Kamis, 22 April 2010

Berapa Jumlah Karya Shakespeare?

Ide untuk menulis tulisan ini muncul setelah saya melakukan tes wawancara untuk bergabung menjadi wartawan sebuah media massa cetak berkaliber nasional. Perjalanan saya mulai dengan bangun sekitar pukul 06.30 setelah memencet pilihan snooze alarm di telepon seluler berkali-kali. Malam sebelumnya saya set alarm telepon seluler jam 04.30. Karena saya lupa jam berapa saya harus memulai tes wawancara sebab kertas memo tempat saya mencatat waktu tes hilang entah kemana, saya memutuskan datang pagi saja. Jam 08.00 saya anggap sebagai waktu yang sempurna.

Tanpa ba...bi...bu..., bermodal kenekatan dan kesoktahuan, saya memantapkan hati meluncur ke kantor perwakilan media massa itu di kota Jogja. Saya sampai disana pukul 08.48. Kantor masih sepi. Hanya ada dua orang satpam berjaga di depan.

"Maaf Pak, mau tanya, tempat tes wawancara *tiiitttsss(nama media) jam berapa ya?", tanya saya.
"Wah,Mas masuk dulu saja, saya ga tau mas" jawab seorang satpam yang berkulit hitam dan berkumis bapang.

Saya masuk ke kantor. Ada seorang pria tanpak sibuk menyusun kertas-kertas di meja.

Saya bertanya,"Permisi Pak, tes interview *tiiittsss(nama media lagi) jam berapa ya? Memo tempat saya mencatat hilang soalnya."
Dia menjawab,"Oo, mau tes ya Mas? Tunggu saja dulu di sini Mas. Duduk dulu, silakan"

Pria itu lalu keluar meninggalkan saya sendiri. Tak berapa lama kemudian, ada seorang pelamar masuk ke kantor. Seperti biasa, bersalaman menjadi pembuka perkenalan. Dan seperti biasa pula, saya langsung lupa setelah berkenalan dengan seseorang.

Kawan tersebut datang dari Boyolali, lulusan FKIP jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas Sebelas Maret angkatan 2004. Rasa heran menghampiri saya, bagaimana seorang lulusan FKIP bisa melamar pekerjaan sebagai wartawan? Mungkin dia punya kompetensi? Atau bermodal nekat seperti saya? Entahlah.

"Sebelumnya sudah pernah kerja, Mas?" tanya saya memecah keheningan.
"Dulu saya bolak-balik Boyolali-Cilacap, jadi semacam guru Wiyata Bakti di salah satu SMA Negeri di sana," jawabnya.
"Terus?" rasa ingin tahu saya menyeruak.
"Lhawong disana guru Wiyata Bakti saja disuruh jaga perpus. Program sertifikasi bikin guru-guru nambah jam ngajar, Mas. Biar cepet dapet sertifikat. Guru WB ya dianggurin," keluhnya.

Guru Wiyata Bakti saja tidak disuruh mengajar. Apalagi kawan yang satu ini yang berstatus sebagai "semacam guru Wiyata Bakti"? Kasihan calon-calon guru negeri sekarang. Para guru yang terlebih dahulu berstatus sebagai PNS akan lebih mementingkan sertifikasi pastinya.

Setelah itu, datang seorang kawan lain. Sayangyna, saya juga lupa namanya setelah berjabat tangan. Pelamar itu dari Malang, namun dia nge-kos di Solo. Dia lulusan Ekonomi Akuntansi Universitas Brawijaya angkatan 2005 kalau saya tidak silap.

***

Jam di tangan menunjukkan pukul 08.47. Seorang pegawai berusia sekitar 30an dan berambut gondrong namun botak di depan keluar dari dalam ruangan dan menyuruh kami mengisi formulir pelamar. Kami bertiga yang datang paling awal langsung masuk dan mengisi formulir itu di meja yang sama. Kami disodori daftar absen oleh pegawai yang tadi menyuruh kami masuk.

"Silahkan tanda tangan, terus formulirnya diisi ya Mas," katanya sambil menyiapkan minuman untuk kami.
"Iya, Mas. Terima kasih," sahut saya.

Saya buka daftar absen. Terhenyak saya melihat pelamar yang ternyata ada lebih dari 30 orang. Apalagi, ternyata tes dibagi dalam dua kelompok. Itu berarti jumlah pelamar memang banyak sekali. Rasa pesimis mulai hinggap di benak saya. Selama saya mengisi formulir, tak terhitung berapa banyak pelamar lain yang datang. Mereka menghampiri meja tempat saya mengisi formulir untuk mengambil formulir dan menanda tangani daftar absen. Kebetulan, daftar absen dan tumpukan formulir diletakkan di meja saya.

Sekitar 10 menit kemudian, saya selesai mengisi formulir. Kedua kawan saya juga selesai, hampir bersamaan dengan saya. Kami disuruh keluar ke tempat kami menunggu sebelumnya untuk kemudian menunggu dipanggil.

"Hardian Putra Pratama," kata pegawai gondrong namun botak tadi.
"Iya, Mas," sahut saya.
"Silakan masuk," katanya.

Saya beranjak dari singgasana dengan perasaan was-was." Semoga saya bisa," kata saya dalam hati.
Di ruangan, saya sudah ditunggu oleh dua orang pria berusia separuh baya. Yang satu kurus, berkacama mata, dan berambut putih. Di sebelahnya agak tambun, berambut hitam dengan sedikit semburat putih dan juga berkaca mata.

"Silakan duduk," kata seorang yang kurus.

Saya duduk. Tas saya letakkan di atas lantai agar tidak mengganggu.

"Ceritakan kenapa Anda tertarik menjadi wartawan?" tanya seorang yang agak tambun memulai tes wawancara.

Saya langsung bercerita panjang lebar, bahwa menjadi wartawan itu adalah impian saya. Membagi informasi kepada orang lain adalah tugas utama seorang wartawan. Dan saya akan sangat bangga menjadi orang yang membagi informasi kepada masyarakat sehingga mereka lebih terdidik.

Kemudian, tibalah pertanyaan yang sederhana namun mengena.

"Anda Sastra Inggris kan? Tahu berapa jumlah karya Shakespeare?" tanya seorang yang agak tambun.
"Saya tidak tahu. Masak seorang lulusan Sastra Inggris harus tahu berapa jumlah karya Shakespeare?" jawab saya yang memang sangat tidak tertarik pada karya-karya Shakespeare yang berkutat soal tragedi dan komedi serta sonet.
"Sebutkan salah satu puisi William Wordsworth!" pertanyaan lain keluar dari bibir tebal bapak yang agak tambun.

Bloody hell!! Saya tidak hapal karya William Wordsworth. Coba saya ditanya pusisi karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, atau Ezra Pound.

"Maaf, saya tidak tahu, Pak," jawab saya sambil tersenyum kecut.

Senyum sinis menghiasi wajah si bapak agak tambun. "Wah, malu-maluin Pak Alif saja kamu," katanya sambil menyebut nama salah seorang dosen saya.

"Pak Alif dosen Sanata Dharma ya?" tanya bapak yang kurus pada bapak agak tambun.

"Pak Alip, dosen linguistik, Pak" kata saya. Dalam hati saya berkata,"Menyebut nama saja salah. Pak Alip, bukan Pak Alif. Lagian, beliau tidak mengajarkan puisi pada saya. Kenapa dia harus malu? Setahu saya dia orang yang super cuek."

Apakah kompetensi seorang lulusan Sastra Inggris diukur dari pengetahuan soal jumlah karya sastra Shakespeare? Apakah kapabilitas saya bisa diketahui kalau saya tahu salah satu puisi William Wordsworth? Kenapa mereka tidak menanyakan tentang Teori Paska Kolonial, Mimetik Plato, atau pendekatan Formalistik? Apakah lebih baik tahu soal jumlah dan judul namun tak mengetahui pemaknaan atas karya-karya sastra tersebut?
Seorang mahasiswa Sastra Inggris juga punya spesialisasi selayaknya mahasiswa Ekonomi. Mahasiswa Ekonomi Manajemen belum tentu tahu tentang Ekonomi Akuntansi. Vice Versa. Kebetulan, saya mengkhususkan diri di narasi Kiri para sastrawan-sastrawati. Maxim Gorki, George Orwell, John Steinbeck dan Pramoedya lebih akrab di hati daripada Shakespeare ataupun Wordsworth.

Dan sore harinya, saya datang lagi ke kantor untuk melihat pengumuman. Saya sudah tahu hasilnya sebenarnya, cuma memastikan. Ya, saya tidak masuk. Kecewa memang, namun tak apalah. Saya masih muda. Masih banyak kesempatan di depan mata. Toh, saya juga agak merasa tak tega bekerja di sebuah media massa berkaliber nasional yang menilai kapabilitas seorang lulusan Sastra Inggris lewat pengetahuan soal karya Shakespeare dan Wordsworth daripada Teori Paska Kolonial atau Mimetik Plato. Meskipun saya merasa saya tidak terlalu bagus ketika tes wawancara.

Ingin rasanya saya bertanya balik pada mereka, berapa jumlah tulisan Tirto Adi Suryo? Berapa jumlah tulisan Mas Marco?