Kamis, 08 April 2010

Singapura: Surga Para Koruptor

Gayus Tambunan, seorang lulusan STAN tersangka kasus mafia pajak di Ditjen Pajak yang melibatkan uang senilai Rp 25 miliar akhirnya dapat dibawa pulang ke Indonesia. Ia berhasil dibujuk oleh tim penyidik yang datang ke Singapura, di kawasan Orchard Road. Gayus tercatat di DPO (Daftar Pencarian Orang) Kepolisian Republik Indonesia setelah dia dikabarkan melarikan diri ke Singapura pada Rabu 24 Maret 2010. Ia diamanankan pihak aparat hukum Indonesia dan akhirnya berhasil dibawa pulang pada tanggal 31 Maret 2010 dari Singapura. Mendengar nama Singapura, ingatan kita pasti melayang ke kasus-kasus koupsi sebelumnya. Koruptor Indonesia dan negara Singapura memang punya hubungan yang sangat erat sebab banyak sekali buronan koruptor Indonesia menjadikan Singapura sebagai tempat pelarian mereka. Hal ini dikarenakan Singapura tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Perjanjian ekstradisi penuh kontroversi karena dibarengi dengan kerjasama di bidang pertahanan negara (Defence Cooperation Agreement/DCA) yang diratifikasi tahun 2007 telah dicabut secara sepihak oleh Singapura pada tahun 2009.

Negara tetangga kita ini telah menjelma menjadi “surga” bagi para buronan koruptor Indonesia, tempat mereka menghabiskan “dana pensiun” setelah bekerja keras membanting tulang mengeruk rupiah dengan rakusnya. Sampai saat ini ada beberapa buronan kasus korupsi yang diduga melarikan diri ke Singapura dan belum dapat diseret kembali ke Indonesia. Berikut beberapa nama yang menjadi buronan kepolisian yang didapat dari data yang dihimpun dari berbagai media:
1. Samsul Nursalim, kasus BDNI, kerugian negara Rp 6,9 triliun dan US$ 96,7 juta.
2. Maria Pauline Lumowa, kasus BNI, kerugian negara Rp 1,9 triliun.
3. Agus Anwar, kasus Bank Pelita, kerugian negara Rp 1,9 triliun.
4. Adrian Kiki Irawan, kasus Bank Surya, kerugian negara Rp 1,5 triliun
5. Bambang Sutrisno, kasus Bank Surya, kerugian negara Rp 1,5 triliun.
6. Samadikun Hartono, kasus Bank Modern, kerugian negara Rp 169 miliar
7. Sudjiono Timan, kasus BPUI, kerugian negara US$ 126 juta.
8. Nader Taher, kasus Bank Mandiri, kerugian negara Rp 24,8 miliar.
9. Irawan Salim, kasus Bank Global, kerugian negara US$ 500 ribu.
10. Atang Latief, kasus Bank Bira, kerugian negara Rp 155 miliar.
11. Djoko S Tjandra ,kasus cessie Bank Bali, kerugian negara Rp 546 miliar.
12. Anggoro Wijoyo, kasus PT Masaro Radiokom, kerugian negara Rp 180 miliar.

Perjanjian ekstradisi merupakan perjanjian antar negara untuk menyerahkan tersangka pelaku kriminal secara formal dari negara yang menjadi tempat pelarian ke negara asalnya untuk diadili. Persoalan ekstradisi telah diatur dalam UU No 1 tahun 1979. UU tersebut mencakup aturan tentang substansi, obyek, aplikasi, persetujuan, dan penolakan ekstradisi. Singapura menjadi tujuan favorit para koruptor karena negara itu menetapkan aturan yang sangat ketat terkait pemulangan tersangka kasus kriminal yang kabur ke sana, mengingat tidak adanya perjanjian ekstradisi. Aparat hukum diharuskan untuk mempunyai bukti yang sangat kuat untuk dapat menyeret mereka ke persidangan Indonesia. Para koruptor ini tentu saja menguntungkan bagi Singapura karena mereka membelanjakan uang hasil korupsi yang melimpah ruah di sana. Singapura tidak akan dengan mudahnya melepas mereka begitu saja. Hukum Indonesia dan hukum Singapura pun berbeda. Indonesia menganut hukum Kontinental (Civil Law) sedangkan Negeri Singa mengaplikasikan hukum Anglo Saxon (Anglo Saxon Law). Hukum kontinental merupakan warisan hukum dari Eropa yang diterapkan oleh Belanda semasa penjajahan kolonial. Hukum Anglo Saxon yang menerapkan sistem yurisprudensi dimana terdapat juri-juri yang ikut serta menentukan hasil persidangan, diterapkan oleh negara Inggris dan negara-negara yang dulu pernah menjadi jajahannya, termasuk Amerika Serikat dan Singapura. Walau tanpa perjanjian ekstradisi, sebenarnya Indonesia juga punya hak untuk menjemput para buronan. Singapura terkesan melindungi para buronan tersebut karena proses pemulangan yang dibuat berbelit-belit. Pendekatan yang intensif dari pemerintah Indonesia ke pihak pemerintah Singapura menjadi poin terpenting dalam proses ini. Terlepas dari semua itu, kasus-kasus yang mulai berhasil terungkap di permukaan ini bisa dijadikan sebuah momentum mewujudkan cita-cita reformasi 1998 untuk mencapai Indonesia yang lebih baik. Semoga semangat reformasi total Indonesia masih menggelora di dada semua aparatur negara sehingga usaha untuk memperbaiki kebobrokan negeri ini bisa tercapai. Gayus telah berhasil diberangus. Kita nantikan kedatangan buronan-buronan lain dari Singapura yang notabene punya status buronan jauh lebih lama daripada seorang Gayus Tambunan.