yang notabene dulu juga adalah negara jajahan, sekarang menjadi negara yang besar, megah, kaya, angkuh, dan serakah. Kita di Indonesia, menyebutnya sebagai negara “Barat”. “Barat” bukanlah pembicaraan tentang geografis, sebab Australia pun ada di Timur, namun tetap saja mereka adalah bagian dari dunia Barat, melainkan sebuah dunia yang penuh dengan negara dunia pertama, sedangkan kita adalah bagian dari negara dunia ketiga. Sebuah pengakuan atas superioritas mereka yang sulit saya masukkan dalam kamus besar wacana saya. Dunia Barat, dunianya kaum maju, dunianya kaum terpelajar. Sedangkan dunia Timur, terdapat sekumpulan anak – anak kecil yang begitu mudahnya dibodohi, diberi permen untuk kemudian diambil baju dan celananya oleh mereka yang telah dewasa. Mengapa dulu Plato memberi kuliah di Yunani? Kenapa tidak di Nabire saja? Atau mengapa Edison melahirkan terang di Amerika Serikat? Kenapa bukan Suprapto saja yang mendapatkan anugerah menyemarakkan malam? Pertanyaan yang menjadi semacam penyesalan atas keinferioritasan kita di depan mereka. Dunia Barat dan dunia Timur yang diciptakan oleh kaum feodal dan kapitalis menjalarkan efek hegemoni bagi seluruh orang di dunia. Kita sedang dijajah!! Bahkan seniman yang memproklamirkan diri sebagai oposisi terhadap kaum penghisap bisa menjadi budak kapitalis global dengan menjadikan media seni sebagai ajang jualan komoditas memenuhi selera pasar. Amerika Serikat sebagai negara satu – satunya yang berstatus adikuasa di dunia punya kuasa absolut, seakan menjadi tangan kanan Tuhan dalam mengatur dunia secara global. Orang Amerika minum Coca Cola, makan di Mc Donald dan belanja di mal – mal supermewah maka kita juga melakukan hal yang sama seperti mereka, agar dianggap keren dan kaya seperti mereka. Paradigma yang bodoh, tolol, bebal, tak punya harga diri! Pembelian status semacam ini menjadi fenomena tersendiri di kalangan kaum muda. Kembali ke masalah Pemilu di Amerika Serikat, yang dibahas di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia sebab memang, pesta yang katanya demokrasi di sana menjadi penentu masa depan dunia. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pengaruh Amerika Serikat ada di setiap segmen masyarakat di seluruh dunia. Amerika Serikat adalah PBB dan PBB adalah Amerika Serikat, itulah maksud saya. Hegemoni kapitalisme global Amerika lah yang sekarang menjadi raja dan rakyat jelata harus memberi upeti agar hidupnya nyaman walau kadang tertekan. Kompromi atau mati! Intervensi Amerika Serikat sudah ada di negara ini sejak perang dunia yang berkecamuk dan melibatkan banyak negara. Yang terparah, menurut buku kesaksian Soebandrio tentang G-30-S, negara ini berada di balik kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto untuk menggulingkan pemerintahan pro-kiri Soekarno yang notabene adalah musuh terbesar kapitalis Amerika, hasil dari testimoni dokumen Gilchrist. Menurut saya, pengaruh Amerika memang sangat kental ketika Soeharto menjabat sebagai Presiden. Banyak perusahaan dari sana berinvestasi dan mendirikan pabrik – pabrik penghisap di sini, Caltex, Freeport dan kawan- kawan yang lainnya yang menamakan diri mereka proyek (menculik istilah biologi) simbiosis mutualisme. Mereka untung, “kita” juga untung. “Kita” bukanlah rakyat Indonesia. “Kita” adalah segelintir oknum yang menjadi pecundang, melacurkan diri pada uang dan kekuasaan. Dengan kedok kerjasama ekonomi, pabrik penghisap yang terkutuk ini menghisap kaum jelata dan sedikit mencipratkan hisapannya ke kaum konglomerat kapitalis lokal di Indonesia Apa jadinya jika Bung Karno, Sang Proklamator yang sangat anti kapitalis Amerika tetap menjadi Presiden bahkan sampai seumur hidup? (Tap MPRS 1963) -Untuk diketahui, pengangkatan Soekarno menjadi Presiden seumur hidup bukan atas kehendaknya sendiri, namun atas usulan perwira AD sendiri, Brigjen Suhardiman.- Amerika Serikat dengan mesin penghisapnya pasti tidak akan bisa menancapkan kuku – kuku mereka yang tajam di tanah pertiwi ini. Bung Karno dengan serta merta pasti berkata sekali lagi, “Go to Hell with Your Aid”, jika Amerika Serikat menawarkan dalih bantuannya. Intinya, Amerika Serikat telah berhasil dengan sukses gilang gemilang menjadi Tuan tanah di negeri kita tercinta ini, berkat jasa Soeharto menghadirkan mereka di tengah – tengah kita. Saya tidak sedang menyalahkan Soeharto, sebab bukan tidak mungkin Amerika datang ke sini sebagai bagian program imperialisme liberal modern dengan sendirinya seiring dengan perkembangan setting dunia soial politik dan ekonomi dunia. Namun bukan tidak mungkin pula kita bisa seperti Venezuela, atau Kuba dan bahkan rakyat Chiapas yang dengan tegas menolak intervensi Amerika Serikat. Secara tidak sadar, kita semua, termasuk saya, kecuali masyarakat pedalaman yang hidup dalam suasana utopis sedang berada dalam kungkungan skema pasar Amerika. Sekarang, terserah pada diri kita sendiri. Apakah kita mau menjadi tawanan di negara sendiri ataukah kita dengan semangat Merah Putih warisan Pangeran Diponegoro, Thomas Matulessi, ataupun Tan Malaka mau menjadi pemberontak dengan tangan kita sendiri, meretas jalan masa depan bagi Indonesia tercinta. Jangan hanya meneriakkan resistensi, namun jalankanlah resistensi itu!!

Teriakkan resistensi

Kondisi sosial ekonomi politik Indonesia sampai saat ini masih jauh dari kondisi berkembang secara nasional dan mewabah. Indonesia menjadi Jawa-sentris dengan daerah lain menjadi anak tiri, jauh dari kata terjamah. Status daerah otonomi hanya menciptakan ruang gerak baru bagi aktivis korupsi sisa-sisa orde baru dengan dalih memajukan daerah untuk memajukan negara. Semua hanya omong kosong, tak ubahnya diplomat jago lobi yang telah lulus dari perguruan silat lidah dengan predikat cum laude. Gelar Honoris Causa tanpa pertanggungan jawab disertasi. Pemekaran wilayah menjadi tren yang populer dan menjadi agenda para pemikir di tingkat regional dalam usahanya mengembangkan wilayahnya, baik secara kuantitas maupun kualitas. “Kami menjadi propinsi maka kami akan bisa lebih berkembang.” Begitu mereka berargumen. Setelah itu, mungkin mereka berkata “Lakukan jajak pendapat di wilayah kami!”. Dialektika yang terjadi hanya menjadi medan tempur antara pendemo melawan -saya lebih suka menyebutnya dengan polisi jadi – jadian- satpol pamong praja yang tak mustahil berakhir dengan menetesnya darah dan air mata. Kondisi keterceraiberaian yang terjadi sekarang ini sangat kontras bila dibandingkan dengan masa revolusi mengusir sang pemerkosa, sang penjajah. Saat itu semangat ingin merdeka menjadi zat pengumpulsatu bangsa Indonesia dengan bendera Merah Putih sebagai generator pemberi energi. Setiap orang rela berkorban demi tercapainya kelahiran negara Indonesia. Setelah pencapaian yang berakhir dengan statistik korban fajar revolusi yang tak terhingga, terbitlah matahari pembawa harapan, Indonesia Merdeka!! Semangat pembebasan diteruskan dengan semangat harapan akan kemajuan. Para praktisi dan politisi berlomba – lomba memberikan ide untuk terciptanya bangsa yang maju dan sejahtera. Pemimpin pembuka jalan diganti, sistem ekonomi turut direvolusi , dijejali limbah kontroversi. Semuanya hanya untuk satu tujuan, kesejahteraan bersama. Ironisnya, hingga detik ini kesejahteraan hanya menjadi milik segelintir orang saja. Dimana semangat kebersamaan yang dulu pernah jaya? Setting yang telah turut berevolusi ikut turut serta menjadi penyebab konflik vertikal – horizontal ini. Pada masa pembebasan, musuh utama berada di luar yang mengancam integritas negara-bangsa, sehingga konsentrasi bisa lebih terfokus dalam pergerakan. Di jaman kapitalisme global sekarang ini, musuh menjadi lebih kompleks dan canggih. Mulai dari korupsi, eksklusivitas, dan yang paling mengancam, kebobrokan sistem dan moral akibat ekonomi korporasi bertajuk globalisasi, yang disebut sebut sebagai sosok pembaharu dunia.
Suara gema reformasi yang diteriakkan ketika hendak melengserkan Soeharto yang dituduh menjadi biangnya koruptor di Indonesia, hanya menjadi dengungan lebah setelah hampir 10 tahun reformasi ini berjalan. Transisi menuju negara demokrasi akhirnya menjadi mimpi yang tak pasti. Indonesia masih akrab dengan stagnasi!! Saat ini, kita membutuhkan zat pengumpulsatu untuk mencapai pembebasan tahap kedua. Pembebasan dari hegemoni kapitalisme global. Kaum muda yang menjadi tulang punggung negara diharapkan mempunyai semangat pemberontak yang kritis, yang tidak hanya merayakan ulang tahun NKRI dengan lomba balap karung 17-an dan parade band, namun mencoba menyikapi dengan gerakan nyata melanjutkan cita-cita para pahlawan yang telah gugur di medan laga. Arus peradaban memang sangat deras mencoba menyeret, namun persenjatailah diri dengan kapal tempur yang siap melawan gelombang pasang untuk akhirnya selamat menepi dari bahaya tenggelam. Tidak ada yang tidak mungkin bila darah belum mengering. Toh batu nisan akan segera menghampiri, cepat atau lambat. Setidaknya berbuatlah sesuatu demi negara-bangsa sebelum malaikat maut menyapa. Perubahan mendasar adalah mutlak. Masanya kaum tua sudah mencapai stasiun perhentian terakhir, mereka harus segera turun dari kereta sebelum kondektur dan masinis menendang mereka keluar dari kereta. Rakyatlah (baca : kaum muda) masinis dan kondektur itu.. Seperti halnya kaum muda pada tahun 1945 yang berinisiatif “menculik” Soekarno untuk kemudian menjadikannya Sang Proklamator, kaum muda pada jaman kapitalisme global ini harus berinisiatif meretas jalan masa depan dengan menyikapi akibat yang disebabkan oleh layar monitor 21 inch yang menghiasi hampir setiap ruang tamu di setiap rumah dengan lebih bijak. Jangan hanya membeo, bermata namun tak melihat, bertelinga namun tak mendengarkan, berperasaan namun tak bertindak. Resistensi diperlukan untuk mencapai tujuan menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera sepenuhnya.

Kereta Tua

Kereta tua


Kereta api
tak sehitam dahulu
Tak sekelam yang tlah lalu
Tak sebesar masa itu

Indonesia
masih tetap hitam
Tak jua hilang kelam
Namun tetap besar menjulang

Jumat, 08 Mei 2009

Sebuah Refleksi

Ketika itu saya sedang makan diwarung, saya mendengar seorang pria yang kelihatannya lumayan makmur dan sejahtera di samping saya mengobrol lewat telepon genggam dengan seseorang, begini ceritanya..

A :Mbok jangan ndeksitu, kampusnya jelek lho..mbok ndek lain wae..

Kampus @#$!!(menyebut nama kampus) itu kecil, wc-ne ga bersih,, hotspote juga jelek lho, wes to, jangan kuliah di @#$!

Mending ndek tempatku, kelase adem, hotspote cepet, gedhe lho kampusku, ceweknya cantik – cantik lagi, pokonya kampusku tu ok bangetlah buat kita – kita kaya gini lah..

Maksudnya kira – kira begini:

Kamu jangan kuliah di kampus yang belum kamu tahu kualitas pendidikannya, tapi kampusnya ga mewah, nanti kamu ga bisa gaul, fesbukan, frensteran, ym-an sepuasnya. Cari tu kampus yang kamu belum tahu kualitas pendidikannya, tapi kampusnya mewah, keren, bisa gaul lewat fesbuk ama frenster tanpa takut nge-hang jaringannya, bisa milih cewek sesuka hatimu, pokoknya kampusnya yang bisa mengakomodasi kebutuhan primer kita sehari – hari lah..

Sebuah Refleksi

Ketika itu saya sedang makan diwarung, saya mendengar seorang pria yang kelihatannya lumayan makmur dan sejahtera di samping saya mengobrol lewat telepon genggam dengan seseorang, begini ceritanya..

A :Mbok jangan ndeksitu, kampusnya jelek lho..mbok ndek lain wae..

Kampus @#$!!(menyebut nama kampus) itu kecil, wc-ne ga bersih,, hotspote juga jelek lho, wes to, jangan kuliah di @#$!

Mending ndek tempatku, kelase adem, hotspote cepet, gedhe lho kampusku, ceweknya cantik – cantik lagi, pokonya kampusku tu ok bangetlah buat kita – kita kaya gini lah..

Maksudnya kira – kira begini:

Kamu jangan kuliah di kampus yang belum kamu tahu kualitas pendidikannya, tapi kampusnya ga mewah, nanti kamu ga bisa gaul, fesbukan, frensteran, ym-an sepuasnya. Cari tu kampus yang kamu belum tahu kualitas pendidikannya, tapi kampusnya mewah, keren, bisa gaul lewat fesbuk ama frenster tanpa takut nge-hang jaringannya, bisa milih cewek sesuka hatimu, pokoknya kampusnya yang bisa mengakomodasi kebutuhan primer kita sehari – hari lah..

Kamis, 30 April 2009

MERDEKA!!

Kondisi sosial ekonomi politik Indonesia sampai saat ini masih jauh dari kondisi berkembang secara nasional dan mewabah. Indonesia menjadi Jawa-sentris dengan daerah lain menjadi anak tiri, jauh dari kata terjamah. Status daerah otonomi hanya menciptakan ruang gerak baru bagi aktivis korupsi sisa-sisa orde baru dengan dalih memajukan daerah untuk memajukan negara. Semua hanya omong kosong, tak ubahnya diplomat jago lobi yang telah lulus dari perguruan silat lidah dengan predikat cum laude. Gelar Honoris Causa tanpa pertanggungan jawab disertasi. Pemekaran wilayah menjadi tren yang populer dan menjadi agenda para pemikir di tingkat regional dalam usahanya mengembangkan wilayahnya, baik secara kuantitas maupun kualitas. “Kami menjadi propinsi maka kami akan bisa lebih berkembang.” Begitu mereka berargumen. Setelah itu, mungkin mereka berkata “Lakukan jajak pendapat di wilayah kami!”. Dialektika yang terjadi hanya menjadi medan tempur antara pendemo melawan -saya lebih suka menyebutnya dengan polisi jadi – jadian- satpol pamong praja yang tak mustahil berakhir dengan menetesnya darah dan air mata. Kondisi keterceraiberaian yang terjadi sekarang ini sangat kontras bila dibandingkan dengan masa revolusi mengusir sang pemerkosa, sang penjajah. Saat itu semangat ingin merdeka menjadi zat pengumpulsatu bangsa Indonesia dengan bendera Merah Putih sebagai generator pemberi energi. Setiap orang rela berkorban demi tercapainya kelahiran negara Indonesia. Setelah pencapaian yang berakhir dengan statistik korban fajar revolusi yang tak terhingga, terbitlah matahari pembawa harapan, Indonesia Merdeka!! Semangat pembebasan diteruskan dengan semangat harapan akan kemajuan. Para praktisi dan politisi berlomba – lomba memberikan ide untuk terciptanya bangsa yang maju dan sejahtera. Pemimpin pembuka jalan diganti, sistem ekonomi turut direvolusi , dijejali limbah kontroversi. Semuanya hanya untuk satu tujuan, kesejahteraan bersama. Ironisnya, hingga detik ini kesejahteraan hanya menjadi milik segelintir orang saja. Dimana semangat kebersamaan yang dulu pernah jaya? Setting yang telah turut berevolusi ikut turut serta menjadi penyebab konflik vertikal – horizontal ini. Pada masa pembebasan, musuh utama berada di luar yang mengancam integritas negara-bangsa, sehingga konsentrasi bisa lebih terfokus dalam pergerakan. Di jaman kapitalisme global sekarang ini, musuh menjadi lebih kompleks dan canggih. Mulai dari korupsi, eksklusivitas, dan yang paling mengancam, kebobrokan sistem dan moral akibat ekonomi korporasi bertajuk globalisasi, yang disebut sebut sebagai sosok pembaharu dunia.

Suara gema reformasi yang diteriakkan ketika hendak melengserkan Soeharto yang dituduh menjadi biangnya koruptor di Indonesia, hanya menjadi dengungan lebah setelah hampir 10 tahun reformasi ini berjalan. Transisi menuju negara demokrasi akhirnya menjadi mimpi yang tak pasti. Indonesia masih akrab dengan stagnasi!! Saat ini, kita membutuhkan zat pengumpulsatu untuk mencapai pembebasan tahap kedua. Pembebasan dari hegemoni kapitalisme global. Kaum muda yang menjadi tulang punggung negara diharapkan mempunyai semangat pemberontak yang kritis, yang tidak hanya merayakan ulang tahun NKRI dengan lomba balap karung 17-an dan parade band, namun mencoba menyikapi dengan gerakan nyata melanjutkan cita-cita para pahlawan yang telah gugur di medan laga. Arus peradaban memang sangat deras mencoba menyeret, namun persenjatailah diri dengan kapal tempur yang siap melawan gelombang pasang untuk akhirnya selamat menepi dari bahaya tenggelam. Tidak ada yang tidak mungkin bila darah belum mengering. Toh batu nisan akan segera menghampiri, cepat atau lambat. Setidaknya berbuatlah sesuatu demi negara-bangsa sebelum malaikat maut menyapa. Perubahan mendasar adalah mutlak. Masanya kaum tua sudah mencapai stasiun perhentian terakhir, mereka harus segera turun dari kereta sebelum kondektur dan masinis menendang mereka keluar dari kereta. Rakyatlah (baca : kaum muda) masinis dan kondektur itu.. Seperti halnya kaum muda pada tahun 1945 yang berinisiatif “menculik” Soekarno untuk kemudian menjadikannya Sang Proklamator, kaum muda pada jaman kapitalisme global ini harus berinisiatif meretas jalan masa depan dengan menyikapi akibat yang disebabkan oleh layar monitor 21 inch yang menghiasi hampir setiap ruang tamu di setiap rumah dengan lebih bijak. Jangan hanya membeo, bermata namun tak melihat, bertelinga namun tak mendengarkan, berperasaan namun tak bertindak. Resistensi diperlukan untuk mencapai tujuan menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera sepenuhnya.

Jumat, 17 April 2009

Terbunuhnya Harapan

Petang di bukit yang tak pernah menjadi Golgota

Silau sang mentari tlah sedikit terselimuti bongkahan awan-awan berwarna jingga

Tatap sinisnya seakan berkata:

“Sudah, aku lelah..lelah akan flora dan fauna, lelah akan manusia, lelah akan dunia…

esok hari kan kusiram mereka panas yang lebih dari tubuhku biar mampus sekalian!!”

Selembar daun tertiup angin, kering, terhempas dari galangannya deras menghujam menuju tanah, namun akhirnya terangkat lagi ke atas seakan menolak untuk membelai tanah yang semakin lama semakin tak layak disebut tanah.

Seonggok tinja terdiam memojok menebar bau anyir seakan darah perawan 15 tahun yang keluar percuma akibat tersenggol telunjuk penguasa, menanti air mata dewa khayangan pertanda guyuran hujan akan segera datang hingga ia dapat segera mengakhiri hidupnya yang hanya menebar bau, tak lebih hanya bau.

Segerombol tikus tanah tengah berkumpul, mungkin sedang mendiskusikan filosofi ateisme karena merasa Tuhan tak memihak mereka, ataukah sedang merapatkan barisan untuk menjalankan teori konspirasi agar dapat segera mengakhiri krisis pangan yang mendera ladang milik petani yang setiap hari mereka curi

Perlahan tapi pasti, seakan enggan namun tak dapat melawan, sang mentari akhirnya kembali ke peraduan, pergi sambil meludah, memberi tanda bahwa dia masih belum puas untuk….membunuh…harapan….

Berbahagialah kita yang tak diundang ke perjamuannya sebab dia sudah menyiapkan ribuan cawan berisi anggur cap Orang Tua milik Patih Sengkuni yang sengaja disisakan untuk memberi kejutan pada para ksatria yang senantiasa memberi arti pada pasukan jiwa terbelakang yang ternyata selalu berada di garda depan, tegak menantang, bersenjatakan pena dan toa

Jadikah datang sang purnama?

Purnama yang lembut, redup tak menutup, hangat tak menyengat.

Ooh, betapa indahnya bila hanya ada purnama yang menguasai angkasa, purnama yang bijaksana, purnama yang berwibawa, purnama yang tak berfatamorgana

Selasa, 14 April 2009

PEMILU 2009 gagal!!

PEMILU legislatif 2009 gagal? Wacana tentang kegagalan PEMILU legislatif 2009 kerap dimunculkan di tengah – tengah masyarakat setelah banyaknya kejadian-kejadian yang seolah menjadi sinyal ketidaksiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mengorganisir event terbesar lima tahunan terbesar di Indonesia ini. Mulai dari belum datangnya logistik PEMILU di sebagian daerah di Indonesia Timur, kecurigaan tentang rekayasa daftar Daftar Pemilih Tetap (DPT), politik uang para caleg yang tidak mampu di pantau KPU, sampai kerusuhan yang melanda Papua di hari H PEMILU yang mengakibatkan gedung rektorat Universitas Cendrawasih hangus akibat di bakar massa yang diduga hendak memboikot PEMILU.

Mengacu pada fakta di lapangan tentang persiapan PEMILU, masyarakat memang pantas meragukan kesiapan KPU. Bahkan Gus Dur, sang Guru Besar salah satu partai yang sedang dilanda perpecahan internal, PKB, lebih memilih Golput sebab beliau dengan tegas berpendapat bahwa PEMILU legislatif 2009 ini memang belum siap digelar dan hendaknya ditunda sampai permasalahan yang berkaitan mampu diselesaikan.

Fenomena Golput yang selalu menghiasi setiap PEMILU di Indonesia menjadi semakin nyata keberadaannya pada PEMILU kali ini. Teman – teman saya yang sebagian besar mahasiswa rantau dari luar daerah Yogyakarta lebih memilih untuk tidak memilih sebab biaya yang digunakan untuk mudik dan balik dirasa tidak sepadan dengan kepentingan memilih pemimpin masa depan. Mereka cenderung apatis. Alasan klise dari para kolega saya adalah memilih ataupun tidak, toh mereka yang terpilih tetap saja tidak mamu membuktikan janji-janji mereka semasa kampanye, dan korupsi malah menjadi tujuan akhir semata di dalam gedung dewan untuk mengembalikan dana kampanye yang bisa mencapai ratusan juta rupiah guna memuluskan jalan mereka ke Senayan. Satu alasan lain untuk menjadi Golput adalah hari saat PEMILU diadakan tepat di tengah – tengah minggu masa ujian tengah semester. Mereka berargumen, daripada bolak – balik ke rumah, lebih baik tetap di kos, mencoba konsentrasi menghadapi ujian.

Nah, pesta PEMILU legislatif 2009 ini memang tidak keras terdengar gaung meriahnya bila dibandingkan PEMILU sebelumnya. PEMILU yang seharusnya menjadi pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia seakan kehlangan gregetnya. PEMILU seolah menjadi biro tenaga kerja yang menyalurkan para pekerjanya ke Senayan dengan syarat mereka yang punya uang lebih, jalannya akan lebih mulus daripada mereka yang pas – pasan. Saya sendiri heran, di kampung tempat saya tinggal terhitung ada 10 orang yang menjadi caleg. Padahal, sebagian besar dari mereka saya lihat masih awam soal dunia politik. Bukannya saya tidak mengakui kapabilitas mereka, namun pakah memang benar mudah sekali menjadi caleg di PEMILU kali ini? Sistem penyaringan dari internal partai di Indonesia menjadi satu hal alasan saya untuk menjadi skeptis akan kesuksesan PEMILU. Masyarakat menjadi obyek yang seakan mudah dibodohi oleh program – program kerja dari setiap partai. Hanya dengan sembako atau uang bensin 10 ribu rupiah, masyarakat berbondong-bondong datang ke lapangan untuk menghadiri kampanye partai. Ironisnya, anak kecil yang tidak tahu menahu soal ini juga turut serta menyaksikan kampanye yang menjadi semakin ironis karena dihiasi joget erotis penyanyi dangdut yang juga seolah menjadi magnet penarik masyarakat dating menghadiri kampanye.

Ajang PEMILU yang seharusnya menjadi ajang penentuan masa depan Negara seolah hanya menjadi ajang rutinitas lima tahunan memperebutkan kekuasaan sehingga berbagai cara dihalalkan untuk mencapai kursi Senayan. Saya yakin, PEMILU Pemilihan Pilpres (PilPres) 2009 pun tak jauh bedanya dengan PEMILU legislatif 2009. Oleh sebab itu, saya lebih suka memvonis PEMILU legislatif 2009 ini dengan segel besi besar bertuliskan GAGAL!!

Senin, 13 April 2009

DARAH JUANG

Ketika itu langit berwarna merah berserabut jingga kehitaman. Sanyoto duduk terdiam di kursi taman berwarna hitam dengan peluh mengalir mewarnai mukanya yang bulat dan penuh luka bekas jerawat. Badannya yang basah penuh keringat terlihat jelas dari kaos tipis warna putih bertuliskan MARJINAL. Jari – jari di tangan kanannya sibuk memainkan rokok dengan melewatkannya diantara jari manis dan telunjuk kemudian sesekali menghisapnya dengan perlahan. Tatapannya lurus menuju sebuah pemandangan yang menggugah hatinya. Di hadapannya, sekumpulan anak sedang bermain – main dengan riang gembira menikmati senja. Seorang gadis kecil berambut sepinggang tampak ceria bermain kejar – kejaran dengan dua bocah laki – laki yang bertelanjang kaki berlari kesana – kemari. Mereka begitu gembira, seakan tiada beban yang dipanggul. Lari, jongkok, lari lagi, tertawa lepas terbahak- bahak sampai tersedak. Sanyoto jadi teringat masa kanak – kanaknya. Di sebuah perkampungan kumuh di sebuah kota di Indonesia yang semakin hari kian padat penduduknya ia tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mandiri dan berbudi. Bapaknya dulu sering berkata “Jadi orang itu ya apa adanya, tetapi semua hal jangan diterima apa adanya, sebab pasti ada hal lain yang mengikutinya.” Kalimat itu terbang mengiang di gendang Sanyoto, seakan memberi peringatan yang tidak boleh tidak, harus dituruti. Bapaknya adalah seorang saudagar yang cukup terpandang di kampungnya. Boleh dibilang keluarganya adalah yang paling kaya di antara keluarga lain di lingkungan itu. Bisnis makelar mobil yang dipenuhi taktik jitu permainan kata-kata ala politisi digeluti Bapak Sanyoto sejak 25 tahun yang lalu. Sanyoto bersama kedua orang adiknya hidup berkecukupan berkat usaha Bapaknya. Sanyoto tak berminat meneruskan usaha Bapaknya. Menurutnya, pekerjaan itu tak akan memuaskan hasratnya sebagai seorang manusia yang ingin memaknai hidup. Hidup menjadi buruh perusahaan tekstil memang sudah menjadi pilihannya, walau keluarganya menentang keras. Ia ingin berjuang dari bawah, merasakan getir hidup agar kelak ia lebih bijak dalam memaknai hidup yang hanya singkat. Jamak ia melihat penderitaan di sekitar tempat tinggalnya. Pemulung, pedagang asongan, buruh pabrik berkumpul menjadi satu di situ. Hidup mereka jauh dari kata layak. Tumbuh rasa simpati di hati Sanyoto melihat derita mereka.

Sanyoto baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai buruh sebuah perusahaan tekstil terkemuka di kota kelahirannya. Sudah 10 tahun ia bekerja, namun tak mendapat apa-apa setelah dipecat. Tak ada pesangon, gaji terakhir pun tak masuk ke kantong. Hanya karena meminta kenaikan gaji, tunjangan hidup sebagai penghargaan atas keringatnya yang selama 10 tahun ia peras, ia dipecat oleh atasannya. Sebulan yang lalu, bersama ketigapuluh temannya yang seangkatan, ia mendatangi kantor atasannya untuk menuntut hak mereka. Bukannya sambutan hangat, malah semprotan dan makianlah yang mereka dapatkan.

“Sudah untung kalian masih bisa bekerja disini selama 10 tahun, kalau mau gaji lebih, cari pekerjaan lain saja, babi!” kalimat itu membuat nyali ketigapuluh temannya ciut sehingga mereka mengurungkan niatnya.

Sebagai seorang yang bermental baja didikan orangtuanya, Sanyoto terus mendesak atasannya. Hingga akhirnya, dua kata sakti keluar dari mulut atasannya yang beraroma busuk, “Kau dipecat!” Ia tak habis pikir, merenungi nasibnya yang begitu buruk. Kini, ia tak tahu lagi bagaimana cara menghidupi Sarinah, istrinya, serta Harjuna putra tunggalnya yang tengah menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama. Sanyoto memang kurang beruntung karena ia sedang hidup di jaman yang serba terbalik. Ia berenang melawan arus, namun justru tenggelam. Teman – temannya yang terbawa arus, justru selamat.

Sanyoto berkata dalam hatinya, “Dunia ini memang kejam, dunia ini tidak adil, dunia ini gila.” Tak habis pikir ia, perjuangannya mendapatkan hak sebagai manusia di dunia terhempas oleh kuasa segelintir manusia yang mungkin mewarisi pokok pikiran Mussolini yang bermediasi dengan ide gila Machiavelli. Sebagai buruh kecil, Sanyoto hanya ingin satu hal, memberikan harapan bagi keluarganya. Namun apa yang terjadi sungguh membuat ironi berdiri, harapan itu mati seiring hilangnya mata pencaharian yang menjadi tulang belakang tempat ia mengais rejeki. “Apakah benar kita tak bisa sedikit meneriakkan resistensi? Apakah kita hanya harus menurut saja? Lalu bagaimana dengan kehidupan keluarga apabila semua yang kudapat setelah memeras keringat hanya cukup untuk membeli beras seikat?” Pertanyaan-pertanyaan itu seakan-akan terus datang menghantam bagaikan palu godam ke dada Sanyoto.

Sebatang rokok telah habis diserap paru-paru, Sanyoto mengeluarkan lagi sebatang untuk kemudian dihisap perlahan. Kali ini ia melayangkan pandangannya ke atas. Cahaya langit mulai tampak redup, hanya menunggu waktu matahari akan berganti posisi dengan bulan. Lampu-lampu taman yang berwarna kuning remang-remang mulai dihidupkan, menambah aroma kegalauan hati Sanyoto. Ia bertanya pada Tuhan, “Aku ini hambaMu, aku rajin berdoa dan beribadah, namun kenapa kesengsaraan ini Kau kirimkan padaku?” Sanyoto putus asa, ia mulai meragukan kesanggupanNya menolong umatNya. “Huffhh…” Sanyoto menghela napas panjang. Ia memeriksa uang yang tersisa di dalam dompet, ia menghitung “enam puluh dua ribu tiga ratus rupiah.” Ia lapar. Namun tentunya istri dan anak semata wayangnya juga sedang kelaparan di rumah menunggu kedatangannya untuk membawakan makanan, seperti hari-hari biasanya. Sanyoto menjadi semakin galau, ia menghidupan lagi sebatang rokok. Dimainkan sekali rokok itu melewati jari-jari tangannya. Ia gelisah, enggan beranjak dari singgasananya.

Berpikir ia mencoba mencari solusi. Di bawah kakinya, ia melihat dua ekor semut hitam sedang memperebutkan secuil remahan roti. Mereka berbeda ukuran satu sama lain. Tampaknya semut yang besar akan memenangkan pertarungan tak seimbang ini. Dia menendang-nendang dan mencoba merebut remahan roti itu. Namun, tanpa diduga, si semut kecil tiba-tiba bangkit, menyenggolkan sungutnya ke kepala si semut besar, kemudian lari mengumandangkan kemenangan sambil menyunggi remahan roti yang tampaknya menjadi semakin kecil akibat terpecah-pecah, tersenggol pergumulan sengit kedua semut tersebut. Si semut besar kelihatan meringis kesalitan sambil berjalan tertatih-tatih meninggalkan arena pertempuran. Sambil sesekali menengok ke belakang, ke arah si semut kecil berlari ambli tertawa cekikikan, si semut besar tampak mengeluh sambil mengumpat menyesali kesialannya. Seakan mendapat pencerahan, Sanyoto berteriak dalam hati, “Benar, aku harus kembali menghadap atasanku esok hari”. Aku akan terus berjuang. Aku tidak bisa selamanya diinjak-injak, kan kukerahkan semua yang aku punyai, aku harus mendapatkan semua yang menjadi hakku sebagai manusia,” kali ini mantap ia berteriak, mengeluarkan sesak di hati, memecah keheningan senja di taman kota yang mulai sepi ditinggal para pengunjungnya.