Selasa, 27 April 2010

Salah Kaprah Penggunaan Kata "Anarkis"


Baru- baru ini kita sering disuguhi pemberitaan tentang kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia ataupun mancanegara. Media cetak maupun media elektronik berlomba-lomba menciptakan tajuk berita yang menarik minat para pembaca atau pemirsa. Kerusuhan di Thailand, kerusuhan antar suporter sepakbola, hingga kerusuhan seputar sengketa makam Mbah Priok di Jakarta Utara menjadi tema aktual bagi media. Di dalam penulisan tajuk berita tentang kerusuhan itu, acap kita menjumpai kata “anarkis”. Semisal, “Tindakan anarkis Bonek….”, “Kaos merah bertindak anarkis…”, “Bentrok berujung anarkis…”, dan sebagainya. Kata anarkis digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang rusuh, kacau, dan tak beraturan.

Penggunaan kata “anarkis” ini menyalahi makna sebenarnya seperti yang terkandung di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI, “anarkis” bertindak sebagai kata benda yang berarti 1 penganjur (penganut) paham anarkisme; 2 orang yg melakukan tindakan anarki. Oleh karena itu, makna asli kata “anarkis” telah tergeser ketika digunakan di dalam tajuk berita yang dibuat oleh media massa di atas. Ambil contoh, kita aplikasikan pada salah satu tajuk berita di media massa nasional versi online, “Polisi Minta Buruh Tak Anarkis”. Di sini, sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, penggunaan kata “anarkis” sangat tidak tepat. Asumsi saya, “anarkis” di dalam tajuk berita tersebut lebih bertindak sebagai kata sifat daripada kata benda. Akan lebih tepat apabila tajuk berita itu diubah menjadi “Polisi Minta Buruh Tidak Menjadi Anarkis”. Dengan pengubahan itu, maka makna “anarkis” sebagai kata benda, orang yang melakukan tindakan anarki, akan terpenuhi. Apabila penulis tajuk berita tetap ingin menggunakan kata sifat, akan lebih baik apabila tajuk berita tersebut diubah menjadi “Polisi Minta Buruh Tak Anarkistis”. Menurut KBBI, “anarkistis” bertindak sebagai kata sifat yang berarti bersifat anarki. Namun demikian, apabila melihat lebih ke dalam apa arti sebenarnya “anarkis” dan “anarkisme” itu, kekeliruan pemaknaan kata anarkis dan anarkisme menjadi semakin nyata.

Terminologi “anarkis” berasal dari bahasa Yunani, Anarchos yang berarti “tanpa penguasa”. Proudhon, seorang filsuf Perancis menjadi orang yang pertama kali menyebut dirinya sebagai Anarkis. Anarkis dan anarkisme sangat erat kaitannya dengan ideologi yang diusung oleh Mikhail Bakunin, seorang filsuf revolusioner berkebangsaan Rusia. Dia menentang keras kediktatoran proletariat milik pengganut Marxisme. Seseorang tak sepatutnya berkuasa atas orang lain. Hal itulah yang mendasari teori anarkisme. Kaum anarkis berpendapat bahwa manusia harus melawan sistem yang membuat mereka menjadi inferior dan oleh karena itu dikuasai. Cenderung berbau utopis memang, namun kaum anarkis percaya bahwa kehidupan lebih baik akan tercipta apabila tidak ada sistem institusi yang bertabiat menguasai masyarakat. Kehadiran Negara sebagai sebuah institusi juga ditolak oleh kaum anarkis. Penolakan atas institusi yang mempunyai otoritas termasuk Negara membuat kaum anarkis menjadi musuh bagi hukum. Kapitalisme menjadi musuh besar bagi kaum anarkis. Dengan berdirinya suatu Negara, kapitalisme akan lebih mudah menyeruak masuk dan menghantui masyarakat di dalam Negara tersebut. Oleh karena itu, kaum anarkis menolak keras kehadiran suatu Negara. Pada intinya, Anarkisme muncul sebagai tandingan arogansi otoriter sebuah institusi, termasuk Negara yang cenderung menindas.

Pada tahun 1880an, kaum anarkis cenderung menggunakan kekerasan dalam melawan sistem yang dibuat oleh institusi. Kekerasan dianggap menjadi sebuah cara yang efektif untuk melawan represi yang dilancarkan oleh institusi. Propaganda of the Deed, slogan yang diluncurkan pada tahun 1880an menjadi tonggak penggunaan kekerasan oleh kaum anarkis secara luas. Paul Brousse, seorang anarkis berkebangsaan Perancis mempopulerkan istilah itu lewat artikel yang ditulisnya di Bulletin of the Jura Federation pada bulan Agustus 1877. Lewat slogan tersebut, kekerasan dilegalkan agar mencapai tujuan utama, yaitu menggulingkan institusi. Presiden Amerika Serikat William McKinley menjadi korban pembunuhan oleh seorang anarkis bernama Leon Czolgosz pada tahun 1901. Leon Czolgosz adalah seorang anarkis yang terinspirasi oleh pidato Emma Goldman, anarkis penganjur kekerasan yang akhirnya berubah setelah pindah ke Rusia. Propaganda of the Deed praktis mulai ditinggalkan setelah Perang Dunia I. Namun demikian, masih ada banyak kaum anarkis yang menganggap slogan itu harus dilaksanakan hingga sekarang.

Walaupun anarkisme tak bisa dilepaskan dari perbuatan yang cenderung bersifat rusuh, namun ada beberapa penganut anarkis yang menolak kekerasan. Mereka sering disebut sebagai Anarcho-Pacifist. Tokoh-tokohnya anatara lain, Henry David Thoreau dan Leo Tolstoy. Mereka menolak keras penggunaan kekerasan karena menurut mereka, definisi anarkisme adalah penolakan terhadap penggunaan paksaan. Jika menggunakan kekerasan, maka otomatis paksaan juga dipergunakan. Perkembangan kaum Anarcho-Pacifist menjadi kian gencar setelah Perang Dunia I. Untuk mewujudkan tujuan, mereka berpendapat bahwa mogok massal menjadi cara yang lebih efektif daripada penggunaan kekerasan. Sebagai contoh, kaum petani di Rusia yang menolak kekaisaran pada waktu itu lewat diet vegetarian super ketat yang mereka lakukan.

Media yang menggunakan kata “anarkis” untuk merujuk pada perbuatan yang mengandung unsur kekerasan mungkin terpengaruh oleh stigma bahwa anarkisme adalah kekerasan, vice versa. Namun penggunaan kata “anarkis” harus sesuai dengan konteks karena anarkisme tidak melulu berkutat dengan kekerasan atau penghancuran. Bukan mustahil, konotasi negatif “anarkis” yang terus berkembang di masyarakat lewat media akan terus-terusan menyakiti hati kaum anarkis yang sebenarnya.

gambar: lastfreevoice.wordpress.com