Selasa, 23 Maret 2010

Kalashnikov sang Pembunuh (?)



Mendengar presenter berita di televisi yang mengabarkan gerakan terorisme di Aceh mengucap kata AK-47, ingatan saya langsung terdampar ke masa saya SMP. Saat itu game center sangat marak dikunjungi anak-anak dan remaja, tak terkecuali saya. Rela membolos demi bermain salah satu permainan online berjudul Counter Strike tak jadi soal. AK-47 adalah senjata favorit saya waktu itu. Tidak nggaber kalau istilah saya. Juga mematikan. Walau senjata itu menjadi milik Terrorist di permainan itu. Tak apalah demi kepuasan batin saya menjadi Terrorist.

Terima kasih pada Kalashnikov sang perancang mahakarya senjata yang akhirnya populer dipakai sebagai simbol perlawanan di beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah. M-16yang dimiliki Counter Terrorist tak mampu menandingi AK-47 favorit saya. Simbol perlawanan pada kemapanan menjadi magnet penarik saya sebagai anak muda. "Tanpa uang, anda bukanlah apa-apa, tanpa sebuah Kalash...." kata mereka di Afrika.M-16 adalah Amerika dan AK-47 adalah Rusia. Saya adalah pengagum pergerakan Rusia, Uni Soviet kala itu. Lenin dengan Bolsheviknya, namun bukan Stalin dengan rezim ala Hitlernya. AK-47 memang mematikan, Jerman pun lari tunggang langgang walau hanya mendengar desingan. Namun mengapa digunakan untuk mengobarkan perlawanan semu yang kadang mengorbankan banyak keluarga dan kawan? Mengapa digunakan untuk melawan atas nama pemikiran sempit berhalauan kekerasan? Kalashnikov sang kreator pernah berujar, beliau menciptakan senjata itu bukan untuk membunuh. Memang ironis, karena bagaimanapun juga AK-47 adalah SENJATA. Apakah mereka dulu juga bermain Counter Strike dan memvisualisasikannya secara nyata? Saya tidak. Saya berada di seberang bahkan. Bila memang untuk sesuatu yang bertemakan kebaikan, mengapa tak menggunakan doblis atau tulup saja. Nyeri sehari setelah itu sembuh sendiri. Sudah. Klashnikov tak lagi jadi idaman. Bermain dakon sajalah.