Senin, 29 Maret 2010

Darah Juang


Teringat lagu ini setelah melihat berita tentang kelaparan di Indonesia Timur, daerah anak tiri negara Indonesia...Lagu mars wajib para demonstran dan mahasiswa di kala aksi...

Disini negri kami
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur tuan...

Dinegri permai ini
Berjuta Rakyat bersimbah rugah
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja...

Mereka dirampas haknya Tergusur dan
lapar bunda relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat...

Mereka dirampas haknya Tergusur dan
lapar bunda relakan darah juang kami
pada mu kami berjanji...

pencipta: John Sonny Tobing

gambar: muntohar.wordpress.com

Buta


Memejamkan mata untuk memulai hari yang baru sungguh nyaman dirasa. Kedua kornea tak sanggup menjalankan mantra untuk membentuk visual citra untuk kemudian dimasukkan ke dalam kepala. Dunia ini sudah penuh. Penuh dengan manusia. Penuh dengan dogma. Penuh dengan perkara. Muak sudah mata ini memandang kebijakan yang terlihat jauh dari bijak. Lelah sudah otak ini bekerja mencari penyelesaian masalah yang kian lama kian tampak kusut seperti rambut yang sudah seminggu tak bercengkerama dengan cairan pencuci. Dunia sudah tak mencipratkan lagi percikan kasih sayangnya. Bahkan burung pipit yang kecilpun sudah tak dikasihi lagi. Sarangnya hancur, terkena radiasi paradigma moral pabrik negeri. Pabriknya besar. Jendela terbuka lebar, tempat keluar masuk manusia, tanaman, dan hewan. Tak ada pintu di situ. Yang ada hanya jendela. Dua manusia ditemani satu hewan dan tiga tanaman tampak berjaga di depan jendela. Manusia-manusia itu tampak membawa tongkat bertuliskan garrett. Mereka bukan mendeteksi bom. Mereka mendeteksi alat penukar. Boleh masuk kalau ada alat penukar. Tak punya, ya di luar saja. Dunia sedang mencari makna. Pasar dan alat penukar menjadi tanda pemakna. Hati dan telinga ikut buta mengikuti senior mereka sang mata. Memejamkan mata untuk memulai hari sungguh nyaman dirasa.

Minggu, 28 Maret 2010

Freethinker dan Agama


Freethinker, sebuah kosakata baru yang tersangkut di kepala saya. Setelah sekian lama terperangkap dalam dogma Ateisme, Komunisme, Agnostisisme, dan Sekulerisme, Freethinker menjadi bahan kajian baru bagi saya.
Saya coba telaah di Wikipedia yang berkata bahwa, "Freethought is a philosophical viewpoint that holds that opinions should be formed on the basis of science, logic, and reason, and should not be influenced by authority, tradition, or any other dogma.[1] The cognitive application of freethought is known as freethinking, and practitioners of freethought are known as freethinkers."

Freethinker
berkutat dengan sains, logika, dan rasionalitas manusia. Semua pandangan, pendapat, argumen harus punya ketiga dasar itu. Paksaan dogma dari pihak lain tanpa didasari logika yang kuat dan berdasarkan fakta adalah omong kosong belaka. Meskipun berhubungan erat dengan Ateisme dan mungkin Agnostisisme, Freethinker tidak berasal dari satu rumah yang sama dengan penganut Ateisme dan tentu saja Agnostisime. Satu hal yang kerap dijadikan bahan diskusi adalah tentang keberadaan Tuhan sebagai sang Mahakuasa pencipta manusia. Oleh karena itu, kita sebagai manusia harus menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Fenomena keTuhanan ini telah menjadi subyek perdebatan para ahli dan yang bukan ahli, terutama filsuf, ilmuwan, dan pemuka agama.
Agama atau kepercayaan sebagai produk manusia yang diciptakan untuk menjadi ajang perantara dengan Tuhan juga menjadi sumber perdebatan yang tak kunjung habis. Tuhan dan agama yang hanya didasari pada suatu keyakinan semata membuatnya tidak masuk hitungan bagi para Freethinker. Menurut saya, bermacam-macam agama di dunia ini tak lebih dari sebuah konsep ciptaan manusia yang ketinggalan jaman.
Agama hanya menjadi bahan terciptanya kekerasan dan peperangan. Perang dan pembunuhan atas nama agama adalah hal yang konyol bagi saya. Saya mengenal banyak orang yang diberi label ateis dan agnostik namun mereka lebih humanis daripada mereka yang menjual diri pada agama dan mengamankan tiket menuju surga dengan cara membabi buta.
Freethinker
menolak dogma agama. Dan saya begitu takjub, betapa agama bisa menjadi sumber malapetaka karena sebenarnya agama adalah penuntun menuju kedamaian. Menurut dogma yang terpaksa saya cerna.

Gambar:
zazzle.com

Kamis, 25 Maret 2010

Penolakan Konferensi Gay-Lesbian di Surabaya.


Baru-baru ini, terjadi demo besar-besaran menolak penyelenggaraan "International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex Association" (ILGA) ke-4 tingkat Asia yang akan diadakan di Surabaya pada 26-28 Maret 2010. Ormas-ormas Islam berada di garda terdepan meneriakkan penolakan itu. Wakil Walikota Surabaya Arif Affandi juga menyatak ketidaksetujuannya terhadap konferensi bertaraf internasional tersebut. Kondisi sosiokultural kota Surabaya menjadi alasan utama argumen Arif. Ormas Islam FPI bahkan mengancam akan melakukan sweeping jika konferensi ini tetap digelar. Ketua MUI Jatim Abdussomad Buchori turut berpendapat, jika perhelatan ini tetap digelar, kondisi sosial di Surabaya akan terganggu. Beliau menghimbau untuk membatalkan saja konferensi yang sedianya akan dihadiri oleh 100 peserta yang berasal dari 20 negara di Asia tersebut.
Polwiltabes Surabaya sebagai institusi yang bertanggung jawab atas keamanan di wilayah Surabaya juga tidak memberikan ijin penyelenggaraan. Konferensi ini dikhawatirkan akan menggangu stabilitas keamanan Surabaya saat ini. Bukan tidak mungkin kerusuhan akan hadir mendampingi konferensi. Bahkan, pihak kepolisian tidak segan membubarkan paksa konferensi tersebut apabila panitia tetap nekad menggelarnya.

Gambar: gaya-nusantara.blogspot.com

Surakarta jadi Ibukota


Wacana tentang pengubahan nama kota Surakarta menjadi Solo yang ramai dibicarakan khalayak ramai mulai dari loper koran hingga anggota legislatif mulai meredup. Sekarang telah muncul wacana baru, yaitu usaha untuk memekarkan kota Surakarta menjadi ibukota Jawa Tengah. Semarang yang menjadi ibukota incumbent dinilai tidak mampu menyaingi perkembangan pesat kota Surakarta yang tengah berlari mengejar modernisasi yang bernafaskan budaya dan seni. Wacana ini cukup mendapat perhatian serius dari para calon Walikota Surakarta yang sedianya akan bertarung pada tanggal 24 April 2010 mendatang.

Eddy Wirabhum yang berasal dari kalangan keraton antusias menyambut wacana ini. Beliau setuju apabila Surakarta dijadikan ibukota propinsi. Hal ini mendapat sorotan yang cukup tajam karena dikhawatirkan nuansa feodalisme akan muncul mengingat Eddy Wirabhumberasal dari lingkungan keraton.

Di lain pihak, walikota incumbent Joko Widodo menyatakan bahwa kajian tentang wacana tersebut harus dilakukan secara lebih mendalam walau beliau tidak berkeberatan akan pemindahan tersebut. Manfaat dan mudharat status baru kota Surakarta harus diperhitungkan secara seksama. Daerah-daerah penunjang kota Surakarta seperti Klaten, Boyolali, Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, dan Wonogiri harus diikut sertakan dalam pembahasan wacana ini jika memang kelak akan diwujudkan.

Warga kota Surakarta juga mengambil peranan penting dalam pembahasan perwujudan wacana ini. Mereka harus sudah siap menghadapi suasana ramai dan sibuk ibukota. Jauh berbeda dengan suasana santai dan sepi kota Surakarta saat ini.

Gambar: www.indonesia-tourism.com

Selasa, 23 Maret 2010

Kalashnikov sang Pembunuh (?)



Mendengar presenter berita di televisi yang mengabarkan gerakan terorisme di Aceh mengucap kata AK-47, ingatan saya langsung terdampar ke masa saya SMP. Saat itu game center sangat marak dikunjungi anak-anak dan remaja, tak terkecuali saya. Rela membolos demi bermain salah satu permainan online berjudul Counter Strike tak jadi soal. AK-47 adalah senjata favorit saya waktu itu. Tidak nggaber kalau istilah saya. Juga mematikan. Walau senjata itu menjadi milik Terrorist di permainan itu. Tak apalah demi kepuasan batin saya menjadi Terrorist.

Terima kasih pada Kalashnikov sang perancang mahakarya senjata yang akhirnya populer dipakai sebagai simbol perlawanan di beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah. M-16yang dimiliki Counter Terrorist tak mampu menandingi AK-47 favorit saya. Simbol perlawanan pada kemapanan menjadi magnet penarik saya sebagai anak muda. "Tanpa uang, anda bukanlah apa-apa, tanpa sebuah Kalash...." kata mereka di Afrika.M-16 adalah Amerika dan AK-47 adalah Rusia. Saya adalah pengagum pergerakan Rusia, Uni Soviet kala itu. Lenin dengan Bolsheviknya, namun bukan Stalin dengan rezim ala Hitlernya. AK-47 memang mematikan, Jerman pun lari tunggang langgang walau hanya mendengar desingan. Namun mengapa digunakan untuk mengobarkan perlawanan semu yang kadang mengorbankan banyak keluarga dan kawan? Mengapa digunakan untuk melawan atas nama pemikiran sempit berhalauan kekerasan? Kalashnikov sang kreator pernah berujar, beliau menciptakan senjata itu bukan untuk membunuh. Memang ironis, karena bagaimanapun juga AK-47 adalah SENJATA. Apakah mereka dulu juga bermain Counter Strike dan memvisualisasikannya secara nyata? Saya tidak. Saya berada di seberang bahkan. Bila memang untuk sesuatu yang bertemakan kebaikan, mengapa tak menggunakan doblis atau tulup saja. Nyeri sehari setelah itu sembuh sendiri. Sudah. Klashnikov tak lagi jadi idaman. Bermain dakon sajalah.

Rabu, 03 Maret 2010

Aku Ingin Membaca!!


Pagi ini aku membuka hari dengan naik kereta api Prameks menuju Solo, kota mimpi. Di gerbong aku beli koran pagi bernama Tempo seharga Rp.1.500. Khusus pelanggan Prameks, kata stempel di halaman muka. Dengan berdiri karena tak mendapat tempat untuk mengistirahatkan kaki, satu per satu berita aku kuliti. Sampai halaman A8, aku terhenyak membaca sebuah judul kecil di bagian tengah halaman yang juga dihiasi sebuah foto ilustrasi. Begini bunyinya, Razia Buku. Penasaran, aku baca berita terkandung yang hanya berisi dua kalimat. Berita itu menceritakan bahwa pegawai Kejaksaan Negeri Sukabumi, berafiliasi dengan Kesbang kota Sukabumi merazia buku-buku yang dianggap menggangu persatuan Bangsa Indonesia!!. Ironis...Sebodoh itukah masyarakat Indonesia hingga perlu diatur bahan bacaannya? Bukankah kita juga punya filter sendiri? Kita (harusnya) mampu memilah dan memilih, mana bacaan yang layak dibaca, dan mana yang tidak. Kita juga (harusnya lagi) mampu menyikapi sendiri isi bacaan yang telah kita baca, dengan bijaksana. Atau mungkin otoritas di negara Indonesia masih mengadopsi cara era Orde baru dan Orde Lama yang totaliter dan sewenang-wenag? Entahlah.... Semoga aku masih bisa membaca buku yang aku sukai, karena aku suka membaca, karena aku tak akan pernah berhenti membaca. Aku tak mau menjadi bodoh.