Rabu, 28 April 2010

3 Puisi Iwan Simatupang

REQUIEM
mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah

Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan

Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari

Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat

Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik

Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang

Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kamu tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan

Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.

Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung

Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi

Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera …

Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggu kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan

Inilah langkah pertama kami
kepengijakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!

Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhingaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!

Surabaya, 29 Januari 1953


POTRET

Di sudut kamat seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Belum jua pulang.

Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang—
Takkan lagi kunjung datang.

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Masih jua belum pelung

Kini dara sudah lama dalam biara.

ZIARAH MALAM


Tahun lalu ia lari tinggalkan biara
Kerna tak tahu tempatkan kasih
Pada Tuhan atau padri muda
Yang masuk biara kerna ingin tobat
Dari dosa: memperkosa ibu tirinya

Bulan lalu ia diangkut ke sanatorium
Kerna tak tahu apa lagi akan dikasihinya
Setelah Tuhan dan padri muda ia tinggalkan
Dan kasih yang membara di buah dadanya
Akhirnya mengapung ke paru-parunya

Siang tadi ia dikubur kemari
Kerna lewat tahu, bahwa kasih
Yang pulang dari Tuhan, daging dan kelengangan
Hanya akan berterima lagi oleh
Tepi pertemuan kembola dan langit malam

Dan di bimbang bintang Tuhan masih Maha Pengasih

Selasa, 27 April 2010

Salah Kaprah Penggunaan Kata "Anarkis"


Baru- baru ini kita sering disuguhi pemberitaan tentang kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia ataupun mancanegara. Media cetak maupun media elektronik berlomba-lomba menciptakan tajuk berita yang menarik minat para pembaca atau pemirsa. Kerusuhan di Thailand, kerusuhan antar suporter sepakbola, hingga kerusuhan seputar sengketa makam Mbah Priok di Jakarta Utara menjadi tema aktual bagi media. Di dalam penulisan tajuk berita tentang kerusuhan itu, acap kita menjumpai kata “anarkis”. Semisal, “Tindakan anarkis Bonek….”, “Kaos merah bertindak anarkis…”, “Bentrok berujung anarkis…”, dan sebagainya. Kata anarkis digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang rusuh, kacau, dan tak beraturan.

Penggunaan kata “anarkis” ini menyalahi makna sebenarnya seperti yang terkandung di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI, “anarkis” bertindak sebagai kata benda yang berarti 1 penganjur (penganut) paham anarkisme; 2 orang yg melakukan tindakan anarki. Oleh karena itu, makna asli kata “anarkis” telah tergeser ketika digunakan di dalam tajuk berita yang dibuat oleh media massa di atas. Ambil contoh, kita aplikasikan pada salah satu tajuk berita di media massa nasional versi online, “Polisi Minta Buruh Tak Anarkis”. Di sini, sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, penggunaan kata “anarkis” sangat tidak tepat. Asumsi saya, “anarkis” di dalam tajuk berita tersebut lebih bertindak sebagai kata sifat daripada kata benda. Akan lebih tepat apabila tajuk berita itu diubah menjadi “Polisi Minta Buruh Tidak Menjadi Anarkis”. Dengan pengubahan itu, maka makna “anarkis” sebagai kata benda, orang yang melakukan tindakan anarki, akan terpenuhi. Apabila penulis tajuk berita tetap ingin menggunakan kata sifat, akan lebih baik apabila tajuk berita tersebut diubah menjadi “Polisi Minta Buruh Tak Anarkistis”. Menurut KBBI, “anarkistis” bertindak sebagai kata sifat yang berarti bersifat anarki. Namun demikian, apabila melihat lebih ke dalam apa arti sebenarnya “anarkis” dan “anarkisme” itu, kekeliruan pemaknaan kata anarkis dan anarkisme menjadi semakin nyata.

Terminologi “anarkis” berasal dari bahasa Yunani, Anarchos yang berarti “tanpa penguasa”. Proudhon, seorang filsuf Perancis menjadi orang yang pertama kali menyebut dirinya sebagai Anarkis. Anarkis dan anarkisme sangat erat kaitannya dengan ideologi yang diusung oleh Mikhail Bakunin, seorang filsuf revolusioner berkebangsaan Rusia. Dia menentang keras kediktatoran proletariat milik pengganut Marxisme. Seseorang tak sepatutnya berkuasa atas orang lain. Hal itulah yang mendasari teori anarkisme. Kaum anarkis berpendapat bahwa manusia harus melawan sistem yang membuat mereka menjadi inferior dan oleh karena itu dikuasai. Cenderung berbau utopis memang, namun kaum anarkis percaya bahwa kehidupan lebih baik akan tercipta apabila tidak ada sistem institusi yang bertabiat menguasai masyarakat. Kehadiran Negara sebagai sebuah institusi juga ditolak oleh kaum anarkis. Penolakan atas institusi yang mempunyai otoritas termasuk Negara membuat kaum anarkis menjadi musuh bagi hukum. Kapitalisme menjadi musuh besar bagi kaum anarkis. Dengan berdirinya suatu Negara, kapitalisme akan lebih mudah menyeruak masuk dan menghantui masyarakat di dalam Negara tersebut. Oleh karena itu, kaum anarkis menolak keras kehadiran suatu Negara. Pada intinya, Anarkisme muncul sebagai tandingan arogansi otoriter sebuah institusi, termasuk Negara yang cenderung menindas.

Pada tahun 1880an, kaum anarkis cenderung menggunakan kekerasan dalam melawan sistem yang dibuat oleh institusi. Kekerasan dianggap menjadi sebuah cara yang efektif untuk melawan represi yang dilancarkan oleh institusi. Propaganda of the Deed, slogan yang diluncurkan pada tahun 1880an menjadi tonggak penggunaan kekerasan oleh kaum anarkis secara luas. Paul Brousse, seorang anarkis berkebangsaan Perancis mempopulerkan istilah itu lewat artikel yang ditulisnya di Bulletin of the Jura Federation pada bulan Agustus 1877. Lewat slogan tersebut, kekerasan dilegalkan agar mencapai tujuan utama, yaitu menggulingkan institusi. Presiden Amerika Serikat William McKinley menjadi korban pembunuhan oleh seorang anarkis bernama Leon Czolgosz pada tahun 1901. Leon Czolgosz adalah seorang anarkis yang terinspirasi oleh pidato Emma Goldman, anarkis penganjur kekerasan yang akhirnya berubah setelah pindah ke Rusia. Propaganda of the Deed praktis mulai ditinggalkan setelah Perang Dunia I. Namun demikian, masih ada banyak kaum anarkis yang menganggap slogan itu harus dilaksanakan hingga sekarang.

Walaupun anarkisme tak bisa dilepaskan dari perbuatan yang cenderung bersifat rusuh, namun ada beberapa penganut anarkis yang menolak kekerasan. Mereka sering disebut sebagai Anarcho-Pacifist. Tokoh-tokohnya anatara lain, Henry David Thoreau dan Leo Tolstoy. Mereka menolak keras penggunaan kekerasan karena menurut mereka, definisi anarkisme adalah penolakan terhadap penggunaan paksaan. Jika menggunakan kekerasan, maka otomatis paksaan juga dipergunakan. Perkembangan kaum Anarcho-Pacifist menjadi kian gencar setelah Perang Dunia I. Untuk mewujudkan tujuan, mereka berpendapat bahwa mogok massal menjadi cara yang lebih efektif daripada penggunaan kekerasan. Sebagai contoh, kaum petani di Rusia yang menolak kekaisaran pada waktu itu lewat diet vegetarian super ketat yang mereka lakukan.

Media yang menggunakan kata “anarkis” untuk merujuk pada perbuatan yang mengandung unsur kekerasan mungkin terpengaruh oleh stigma bahwa anarkisme adalah kekerasan, vice versa. Namun penggunaan kata “anarkis” harus sesuai dengan konteks karena anarkisme tidak melulu berkutat dengan kekerasan atau penghancuran. Bukan mustahil, konotasi negatif “anarkis” yang terus berkembang di masyarakat lewat media akan terus-terusan menyakiti hati kaum anarkis yang sebenarnya.

gambar: lastfreevoice.wordpress.com

Senin, 26 April 2010

Apa itu Arbeit Macht Frei?

Arbeit macht frei! Work liberates! It is a phrase known as welcome note that was widely used by NAZI Germany in the concentration camps. The legendary Auschwitz is included beside the other camps like Dachau, Gross-Rosen, and Sachsenhausen. The slogan was physically made by the prisoners inside the camps.

Arbeit macht frei was taken from the title of the novel written by Lorenz Diefenbach in 1873. He was a German philologist. The novel tells about the criminals (gamblers and fraudsters) who were eventually finding the path to the right way through working activity. The Weimar government of Germany adapted it for the very first time in 1928. It was used to propagate the end-of-unemployment programme that was issued by the government at that time. There was also some visions that the slogan was used to mock the Medieval's slogan, Stadluft macht frei (city air brings freedom).

NAZI, as represented by Rudolf Hoss the first commandant of Auschwitz concentration camp, used it in the entrance gate of every concentration camp. The prisoners, instead of being freed by working, they seemed to be confined in the concentration camps, waiting for the death. "Where is the freedom?", said the one of the prisoners.

The never ending labor has a spiritual freedom as a goal as argued by The Ethical Spectacle, an online journal webzine written by Jonathan Wallace. Such a forgery conducted to enhance the NAZI's hegemony.

Excerpt from Gramsci's


I hate cold.
I believe that life should mean to be partisan.
Who really lives cannot be not a citizen and partisan. The indifference is apathy, and parasitism, is cowardice, not life.
Indifference is the dead weight of history. The albatross to innovator.

I hate the indifferent why bother me with their eternal whining innocent. I ask each of their account of how he played the role that life has placed and places every day of what he has done and especially what did not. And I feel I can be relentless, not having to waste my pity, not having to share them with my tears.

I LIVE, I'M PARTISAN. SO I HATE WHO DOESN'T SIDE, I HATE THE INDIFFERENT"

February 11, 1917-A.Gramsci-

Kamis, 22 April 2010

Berapa Jumlah Karya Shakespeare?

Ide untuk menulis tulisan ini muncul setelah saya melakukan tes wawancara untuk bergabung menjadi wartawan sebuah media massa cetak berkaliber nasional. Perjalanan saya mulai dengan bangun sekitar pukul 06.30 setelah memencet pilihan snooze alarm di telepon seluler berkali-kali. Malam sebelumnya saya set alarm telepon seluler jam 04.30. Karena saya lupa jam berapa saya harus memulai tes wawancara sebab kertas memo tempat saya mencatat waktu tes hilang entah kemana, saya memutuskan datang pagi saja. Jam 08.00 saya anggap sebagai waktu yang sempurna.

Tanpa ba...bi...bu..., bermodal kenekatan dan kesoktahuan, saya memantapkan hati meluncur ke kantor perwakilan media massa itu di kota Jogja. Saya sampai disana pukul 08.48. Kantor masih sepi. Hanya ada dua orang satpam berjaga di depan.

"Maaf Pak, mau tanya, tempat tes wawancara *tiiitttsss(nama media) jam berapa ya?", tanya saya.
"Wah,Mas masuk dulu saja, saya ga tau mas" jawab seorang satpam yang berkulit hitam dan berkumis bapang.

Saya masuk ke kantor. Ada seorang pria tanpak sibuk menyusun kertas-kertas di meja.

Saya bertanya,"Permisi Pak, tes interview *tiiittsss(nama media lagi) jam berapa ya? Memo tempat saya mencatat hilang soalnya."
Dia menjawab,"Oo, mau tes ya Mas? Tunggu saja dulu di sini Mas. Duduk dulu, silakan"

Pria itu lalu keluar meninggalkan saya sendiri. Tak berapa lama kemudian, ada seorang pelamar masuk ke kantor. Seperti biasa, bersalaman menjadi pembuka perkenalan. Dan seperti biasa pula, saya langsung lupa setelah berkenalan dengan seseorang.

Kawan tersebut datang dari Boyolali, lulusan FKIP jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas Sebelas Maret angkatan 2004. Rasa heran menghampiri saya, bagaimana seorang lulusan FKIP bisa melamar pekerjaan sebagai wartawan? Mungkin dia punya kompetensi? Atau bermodal nekat seperti saya? Entahlah.

"Sebelumnya sudah pernah kerja, Mas?" tanya saya memecah keheningan.
"Dulu saya bolak-balik Boyolali-Cilacap, jadi semacam guru Wiyata Bakti di salah satu SMA Negeri di sana," jawabnya.
"Terus?" rasa ingin tahu saya menyeruak.
"Lhawong disana guru Wiyata Bakti saja disuruh jaga perpus. Program sertifikasi bikin guru-guru nambah jam ngajar, Mas. Biar cepet dapet sertifikat. Guru WB ya dianggurin," keluhnya.

Guru Wiyata Bakti saja tidak disuruh mengajar. Apalagi kawan yang satu ini yang berstatus sebagai "semacam guru Wiyata Bakti"? Kasihan calon-calon guru negeri sekarang. Para guru yang terlebih dahulu berstatus sebagai PNS akan lebih mementingkan sertifikasi pastinya.

Setelah itu, datang seorang kawan lain. Sayangyna, saya juga lupa namanya setelah berjabat tangan. Pelamar itu dari Malang, namun dia nge-kos di Solo. Dia lulusan Ekonomi Akuntansi Universitas Brawijaya angkatan 2005 kalau saya tidak silap.

***

Jam di tangan menunjukkan pukul 08.47. Seorang pegawai berusia sekitar 30an dan berambut gondrong namun botak di depan keluar dari dalam ruangan dan menyuruh kami mengisi formulir pelamar. Kami bertiga yang datang paling awal langsung masuk dan mengisi formulir itu di meja yang sama. Kami disodori daftar absen oleh pegawai yang tadi menyuruh kami masuk.

"Silahkan tanda tangan, terus formulirnya diisi ya Mas," katanya sambil menyiapkan minuman untuk kami.
"Iya, Mas. Terima kasih," sahut saya.

Saya buka daftar absen. Terhenyak saya melihat pelamar yang ternyata ada lebih dari 30 orang. Apalagi, ternyata tes dibagi dalam dua kelompok. Itu berarti jumlah pelamar memang banyak sekali. Rasa pesimis mulai hinggap di benak saya. Selama saya mengisi formulir, tak terhitung berapa banyak pelamar lain yang datang. Mereka menghampiri meja tempat saya mengisi formulir untuk mengambil formulir dan menanda tangani daftar absen. Kebetulan, daftar absen dan tumpukan formulir diletakkan di meja saya.

Sekitar 10 menit kemudian, saya selesai mengisi formulir. Kedua kawan saya juga selesai, hampir bersamaan dengan saya. Kami disuruh keluar ke tempat kami menunggu sebelumnya untuk kemudian menunggu dipanggil.

"Hardian Putra Pratama," kata pegawai gondrong namun botak tadi.
"Iya, Mas," sahut saya.
"Silakan masuk," katanya.

Saya beranjak dari singgasana dengan perasaan was-was." Semoga saya bisa," kata saya dalam hati.
Di ruangan, saya sudah ditunggu oleh dua orang pria berusia separuh baya. Yang satu kurus, berkacama mata, dan berambut putih. Di sebelahnya agak tambun, berambut hitam dengan sedikit semburat putih dan juga berkaca mata.

"Silakan duduk," kata seorang yang kurus.

Saya duduk. Tas saya letakkan di atas lantai agar tidak mengganggu.

"Ceritakan kenapa Anda tertarik menjadi wartawan?" tanya seorang yang agak tambun memulai tes wawancara.

Saya langsung bercerita panjang lebar, bahwa menjadi wartawan itu adalah impian saya. Membagi informasi kepada orang lain adalah tugas utama seorang wartawan. Dan saya akan sangat bangga menjadi orang yang membagi informasi kepada masyarakat sehingga mereka lebih terdidik.

Kemudian, tibalah pertanyaan yang sederhana namun mengena.

"Anda Sastra Inggris kan? Tahu berapa jumlah karya Shakespeare?" tanya seorang yang agak tambun.
"Saya tidak tahu. Masak seorang lulusan Sastra Inggris harus tahu berapa jumlah karya Shakespeare?" jawab saya yang memang sangat tidak tertarik pada karya-karya Shakespeare yang berkutat soal tragedi dan komedi serta sonet.
"Sebutkan salah satu puisi William Wordsworth!" pertanyaan lain keluar dari bibir tebal bapak yang agak tambun.

Bloody hell!! Saya tidak hapal karya William Wordsworth. Coba saya ditanya pusisi karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, atau Ezra Pound.

"Maaf, saya tidak tahu, Pak," jawab saya sambil tersenyum kecut.

Senyum sinis menghiasi wajah si bapak agak tambun. "Wah, malu-maluin Pak Alif saja kamu," katanya sambil menyebut nama salah seorang dosen saya.

"Pak Alif dosen Sanata Dharma ya?" tanya bapak yang kurus pada bapak agak tambun.

"Pak Alip, dosen linguistik, Pak" kata saya. Dalam hati saya berkata,"Menyebut nama saja salah. Pak Alip, bukan Pak Alif. Lagian, beliau tidak mengajarkan puisi pada saya. Kenapa dia harus malu? Setahu saya dia orang yang super cuek."

Apakah kompetensi seorang lulusan Sastra Inggris diukur dari pengetahuan soal jumlah karya sastra Shakespeare? Apakah kapabilitas saya bisa diketahui kalau saya tahu salah satu puisi William Wordsworth? Kenapa mereka tidak menanyakan tentang Teori Paska Kolonial, Mimetik Plato, atau pendekatan Formalistik? Apakah lebih baik tahu soal jumlah dan judul namun tak mengetahui pemaknaan atas karya-karya sastra tersebut?
Seorang mahasiswa Sastra Inggris juga punya spesialisasi selayaknya mahasiswa Ekonomi. Mahasiswa Ekonomi Manajemen belum tentu tahu tentang Ekonomi Akuntansi. Vice Versa. Kebetulan, saya mengkhususkan diri di narasi Kiri para sastrawan-sastrawati. Maxim Gorki, George Orwell, John Steinbeck dan Pramoedya lebih akrab di hati daripada Shakespeare ataupun Wordsworth.

Dan sore harinya, saya datang lagi ke kantor untuk melihat pengumuman. Saya sudah tahu hasilnya sebenarnya, cuma memastikan. Ya, saya tidak masuk. Kecewa memang, namun tak apalah. Saya masih muda. Masih banyak kesempatan di depan mata. Toh, saya juga agak merasa tak tega bekerja di sebuah media massa berkaliber nasional yang menilai kapabilitas seorang lulusan Sastra Inggris lewat pengetahuan soal karya Shakespeare dan Wordsworth daripada Teori Paska Kolonial atau Mimetik Plato. Meskipun saya merasa saya tidak terlalu bagus ketika tes wawancara.

Ingin rasanya saya bertanya balik pada mereka, berapa jumlah tulisan Tirto Adi Suryo? Berapa jumlah tulisan Mas Marco?

Wartawan


Rani, seorang wartawan media elektronik yang mengkhususkan diri di bidang politik sering merasa sepi ketika mencari berita di Istana Presiden, Gedung DPR, Kantor Gubernur dan Kantor Bupati. Mendengar berita semakin ramainya wacana artis-artis yang menerjunkan diri di dunia politik membuat Rani girang bukan kepalang. Dia tak lagi kesepian bila wacana itu menjadi nyata. "Wartawan jadi tambah banyak nih yang meliput berita di kantor pemerintahan," kata Rani.

21 April

Lagi-lagi Hari Kartini

Lagi-lagi para perempuan berlomba-lomba mengenakan kebaya terseksi

Dan lagi-lagi jargon "Habis Gelap Terbitlah Terang" muncul ke permukaan tanpa membawa suatu arti

Apa benar Belanda yang memberi kamu nafas, Kartini?

Kalau kamu berdiri sendiri, mengapa kamu mau dipoligami?
Kalau kamu menentang kolonialisasi, mengapa kamu berkompromi?

Rasa penasaran ini semakin menjadi

Aaaahhh....Kasihan benar kau Kartini

Jumat, 16 April 2010

Insiden Priok

Priok bergolak!!
Priok berteriak!!

Kau tak salah
Hanya mengemban perintah

Mereka tak salah
Hanya memberi nyawa pada amanah

Lalu siapa yang salah??

Pongah melihat darah bertumpah
Seakan manusia hanya seonggok sampah

Memukul
Dipukul
Melempar
Dilempar
Membunuh
Dibunuh

Jengah aku sudah

Lalu siapa yang salah?

Apa mungkin Tuhan salah?

Anonymous Being

Do you know me?
I don't think so

Do you know me?
I don't think so!!

Kamis, 15 April 2010

20122012

Hari menjelang pagi, namun matahari belum juga menyapa lewat hangat sinarnya....

"Bul, capek aku. Matahari sialan tidak bertanggung jawab!!" keluh bintang.
Bulan menjawab, "Kemarin katanya dia mau libur sehari,besok mau bikin kejutan."

Untuk Mbah Pram


Aku terlempar ke bentang lubang
Gelap mewujud telanjangi terang

Aku terhempas ke busuk tanah kuburan
Hilang ditelan buai kidung pahlawan

Tapi aku tak sebebal batu di tanganmu
Sinar sejuk matahari senja menari bersamaku

Siapkan senjata bermoncong durjana
Hantam sengsara
Injak nestapa

Biar tak ada surga
Aku tetap bernyawa

Biar hanya ada neraka
Namun aku tak akan binasa

Keabadian

Ambrosia itu bukan untukmu, kamu dewa bukan?

Senin, 12 April 2010

Perempuan Muram

Perempuan itu wajahnya suram
Cahaya temaram lilin turut memberi suasana kelam
Tak tahukah dunia dia sedang demam?
Dulu dia bersama teman-teman sebaya mati-matian melindungi elok pahanya dari sengatan mata pria yang menusuk tajam
Ah...Heran dia mendapati para perempuan sekarang yang menggelar paha semalam
Seakan kulit setebal beton, tak mampu ditembus tusukan udara dingin malam
Dunia memang tak tahu dia sedang demam
Ataukah dunia sekarang yang sedang demam?

Minggu, 11 April 2010

Iwan Simatupang


Sastrawan pemurung dan penuh misteri ini dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara pada 18 Januari 1928. Tahun 1954, setelah keluar dari sekolah kedokteran Surabaya (NIAS) dengan status tidak tamat, beliau melanjutkan sekolah di Fakulteit der Letteren, Rijksuniversiteit, Leiden jurusan Antropologi dan Sosiologi setelah mendapat beasiswa Sticusa. Kemudian beliau menuju Paris untuk belajar Filsafat Barat di salah satu universitas prestisius di Perancis, Universitas Sorbonne. Semasa menempuh studi di Belanda, beliau rajin menulis Karya-karya beliau banyak dimuat di majalah Gajah Mada Yogyakarta.

Tahun 1957 drama berjudul Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar lahir dari tangannya. Setelah itu, muncul Petang di Taman pada tahun 1958. Selain drama, Iwan yang juga pernah menjadi guru dan wartawan ini juga menulis cerpen, esei, novel, dan puisi. Ada Dukacarita di Gurun yang dimuat di majalah Siasat edisi 6 Juli 1952 adalah puisi pertama yang berhasil dipublikasikan. Majalah Siasat Baru edisi 30 Desember 1959 ikut memuat karya Iwan antara lain Ada Dewa Kematian Tuhan, Apa kata Bintang di Laut, dan Ada Tengkorak Terdampar di Pulau Karang.

Iwan menulis beberapa fragmen dan cerpen yang dirangkum dalam sebuah buku Tegak Lurus dengan Langit, diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982. Beberapa di antaranya adalah Monolog Simpang Jalan, Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi, Kereta Api Lewat di JauhanI, Patates Frites, Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu, Tegak Lurus dengan Langit, Tak Semua Tanya Punya Jawab, Oleh-oleh untuk Pulau Bawean, Prasarana; Apa Itu Anakku?, Aduh… Jangan Terlalu Maju, Atuh!, Husy! Geus! Hoechst!, Di Suatu Pagi, Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan, dan Dari Tepi Langit yang Satu ke Tepi Langit yang Lain.

Novel-novel Iwan yang fenomenal berjudul Ziarah, Merahnya Merah, Kering dan Koong, sedangkan drama-dramanya, Petang di Taman, RT 0 RW 0, Kaktus dan Kemerdekaan. Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. Iwan pun mendapat hadiah penghargaan untuk cerita pendeknya dalam Erwin Gastilla (Filipina), dan hadiah untuk karya nonfiksi dari Mrs. Judi Lee asal Singapura.

Karya sastra yang beliau tulis mendapat sorotan dari banyak pihak karena karakter yang terdapat di sana kebanyakan berwatak pemurung dan muram. Karakter sering bermonolog dan berbicara filsafat, meninggalkan lingkungan tempat dia berada. Hal ini disebabkan karena latar belakang filsafat yang dimilikinya semasa belajar di Paris. Filsafat Eksistensialisme yang cenderung mempertanyakan keberadaan manusia menjadi tema pokok dalam karyanya. Karya ganjil dan susah dicerna semacam Waiting for Godot karangan Samuel Becket terdapat di dalam karya-karyanya.

Iwan Martua Dongan Simatupang (18 Januari 1928-4 Agustus 2003) adalah seorang sastrawan jenius Indonesia. Walau tak semoncer Pramoedya Ananta Toer atau Chairil Anwar, namun karya-karyanya akan selalu memberi inspirasi.

Daftar Karya (http://id.wikipedia.org/wiki/Iwan_Simatupang):
  • Petang ditaman - drama sebabak (1966)
  • Merahnja merah - novel (1968)
  • Kering - novel (1972)
    • Drought - terj. bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1978)
  • Kooong: kisah tentang seekor perkutut (1975)
  • Tegak lurus dengan langit: lima belas cerita pendek (1982)
  • Ziarah - novel (1983)
    • The Pilgrim - terj. bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1975)
    • Ziarah - terjemahan bahasa Perancis (1989)
  • Surat-surat politik Iwan Simatupang, 1964-1966 (1986)
  • Poems - selections (1993)
  • Square moon, and three other short plays - terj. John H. McGlynn (1997)
  • Ziarah malam: sajak-sajak 1952-1967 - penyunting: Oyon Sofyan, S. Samsoerizal Dar, catatan penutup, Dami N. Toda (1993)
  • Kebebasan pengarang dan masalah tanah air: esai-esai Iwan Simatupang, editor, Oyon Sofyan, Frans M. Parera (2004)
  • RT Nol / RW Nol - drama satu babak

Kamis, 08 April 2010

Singapura: Surga Para Koruptor

Gayus Tambunan, seorang lulusan STAN tersangka kasus mafia pajak di Ditjen Pajak yang melibatkan uang senilai Rp 25 miliar akhirnya dapat dibawa pulang ke Indonesia. Ia berhasil dibujuk oleh tim penyidik yang datang ke Singapura, di kawasan Orchard Road. Gayus tercatat di DPO (Daftar Pencarian Orang) Kepolisian Republik Indonesia setelah dia dikabarkan melarikan diri ke Singapura pada Rabu 24 Maret 2010. Ia diamanankan pihak aparat hukum Indonesia dan akhirnya berhasil dibawa pulang pada tanggal 31 Maret 2010 dari Singapura. Mendengar nama Singapura, ingatan kita pasti melayang ke kasus-kasus koupsi sebelumnya. Koruptor Indonesia dan negara Singapura memang punya hubungan yang sangat erat sebab banyak sekali buronan koruptor Indonesia menjadikan Singapura sebagai tempat pelarian mereka. Hal ini dikarenakan Singapura tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Perjanjian ekstradisi penuh kontroversi karena dibarengi dengan kerjasama di bidang pertahanan negara (Defence Cooperation Agreement/DCA) yang diratifikasi tahun 2007 telah dicabut secara sepihak oleh Singapura pada tahun 2009.

Negara tetangga kita ini telah menjelma menjadi “surga” bagi para buronan koruptor Indonesia, tempat mereka menghabiskan “dana pensiun” setelah bekerja keras membanting tulang mengeruk rupiah dengan rakusnya. Sampai saat ini ada beberapa buronan kasus korupsi yang diduga melarikan diri ke Singapura dan belum dapat diseret kembali ke Indonesia. Berikut beberapa nama yang menjadi buronan kepolisian yang didapat dari data yang dihimpun dari berbagai media:
1. Samsul Nursalim, kasus BDNI, kerugian negara Rp 6,9 triliun dan US$ 96,7 juta.
2. Maria Pauline Lumowa, kasus BNI, kerugian negara Rp 1,9 triliun.
3. Agus Anwar, kasus Bank Pelita, kerugian negara Rp 1,9 triliun.
4. Adrian Kiki Irawan, kasus Bank Surya, kerugian negara Rp 1,5 triliun
5. Bambang Sutrisno, kasus Bank Surya, kerugian negara Rp 1,5 triliun.
6. Samadikun Hartono, kasus Bank Modern, kerugian negara Rp 169 miliar
7. Sudjiono Timan, kasus BPUI, kerugian negara US$ 126 juta.
8. Nader Taher, kasus Bank Mandiri, kerugian negara Rp 24,8 miliar.
9. Irawan Salim, kasus Bank Global, kerugian negara US$ 500 ribu.
10. Atang Latief, kasus Bank Bira, kerugian negara Rp 155 miliar.
11. Djoko S Tjandra ,kasus cessie Bank Bali, kerugian negara Rp 546 miliar.
12. Anggoro Wijoyo, kasus PT Masaro Radiokom, kerugian negara Rp 180 miliar.

Perjanjian ekstradisi merupakan perjanjian antar negara untuk menyerahkan tersangka pelaku kriminal secara formal dari negara yang menjadi tempat pelarian ke negara asalnya untuk diadili. Persoalan ekstradisi telah diatur dalam UU No 1 tahun 1979. UU tersebut mencakup aturan tentang substansi, obyek, aplikasi, persetujuan, dan penolakan ekstradisi. Singapura menjadi tujuan favorit para koruptor karena negara itu menetapkan aturan yang sangat ketat terkait pemulangan tersangka kasus kriminal yang kabur ke sana, mengingat tidak adanya perjanjian ekstradisi. Aparat hukum diharuskan untuk mempunyai bukti yang sangat kuat untuk dapat menyeret mereka ke persidangan Indonesia. Para koruptor ini tentu saja menguntungkan bagi Singapura karena mereka membelanjakan uang hasil korupsi yang melimpah ruah di sana. Singapura tidak akan dengan mudahnya melepas mereka begitu saja. Hukum Indonesia dan hukum Singapura pun berbeda. Indonesia menganut hukum Kontinental (Civil Law) sedangkan Negeri Singa mengaplikasikan hukum Anglo Saxon (Anglo Saxon Law). Hukum kontinental merupakan warisan hukum dari Eropa yang diterapkan oleh Belanda semasa penjajahan kolonial. Hukum Anglo Saxon yang menerapkan sistem yurisprudensi dimana terdapat juri-juri yang ikut serta menentukan hasil persidangan, diterapkan oleh negara Inggris dan negara-negara yang dulu pernah menjadi jajahannya, termasuk Amerika Serikat dan Singapura. Walau tanpa perjanjian ekstradisi, sebenarnya Indonesia juga punya hak untuk menjemput para buronan. Singapura terkesan melindungi para buronan tersebut karena proses pemulangan yang dibuat berbelit-belit. Pendekatan yang intensif dari pemerintah Indonesia ke pihak pemerintah Singapura menjadi poin terpenting dalam proses ini. Terlepas dari semua itu, kasus-kasus yang mulai berhasil terungkap di permukaan ini bisa dijadikan sebuah momentum mewujudkan cita-cita reformasi 1998 untuk mencapai Indonesia yang lebih baik. Semoga semangat reformasi total Indonesia masih menggelora di dada semua aparatur negara sehingga usaha untuk memperbaiki kebobrokan negeri ini bisa tercapai. Gayus telah berhasil diberangus. Kita nantikan kedatangan buronan-buronan lain dari Singapura yang notabene punya status buronan jauh lebih lama daripada seorang Gayus Tambunan.

MATI


Kemarin kau melihat seorang teman menangis di depan jasad tak bermuka. Hari ini kau mengaca dan tak menemukan mukamu di sana.

Selasa, 06 April 2010

Amerika

Alkisah, sebuah ledakan besar membahana di angkasa, duarrrr....!! Dan terciptalah Amerika.

Hidup Seorang Pejuang

Hari ini dia lahir. Kemarin dia dapat nilai 9,8 untuk pelajaran PMP. Kemarin lusa dia dihajar polisi ketika berdemo di gedung DPR. Tiga hari yang lalu dia menikah dengan putri seorang eks tapol Pulau Buru. Empat hari yang lalu putrinya dipersunting aktivis partai buruh. Lima hari yang lalu dia masuk penjara karena tulisannya yang berjudul "Ayo Maju Revolusi". Enam hari yang lalu dia sakit TBC . Seminggu yang lalu dia dikubur di belakang rumah.

Senin, 05 April 2010

Merdeka


Mata seorang cucu berbinar menyimak cerita Kakek ketika dulu jaman sebelum merdeka. Cari makan susah. Bodoh karena tak sekolah. Tenaga diperas habis penjajah. Dari dalam kamar, terdengar suara Ibu berkeluh kesah pada Ayah. "Beras sudah habis, Pak. Uang SPP Tole nunggak 5 bulan. Badan ini sudah tak kuat tiap hari gendong dagangan di pasar..."

Kecoa Berkepala Kecoa

Kecoa itu merayap keluar dari kepalanya yang menganga. Kemarin kepalanya terbentur jendela ketika naik kereta ke Jakarta. Sekarang dia kebingungan hendak masuk ke kepala siapa.

Kaki Untuk Berlari


"Aku hendak lari ke Singapura.", sahutmu ketika ditanya Ayahmu hendak kemana membawa ransel besar. "Hati-hati di jalan.", kata Ayahmu sembari menggergaji kedua kakinya dan kemudian memasangkannya ke selangkanganmu.

Berdarah

Kamu merasa lelah setelah seharian susah payah memerah darah. Seorang teman datang bertanya, "Darah siapa yang kau perah hari ini?" Kamu menjawab, "Tak tahu. Tadi aku tak sengaja menginjak sebuah kaki. Lalu kuperah habis darah empunya kaki itu." Temanmu pulang setelah meninggalkan obat merah untuk mengobati kakimu yang bengkak berdarah.

Sopir Bus

Seorang sopir sedang grusa-grusu, melihat bus di belakang lewat kaca spion kemudian mengumpat, "Assuu!!" Di spion terlihat mulut sopir yang diumpat membentuk huruf "A" disusul huruf "U".

Kebakaran

Kamu bingung sekaligus sedih melihat rumahmu terbakar. Bau gosong mayat Ibumu mencekik hidungmu yang berbulu. Ayahmu bertanya,"Korek api yang kau genggam itu milikku?"

Kotak Ajaib


Hitam legam bercampur perak berarak mengelilingi setiap sudut kotak ajaib itu. Hijau, merah, kuning, biru, ungu, bersenggama menjadi satu di dalam. Gerak dan suara bergumul ria menjejal meronta-ronta. Mata tampak menggila bercinta dengannya. Seonggok jasad dengan mulut menganga dan tangan menggenggam senjata pengubah warna si kotak ajaib kelihatan terlena, tak peduli luka di kepala terbuka, darah mengalir ke segala arah. Tertawa, menangis, terluka, melukai. Sungguh nyata indah kotak ajaib itu.

Tikus Berkepala Ganda


Keras suara yang keluar dari mulut Tikus itu. Tubuhnya menggelinjang hebat. Keempat kakinya menggaruk-garuk mencengkeram timbunan sampah busuk yang ditidurinya. Ekornya berlenggak-lenggok mengikuti irama jeritan perihnya. Akhirnya Tikus itu berteriak nyaring," KEMBALIKAN KEPALAKU!!".