Minggu, 21 November 2010

sUbKULtuR

karena subkultur di Indonesia tidak lahir dari sejarah sebuah kesadaran kelas terhadap sistem yang menindas mereka. Mereka cuma meniru apa yang menurut mereka cukup merepresentasikan keeksisan mereka.

Menurut saya, segala bentuk aksi dan busana yang ditampilkan oleh masyarakat subkultur Indonesia tak lebih dari usaha untuk mengeksiskan diri. Tentunya dengan cara mereka sendiri. Hal yang sama terjadi pada fenomena alay, mereka ingin tampil menyeruak.

Bahkan, menurut saya lagi, band2 yang gloomy, kalem, dan low-profile (dalam artian tak mau diekspos) pun dengan sendirinya akan menjadi eksis karena mereka dikenal gloomy, kalem, dan low-profile.

Subkultur imitasi Indonesia (Punk) pernah dibahas di Kompas kalau tidak salah tahun 2005, saya lupa. Indonesia emang susah sih. Liat aja Fast Food yang di Amrik jadi makanan cepat saji yang muncul karena orang2 butuh makanan yang cepat disantap oleh karena kesibukan tingkat tinggi mereka, di Indonesia jadi makanan mewah yang tak sembarang orang bisa menyantapnya. Di Amrik, Fast Food itu makanan yang murah sekaleeee...kelas pekerja yang biasa memakannya...

Kembali ke masyarakat subkultur Indonesia. Saya kira Indonesia emang baru bisa mencapai tahap meniru. Karakter masyarakatnya berbeda dengan masyarakat subkultur asli dari Inggris/Amerika. Kearifan lokal dianggap terlalu kolot dan tidak keren. Orang2 memilih beli sepatu Macbeth untuk mengeksiskan ke-Vegan-an mereka. Atau orang2 memilih pakai sepatu Vans karena mereka adalah Skater. Dan parahnya, Indonesia adalah surganya produk KW!! Orang2 kelas menengah ke bawah yang tak mampu dan tak mau beli produk ori lebih memilih produk KW daripada membeli produk lokal. Ada 2 macam produsen lokal. Produsen yang tau subkultur dan produsen yang buta subkultur.Namun, saya lihat produk lokal (so called distro products) dari produsen penyuka subkultur emang terlampau mahal juga bagi remaja lokal kita.

Think local act global kali ya...whatever lah...tapi seyogyanya sih think about local, fuck the global! berpikir demi masyarakat setempat, rusaklah tatanan global dengan membawa kawan2 lokal. Mana mampu anak pekerja bangunan penyuka Youth of Today beli celana seharga 400ribu? mungkin karena ekonomi juga sih, sebagai negara dunia ke-3, ekonomi kita kalah jauh dari negara2 maju di sana. Kurs mata uang yang paling menentukan. Kalo menurut saya sih, di Indonesia dijual sepantasnya dan selayaknya, di luar sono disesuain ama kantong mereka yang tebel karena posisi mata uang mereka yang emang lebih tinggi dari kita.

Dan yang amat parah lagi, produk2 lokal lain emang murah, tapi kualitasnya NOL BESAR...ni sebenernya yang harus digarap. Produsen lokal ini ga kenal subkultur, hanya kenal cara mendapatkan uang banyak...

Kearifan lokal Indonesia terlalu lembut untuk dijadikan alat melawan tatanan sosial kita. Kita kan terkenal sebagai bangsa yang ramah...ayo, budaya asing silakan masuk, kita terima semuanya....hahahaha
Keren mana? Pake Converse Chuck Taylor KW 150ribu atau pakai selop jawa 25ribu?hehehehe....kalo pake selop buat hang out bisa dikatain ndeso...hahaha

Jumat, 15 Oktober 2010

Malam*

Semerbak harummu tak bisa kubau
Entah wangikah kamu
Tapi kau indah
Benar hilangkan gerah

Waktu slalu bawamu padaku
Temani ku slalu
Lepaskan lelah
Sejenak reda amarah

O cahayamu sejukkan hati
O wajahmu buatku bermandi girang

Aku mau waktu ini tiada pernah berlalu
Aku mau waktu ini terpatri selamanya untukku

Seandainya kau tahu betapa cemas hatiku
Bisa esok bertemu?
Aku menanti
Terus tanpa berhenti

O kapankah kita segera bertemu?
O cepatlah terik ini cepatlah menjadi debu

Biar tak utuh tak apa
Separuh cukup buatku
Sabit pun tak mengapa

O bulanku
bunuh saja mentari temanmu
o bulanku
temani malamku slalu

o bulanku

*lirik

Minggu, 03 Oktober 2010

Jalan itu sudah dipersiapkan bagimu

Malam ini
Bulan penuh
Bersinar memancarkan kuning cahaya
Awan sedikit malu menemani

Kau berdiri
Sendiri
Mengais-ais jati diri

Tiga jalan terbuka lebar di depan
Satu beraspal biru di kiri-kanan pohon hijau berdiri
Di sebelahnya jalan berkarpet merah mahal
Gersang tanah bukannya tak mau pergi darinya
Yang terakhir
Jalan penuh kerikil
Becek karena hujan semalam
Tak ada aspal tak juga karpet mahal

Sinar bulan menerangi ketiganya
Seakan ibu teladan yang tak mau berpilih kasih
Setiap jalan dikiriminya secercah kuning

Mau kemana kau?
Jalan itu sudah dipersiapkan bagimu
Buku petunjuk pastinya sudah kau dapatkan
Kata-kata penuntun pun pasti tak mungkin kau lewatkan

Hari ini memang berat
Kemarin pun juga tak ringan
Esok pastinya tak semulus yang kau bayangkan

Jalan itu sudah dipersiapkan bagimu
Tak peduli kau mengingkari
Atau kau tak meyakini

O jalan itu sudah siap
Cahaya kuning bulan sudah meruap

Jangan hanya merantai kakimu di persimpangan jalan
Berlarilah temukan apa yang mereka tak bisa dapatkan

Bukalah jalur baru
Satukanlah ketiga jalan itu

Bakarlah buku!
Lupakanlah kata-kata mereka itu!

Minggu, 26 September 2010

Musik dan Sastra

Siapa bilang sastra dan musik, khususnya musik pinggiran, tak bisa berjalan berdampingan? Musik pinggiran di sini berada di dalam konteks musik yang bertitel sidestream yang menyuarakan perlawanan pada musik populer yang lebih mainstream. Intinya, musik yang dianggap terlalu bising, aneh, absurd, atau apapun itu sehingga membuatnya agak sulit (atau sangat sulit) diterima masyarakat umum. Namun maaf, bukan musik tradisional yang dimaksud. Keterbatasan pengetahuan menjegal niat hati berargumentasi. Kita akan melihat sebuah fakta yang membinarkan mata sebab ternyata banyak musisi yang dipengaruhi oleh karya sastra di dalam musik mereka.

Menengok ke belakang, kedekatan dua genre seni ini tercatat dalam sejarah perjalanan karir Pink Floyd yang menyelipkan beberapa karakter dalam novel Animal Farm karya George Orwell ke dalam album Animals (1977). Tiga karakter yaitu babi, anjing, dan domba diculik dari novel fenomenal itu untuk kemudian diberi kehormatan untuk menyuarakan kritik terhadap keadaan masyarakat Inggris yang kala itu didominasi oleh Margaret Thatcher dan Mary Whitehouse. Bahkan sebelum terciptanya Animals, Pink Floyd telah terlebih dahulu mengadopsi satu judul bab dari The Wind in the Willows karya Kenneth Grahame untuk album mereka The Piper at the Gates of Dawn tahun 1967.

Di tempat lain, Led Zeppelin lewat hentakan musik metal nan cadas, secara eksplisit menyebutkan dua nama dalam The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien yaitu Mordor dan Gollum melalui Ramble On yang dimuat di album Led Zeppelin II pada tahun 1969. Demikian bunyinya:

Twas in the darkest depths of Mordor I met a girl so fair, but Gollum, and the evil one crept up and slipped away with her

Sementara itu, lagu Killing an Arab yang disenandungkan oleh The Cure ternyata diilhami oleh The Stranger karya peraih Nobel Sastra tahun 1957, Albert Camus. Tuxedomoon, sebuah band New Wave/Post Punk dari Inggris bahkan menjadikan The Stranger sebagai judul lagu karena mereka sangat terinspirasi oleh novel ini. Ketika Tuxedomoon membawakan lagu ini, mereka seakan membacakan narasi sebuah novel lewat musik.

Di negeri sendiri, Homicide menjadi tokoh utamanya. Lewat serangan rap hip hop radikal ala The Last Poets dan Public Enemy, mereka cerdas menyuarakan kritik dengan topik politik, despotisme, hingga fundamentalisme agama. Band asal Bandung yang kini menjadi almarhum ini menyisipkan metafora mitos sisipus di dalam salah satu lagunya, Prosa Tanpa Tuhan. Ucok sang ujung tombak yang punya nama keren Morgue Vanguard memang mempunyai hobi membaca. Novel fiksi hingga interpretasi ideologi banyak dikunyah oleh Ucok yang juga gemar menyuarakan tantangan pada isu Neoliberalisme. Tak heran, metafora-metafora dan karakter-karakter yang terdapat di dalamnya digunakan oleh Homicide untuk menyampaikan pesan pada para penikmat setia mereka. Ketahuilah, Senjakala Berhala yang ada di dalam album The Nekrophone Dayz bila di dalam bahasa Inggris kurang lebih bemakna The Twilight of the Idols, dan itu adalah sebuah judul buku karya Nietzsche yang ditulis pada tahun 1888! Yang lebih kentara, Homicide secara gamblang menggambarkan kedekatan mereka dengan karya sastra melalui musikalisasi puisi Sajak Suara karya Wiji Thukul, seorang pujangga asal kota Solo yang dihilangkan oleh rezim Orba akibat suara vokalnya yang menentang pemerintahan otoriter kala itu. Satu lagi, dengarlah Barisan Nisan. Sebuah sajak yang diberi nafas nada dan dibawakan dengan suasana mencekam seakan-akan tengah mengumandangkan orasi penuh kemarahan.

Efek Rumah Kaca yang kemunculannya dianggap menodai banalitas musik pop Indonesia lewat lirik kritis sarat nuansa sastra yang mengganggu kestabilitasan lirik roman picisan band-band pop mainstream mungkin menjadi salah satu band Indonesia yang sangat sastra. Cholil sang gitaris yang juga merangkap vokalis adalah seorang penggemar berat karya-karya Iwan Simatupang. Kebetulan, dia juga yang menjadi penulis lirik lagu-lagu Efek Rumah Kaca. Di salah satu wawancara dengan media online, Cholil menyebutkan bahwa Iwan Simatupang dan Putut EA mempengaruhi proses penulisan lirik-lirik lagu Efek Rumah Kaca.

Selain beberapa band di atas, mungkin masih ada banyak lagi band-band pengalun musik pinggiran yang dipengaruhi karya sastra dalam musik mereka. Entah itu di Eropa, Afrika, atau negara-negara di Pasifik sana, pasti ada kita temui karya sastra yang berdamai dengan seni musik pinggiran. Sastra dan musik, dua anak seni yang memang indah untuk dinikmati.

Tabik

Minggu, 05 September 2010

Putu Oka Sukanta, Penyair Dunia, dan Kanonisasi Sastra Indonesia

Putu Oka Sukanta, Penyair Dunia, dan Kanonisasi Sastra Indonesia

oleh
Asep Sambodja


Dalam buku Voices of Conscience: Poetry from Oppression yang disunting Hume Cronyn, Richard McKane, dan Stephen Watts (1995), dihadirkan 150 penyair dunia yang pernah mengalami represi ataupun dikucilkan di negaranya masing-masing. Di antara penyair dunia yang terdapat dalam buku itu adalah Bertold Brecht, Paul Celan, Anna Akhmatova, Adonis, Wole Soyinka, Ho Chi Minh, Reza Baraheni, Pablo Neruda, Usman Awang, Oscar Wilde, dan Putu Oka Sukanta—satu-satunya penyair yang mewakili Indonesia. Dalam buku tersebut dimuat dua puisi Putu Oka Sukanta, yakni “Time” dan “Walking Along the Path”. Berikut saya kutip bagian pertama dari puisinya yang berjudul “Time”.


time despatched a whip
made from the teeth of a stingray’s tail
a cutting edge, supple and strong
time took hold of it
and cracked the air with it
like a blacksmith pounding
a hammer into steel
it gagged my lips
and wiped the dripping blood
from the streams which creased my skin
where had the human values gone
the prison guard who lifted the broken body
shed tears
under the dark umbrella sprinkled with lights
ripped by a crescent moon rising from the grave
i hid behind the shadows
inside my own head
at that time
the time
when human life was as cheap as a gutter rat’s
hunted down by hungry dogs

(dari “Waktu” Putu Oka Sukanta, diterjemahkan Keith Foulcher)



Putu Oka Sukanta mengekspresikan perasaan ketertindasannya selama dipenjara oleh Rezim Orde Baru selama sepuluh tahun (1966-1976). Ia merasakan diperlakukan tidak adil oleh penguasa Orde Baru karena ia ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Ia bersama ratusan ribu orang yang berideologi komunis ataupun yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) diperlakukan secara tidak manusiawi oleh Rezim Soeharto. Pembantaian massal yang dilakukan Soeharto dan algojo-algojo Orde Baru mengakibatkan sedikitnya 500 ribu orang meninggal. Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo pernah mengklaim telah membunuh tiga juta orang PKI. Namun, hingga saat ini tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas pembantaian massal itu.

Saya menilai puisi Putu Oka Sukanta dalam Voice of Conscience itu merupakan refleksi atas peristiwa yang dialaminya ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan. Penyiksaan yang dialaminya di dalam penjara Orde Baru diungkapkannya dengan menggunakan metafor waktu. Dalam adegan penganiayaan tanpa perikemanusiaan itu semuanya bisa berubah, kecuali waktu. Dalam situasi semacam itu, seorang terdakwa atau terperiksa tidak banyak memiliki pilihan. Jika dia mengikuti kemauan pemeriksa (interogator), maka dia akan dijanjikan hidup yang lebih baik, yang juga berarti mengkhianati kawan-kawan perjuangannya sendiri. Jika dia tetap bungkam dan tidak mengikuti kemauan interogator dengan alasan memegang teguh idealisme dan keyakinan hidup, maka yang akan ditemuinya adalah siksaan demi siksaan yang tidak jelas kapan akan berakhir. Putu Oka Sukanta termasuk orang yang memegang teguh keyakinannya, dan ia pun mengalami siksaan cambukan ekor pari. Namun, kata-kata yang terungkap dari puisi “Waktu” (Time) terasa lebih dalam, lebih kaya makna. Biasanya orang yang menderita dalam penjara akan menuliskan kepahitannya dan siksaan yang dideritanya dalam penjara dengan amarah yang brutal. Tapi, dalam puisi Putu Oka Sukanta tampak bahwa ia sudah berdamai dengan waktu yang terus berjalan, apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini.



Dalam buku This Prison Where I Live yang disunting Siobhan Dowd (1996), puisi Putu Oka Sukanta, “In My Cell” juga diterbitkan bersama karya para sastrawan dunia seperti Pramoedya Ananta Toer, Alexander Solzhenitsyn, Wole Soyinka, Reza Baraheni, Vaclav Havel, Irina Ratushinskaya, Kim Dae-Jung, Nien Cheng, dan Milovan Djilas. Buku tersebut diterbitkan oleh asosiasi penulis internasional PEN (Poets, Playwrights, Essayists, Editors, Novelists). Sastrawan Indonesia diwakili oleh Pramoedya Ananta Toer dan Putu Oka Sukanta. Berikut saya kutip puisi “In My Cell”.

In My Cell

I’m like water
settling down after a shake
letting the foam escape
allowing the sediment to form
filtering out the impurities
on a clear bright morning
I’m like water
settling down after a shake
look within
at the clarity ringed by mist
the figure appearing in its wholeness
it’s no longer just anyone at all
I’m like water
settling down after a shake
the darkness withdraws
the light shines outward:
no longer just for anyone at all

(dari “Dalam Sel” Putu Oka Sukanta, terjemahan Keith Foulcher)

Dalam puisi “In My Cell”, Putu Oka Sukanta menggunakan metafor air. Ia menyamakan dirinya dengan air. Ketika perasaannya tidak menentu, apakah karena perasaan jengkel terhadap penguasa Orde Baru atau perasaan yang tidak menentu karena tidak berdaya terhadap congkaknya kekuasaan Orde Baru, Putu Oka menganalogikan dirinya seperti air keruh. Ia ingin mengendalikan emosi atau perasaannya itu dengan mengendapkan ampas, mengendapkan amarah, sehingga hatinya menjadi jernih dan bening kembali. Saya menilai puisi ini sangat impresif dan sublim, ia berusaha menghilangkan diri untuk tidak menjadi siapa-siapa agar bisa survive dari penganiayaan yang tak berperikemanusiaan semasa dalam penjara Orde Baru (Sambodja, 2010: 68-69).

Kenapa hanya karya Putu Oka Sukanta dan Pramoedya Ananta Toer yang mendapat perhatian PEN Internasional? Kedua buku di atas terbit pada 1995 dan 1996, saat Soeharto masih berkuasa di Indonesia. Sebenarnya cukup banyak sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terus menulis di zaman Orba. Hanya saja mereka tidak bisa secara leluasa mempublikasikan karya-karyanya. Di antara sastrawan Lekra yang terus menulis di zaman Orba adalah Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Hersri Setiawan, S. Anantaguna, dan beberapa nama lagi. Karya-karya mereka baru bisa muncul setelah Soeharto lengser dari kekuasaannya selama 32 tahun sejak ia mendapat secarik kertas Supersemar pada 11 Maret 1966.

Putu Oka Sukanta adalah satu pengecualian. Pada 1982, ia sudah menerbitkan kumpulan puisi Selat Bali dan didistribusikan ke toko-toko buku. Dalam sebuah pembicaraan akrab di Taman Sringanis, Cipaku, Bogor, Putu Oka Sukanta mengatakan bahwa buku Selat Bali sempat di-display di Toko Buku Gunung Agung. Namun, satu hari kemudian buku-buku itu sudah bersih dari toko buku. Tentu saja bukan karena buku itu laris di pasar, melainkan karena “diamankan” Rezim Orde Baru. Dalam buku itu, Joebaar Ajoeb memberikan kata pengantar yang ditulis dengan kalimat yang pendek-pendek, yang mencerminkan penerbitan buku ini dibuat dalam situasi yang belum nyaman sama sekali. Joebaar Ajoeb menulis demikian:

Orang gila, biasa bicara sendiri. Padanya tidak ada masalah seni bertanggung jawab. Ia tidak pedulian. Ia fasik.Tapi, penyair bukan. Sekali lagi bukan orang gila. Dan bukan pula ia manusia luar biasa. Maka itu ia bukan monyet. Ia manusia. Biasa. Biasa saja. Hanya ia peka. Ia tahu pahamkan arti kata dan hidup. Ia mahfum. Kalau ia berkata. Ia berkata pada manusia. Pada cakrawala kebudayaan dan peradaban. Dan sebagaimana juga orang biasa, penyair pandai berhitung. Membuat perhitungan melalui angka-angka bahasa. Puisi dalam hal ini.

Selat Bali Putu Oka ini ada mengatakan sesuatu. Tentang pengalaman batin pikiran dan hatinya. Tentang alur sejarah yang ia lalui.

(Sukanta, 1982: vii)

Apa yang dikatakan Joebaar Ajoeb dengan terburu-buru itu ada benarnya. Ia ingin mengatakan bahwa melalui Selat Bali Putu Oka Sukanta ingin mengatakan pengalaman hidupnya yang telah ia lalui, yang telah menjadi catatan sejarah. Barangkali sejarah yang tengah dicatat Putu Oka Sukanta sangat berbeda dan bertolak belakang dengan sejarah resmi yang dibuat oleh cendekiawan Orde Baru. Perspektif yang digunakan Putu Oka Sukanta adalah perspektif korban ketidakadilan Rezim Soeharto. Puisi pertama yang ditulisnya dalam buku ini, “Tanah Air Hanya Satu” meninggalkan perenungan bagi pembaca bahwa sejatinya kita sebagai bangsa Indonesia berada pada tanah air yang sama. Namun, kenapa Putu Oka Sukanta dan orang-orang Lekra, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), bahkan PKI dianggap sebagai the others? Puisi ini menggugat kepada penguasa kenapa ia diperlakukan sebagai orang yang berbeda.



Tanah Air Hanya Satu


tanah air hanya satu
di sini atau di luar situ
tak terpisah ruang dan waktu
kulihat bulan dari lobang kunci
kau lihat bulan di tepi pantai
bulan, lihat bulan itu juga pada tanah air
hanya satu
pada ruang berbeda
satu waktu
jantung
berdetak
di dada
kita
adakah
suaranya berbeda?

Karenanya sungguh mengherankan ketika majalah Horison dan The Ford Foundation menerbitkan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi pada 2002, nama Putu Oka Sukanta lenyap dari buku yang diperuntukkan bagi siswa-siswa sekolah menengah di Indonesia itu. Tidak hanya nama Putu Oka Sukanta saja yang hilang, nama-nama penyair Lekra lainnya seperti Agam Wispi, Hr. Bandaharo, S. Anantaguna, Amarzan Ismail Hamid, Hersri Setiawan, dan Sutikno W.S. juga lenyap dari khazanah sastra Indonesia. Jika kita telusuri lebih dalam, ternyata hilangnya nama penyair-penyair Lekra dari “Kitab Puisi” itu karena adanya perbedaan ideologi antara editor buku itu dengan penyair-penyair Lekra. Adapun editor buku Horison Sastra Indonesia adalah Taufiq Ismail (ketua), Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar. Apakah Putu Oka Sukanta dan kawan-kawan Lekra tidak memiliki “tanah air” yang sama dengan para editor—yang ketuanya dari kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu)—itu? Saut Situmorang (2009) mengatakan bahwa eksistensi sebuah teks sastra sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar teks baik dalam publikasi maupun resepsi atasnya.

Bagaimana Lekra dihilangkan dari sejarah sastra Indonesia? Apa yang bisa dibaca dari pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008) pada 23 Desember 2009? Bukankah itu berarti bahwa Rezim Soesilo Bambang Yudhoyono juga mengukuhkan tangan besi Orde Baru? Masih adakah kebebasan berekspresi (freedom of expression) jika pelarangan buku masih terjadi di era reformasi ini? Pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku dan Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa (2008) memperlihatkan bahwa penguasa tidak bisa melihat kenyataan pada 1965-1966 dari perspektif lain. Pelarangan buku ini sekaligus memperlihatkan bahwa Lekra belum mendapat tempat di “tanah air” yang dibayangkan Putu Oka Sukanta.

Saya berasumsi bahwa akar persoalan dihilangkannya Lekra dari sejarah sastra Indonesia dan dilarangnya buku Lekra Tak Membakar Buku adalah belum dicabutnya Tap MPRS No. XXV/1966 yang menjadikan PKI dan underbow-nya sebagai partai terlarang. Meskipun Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengusulkan pencabutan Tap MPRS itu pada 2000, namun wakil rakyat di parlemen tidak menggubrisnya. Belum dicabutnya Tap MPRS ini mengakibatkan kita sebagai bangsa yang “bertanah air satu” akan terus berputar-putar pada masalah ini dari tahun ke tahun tanpa ada jalan keluar. Ketika reformasi mulai bergulir, usulan agar dilakukan rekonsiliasi antara negara dengan korban tragedi 1965-1966 dilakukan. Namun, rekonsiliasi itu sendiri hanya bisa terjadi jika posisi kedua belah pihak sejajar. Menurut Pramoedya Ananta Toer, rekonsiliasi baru bisa dilakukan setelah proses hukum terhadap korban tragedi 1965-1966 dilakukan (Sambodja, 2010).

Politik kanonisasi sastra di manapun akan menimbulkan persoalan. Kanonisasi tidak bisa memuaskan semua pihak yang berbeda agama, ideologi, golongan, komunitas, aliran, pemikiran, dan sebagainya. Meskipun demikian, upaya yang “lebih dewasa” seperti yang dilakukan Tim Redaksi Amanah Lontar ketika menerbitkan Antologi Drama Indonesia 1859-2000 (2006)—yang menghadirkan naskah drama serepresentatif mungkin—perlu dilanjutkan. Kalaupun dalam penerbitan antologi drama itu timbul masalah mengenai royalti ekonomi (bukan royalti moral), maka penyebab munculnya masalah itu, yakni keteledoran dalam hal administrasi, harus dihindarkan.

Buku Historiografi Sastra Indonesia 1960-an (2010) yang saya tulis sebenarnya bermaksud untuk memberi ruang yang sama kepada seluruh sastrawan Indonesia, baik dari kelompok Manikebu, Lekra, Lesbumi, maupun kelompok lainnya. Dengan diberinya ruang kepada sastrawan Lekra dalam sejarah sastra Indonesia, diharapkan tidak ada diskriminasi terhadap kelompok manapun. Saya sebagai generasi muda membayangkan masa depan sastra Indonesia yang lebih sehat, yang tidak lagi ada dendam sejarah. Apa yang telah terjadi pada masa lalu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi generasi muda sekarang ini dan generasi yang akan datang. Berkaitan dengan hal itu, saya berharap agar Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tidak melakukan pelarangan buku lagi, dan mencabut pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku beserta buku-buku lainnya. Pelarangan buku mengakibatkan kita tidak bisa secara utuh membaca sejarah kita sendiri.

Dalam kesempatan ini, saya ingin menjelaskan bahwa setiap karya sastra merupakan hasil perenungan dan pemikiran sastrawannya. Dengan demikian, setiap karya sastra merupakan aset budaya yang sangat berharga bagi sebuah bangsa dan negara. Demikian pula dengan karya-karya para sastrawan Lekra yang ditulis pada rentang waktu 1950-2010, karena semuanya itu merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya.


telah penat aku menyaksikan pembunuhan 32 tahun
tapi pasphotoku masih juga diganti kepala kambing hitam
penyair membakukannya dalam perjalanan
katakata, titik dan koma mewariskan kegelisahan
kembali menjadi manusia
pucuk bambu menari dalam topan

(“Perjalanan Penyair” Putu Oka Sukanta).

***

Bibliografi

Cronyn, Hume, Richard McKane, dan Stephen Watts (ed.). 1995. Voices of Consciences: Poetry from Oppression. Manchester: Iron Press.

Dowd, Siobhan (ed.). 1996. This Prison Where I Live. London: Cassell.

Ismail, Taufiq dkk. (ed.). 2002. Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi. Jakarta: Horison.

Sambodja, Asep. 2010. Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Jakarta: Bukupop.

Situmorang, Saut. 2009. Politik Sastra. Yogyakarta: [Sic].

Sukanta, Putu Oka. 1982. Selat Bali. Jakarta: Inkultra.

_____. 1999. Perjalanan Penyair: Sajak-sajak Kegelisahan Hidup. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____. 2000. Tembang Jalak Bali: Puisi Tertindas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rabu, 01 September 2010

Tahanan




Seorang tahanan tak bisa melihat dunia selama tembok abu-abu yang retak dan pecah di sana sini tetap berdiri tegak, masih menghalangi kedua matanya.


Seorang tahanan tak bisa melihat dunia selama tembok abu-abu yang retak dan pecah di sana sini namun tetap berdiri tegak itu mempunyai kawat berduri di atasnya.


Seorang tahanan tak bisa melihat dunia selama ia temukan pekatnya asap yang semakin hari semakin mewarnai langit yang dulunya putih dan cerah kian, mengaburkan pandangannya.


Seorang tahanan tak bisa melihat dunia selama sipir masih memegang kunci sel yang memisahkan ia dari kehidupan kupu-kupu yang terus bermetamorfosis tanpa menghiraukan cacing yang populasinya semakin habis karena tak dikaruniai mata.


Seorang tahanan tak bisa melihat dunia kendati ia mengemis, berteriak meronta, atau bahkan mengancam membunuh diri selama sipir menganggapnya gurauan belaka.


Seorang tahanan akan selamanya menjadi tahanan yang tak bisa melihat dunia apabila sang hakim yang mempunyai kuasa terus mengetok palu memberi tanda bahwa hukuman akan menjadi lebih lama.


Seorang tahanan hanya akan bisa menikmati dunia apabila ia menggunakan segala cara, membuat lubang di dinding penjara walau dengan tangan kosong semata tak peduli perih yang dirasa.

Kamis, 26 Agustus 2010

Dirgahayu, Mas

Mas..
Hari ini, bila kau masih hidup, genap 47 tahun sudah kau mengarungi hidup berderita
Mungkin tak lagi berpartai
Tapi pasti masih menjelajahi bumi Indonesia dari satu kampung ke kampung lain
Bersenjatakan kertas dan pena
Menyuarakan penderitaan kaum jelata
Kulitmu yang mengkusam tak jadi soal
Selama suara sampai ke telinga mereka yang semakin lama semakin pejal

Mas...
Aku tak sempat mengenalmu
Tahu tulisanmu pun baru
Meski tempat pertama kita menghirup nafas sama
Namun nasib kita berbeda
Semangat kita juga berbeda

Mas...
Tulisanmu benar buatku merana
Merana karena kritikanmu masih bisa menggelegar di dada
Walau zaman kita berbeda
Namun keadaan kita tak begitu berbeda
Serupa bahkan bisa ku rasa
Hanya tonggak kepala yang berbeda
Di zamanmu, kejamnya lebih kentara
Bahkan kau menjadi korbannya
hilang...
Hilang dimakan tentara

Mas...
Zaman sekarang sangat gila
Sang kepala mungkin lebih bisa merasa
Namun coretan muka keluarganya menghantui negara
Bahkan di momen peringatan Indonesia, keluarganya menggila
Dia menggila pula bisa saja
Sumpah demi Tan Malaka, tulisanmu lebih pantas yang jadi cinderamata
Bukan... Bukan cinderamata
Tulisanmu lebih berharga daripada mobil dinas hasil keringat dingin mereka
Tulisanmu lebih pantas menjadi bunga tidur mereka
Tak sanggup direngkuh, namun menancap kuat di kepala
Meninggalkan peluh di malam buta
Menerobos jauh menimbulkan luka

Mas...
Zaman sekarang banyak orang sakit jiwa
Di bawah, mereka terlunta-lunta
Memeras tenaga, karena otak tak punya
Tak punya otak karena tak sekolah
Tak sekolah karena tak punya uang
Tak punya uang karena dirampok mereka yang di atasnya
Yang di tengah juga, walau sebagian saja

Mas...
Zaman sekarang banyak orang jadi amnesia
Tak ingat jasa pendiri bangsa
Mengorbankan jiwa raga demi mencapai satu kata, MERDEKA!!
Mungkin di zamanmu sudah banyak juga yang amnesia
Namun kala ini lebih luar biasa
Seakan harga diri bangsa tak ada di pandangan mata
Diinjak-injak...Dihina dan dianiaya...Tapi dibiarkan saja
Bah..!!
Mungkin kalau kau masih ada, sudah berdiri di atas podium kau berorasi
Tak hanya gedung yang konon punya rakyat di sana akan kau coreti
Mungkin akan kau hias dengan naskah dari darah muka petinggi negara ini

Mas...
Semoga semangatmu masih tetap menggelora di hati para pemuda
Para pemuda yang membaca tentunya
Sebab banyak dari mereka tak lagi bisa merasa
Sekolah hanya membentuk mereka menjadi calon pekerja
Bukan calon pekerja seperti yang ada di pikiranmu, Mas
Tapi pekerja yang benar-benar bekerja
Otak dan tenaga dipertukarkan dengan uang semata
Tetangga-tetangga hanya diberi ampas saja

Mas...
Hari ini, bila kau masih hidup, genap 47 tahun sudah kau mengarungi hidup berderita
Dirgahayu tak bisa lagi jadi milikmu
Biarkan...
Berikan saja pada semangatmu

Dirgahayu, untuk semangatmu Mas Wiji Thukul..
(26 Agustus 1963-26 Agustus 2010)

Selasa, 24 Agustus 2010

Ironi

Seorang gadis kecil bergembira ketika melihat berita di TV. Presiden memberikan potongan masa tahanan kepada terpidana kasus korupsi terkait peringatan Dirgahayu RI.
Ia berkata pada sang ibu," Bu, Bapak pasti juga dapet kan? Asik."
"Nak, Bapakmu cuma mengambil segelas beras di pasar. Yang tabah ya, Nak", jawab sang ibu sambil meneruskan mencuci pakaian tetangga.

Rabu, 18 Agustus 2010

Umpat!!

tercabik dan menjerit
mengumpat ku menerawang nasib
mempetakan kekuatan lawan bukan berarti mereka kan melawan

sendiri dalam kebersamaan
bahkan ironi peti mati menolak menyaingi

bila pungguk tetap merindukan bulan, baiklah aku tetap menanti keadilan
semoga pungguk cepat memeluk hangat si bulan

karena genangan air ini kian lama kian mencoklat, menyemu merah
berasa getir
beraroma tanah

bila pribumi saja seperti itu
alangkah bodoh diriku bila tetap saja mengarahkan meriam kata-kata ke arah CEO-CEO mancanegara
wajahnya saja yang lokal
kelakuannya internasional

aku mengerti
tak bisa ku sepihak mengadili persepsi
sebab tak enak, benar, ku bersumpah mati

argh...
aku sudah matikah? tapi kakiku masih menyentuh tanah
meskipun tanah semakin panas dan basah
panas oleh gas...basah oleh air tanah...
bagaimana bila ku mati?
Hmm..lalu kenapa ku hidup bila ku ingin mati?

tapi pribumi itu tetap tak punya hati
anak istri saja yang diberi
yang lain? tai..
corporate social responsibility? tai...!!

ah, entah...
pemimpin negeri saja bisa ditelanjangi
bagai kuda tanpa sembrani
ada kusir yang mengatur ia pergi

baiklah...
sekarang aku pura-pura mengerti
lebih baik menjadi api yang menyala di puncak bersalju
daripada menjadi air yang selamanya di hulu...!!

Minggu, 01 Agustus 2010

Cerita 213

Bis kota yang mengantarku setiap pulang dari Kampung Melayu, 213 namanya, seakan menjadi panggung bergerak yang menawarkan atraksi unik. Teriakan lantang kernet yang berusaha menginformasikan tujuan bis kota menggema dari arah pintu. Kata sama yang entah sudah berapa kali ia teriakkan kepada orang-orang di jalan. Sudah ribuan sepertinya, atau ratusan ribu bahkan. Keringat sedikit ia usap pakai handuk kusam yang entah sudah berapa hari tak ia cuci. Mengingat klenik dan mitos masih menancap kuat di relung masyarakat, saya berasumsi, mungkin handuk itu jimat. Semakin kotor semakin mujarab. Berdiri di pintu, berteriak, menggenggam pecahan ribuan. Dengan raut khas dunia keras, wajah sawo matangnya, bukan hitam, menghampiri setiap penumpang untuk meminta uang. Jauh-dekat dua ribu rupiah. Kasihan juga yang jaraknya dekat. Itu dunianya setiap hari.

Si sopir, dengan mata yang selalu menatap tajam ke depan, takut bisnya dibakar massa mungkin. Seperti yang dialami kawan-kawannya yang sering mengantuk atau ugal-ugalan. Sopir bis ini saya katakan berbeda, sejauh pengalaman saya menumpang. Tidak seperti 506, tidak seperti 46. Tenang, fokus, sesekali bergurau dengan kernetnya. Jarang terdengar erangan klakson. Bahkan belum pernah makian terluncur dari mulutnya saya dengar. Rokok menyala yang diapit dua jari selalu menemani. Setiap kali ia mengeluarkan asap lewat mulutnya, rasanya saya dapat menangkap ketenangannya. Ketenangan yang mungkin sebuah ironi. Keringat yang ia peras telah ditunggu keluarga di rumahnya yang sesak mungkin. Begitu nikmat kelihatan ia merasa ketika asap keluar, menambah volume asap pekat ibukota yang kian hari kian membuat paru-paru menderita. Handuk yang ia lingkarkan di leher sesekali ia gunakan mengusap keringat di wajahnya. Handuk itu menghitam pula ternyata.

Sopir mengerem kendaraannya di Matraman. Dua orang, pemuda-pemudi, masuk ke dalam. Si pemuda bertopi, berkaos hitam bersablon tulisan "MARJINAL"(banyak nian kaos ini tersebar), menenteng ukulele tua. Si pemudi, bercelana butut yang robek, atau dirobek, di bagian dengkulnya, malu-malu tersenyum sambil menyibakkan rambut panjangnya. Mau mengamen mereka rupanya. Untuk ukuran pengamen, maaf, mereka cukup bersih. Si pemuda terlihat tampan dengan garis wajah yang tegas dan jenggot-kumis ala Che Guevara. Si pemudi pun manis, putih, tak tercermin kejam ibukota di matanya. "Selamat malam, maaf mengganggu Anda-Anda sekalian, saya Dani, bersama teman saya Anis..." ucap si pemuda mengawali dialog. Baru kali aku dengar pengamen berkenalan!! Ukulele Dani petik, mengintro sebuah lagu yang samar-samar aku pernah dengar. Ya..."Darah Juang" adalah lagu yang mereka bawakan! Anis menyanyi dengan manis. Suara serak basahnya terengar klop dengan petikan ukulele butut Dani. Terkesima aku dibuatnya. Pendemokah mereka ini juga? Dahulu, semasa masih mahasiswa, lagu ini kerap dikumandangkan ketika aksi-aksi demontrasi digelar. Lagu ini menjadi semacam pemompa semangat. Selalu merinding aku ketika mendengar lagu ini. Dan sekarang, lagu ini dibawakan dengan harmonis oleh dua pengamen, yang aku ragukan status "pengamen"nya, di sebuah bis kota. Bis kota tempat aku berada di dalamnya. Oo, senangnya. Selama ini, kebanyakan pengamen hanya membawakan lagu-lagu Top 40, atau Top 400 karena band-band seragam menjamur begitu cepatnya. Tak masuk di hati, begitu aku merasa. Entah kenapa, lagu-lagu itu tak begitu berarti, tak menancap di hati. Namun kali ini "Darah Juang". yang berkmandang. Harmonis pula. Aku senang, aku merinding, aku melepas empat ribu dengan senyum gembira.

Ketika tiba di Jalan Sudirman, seorang pemuda bersandal jepit masuk ke dalam bis kota. Ia mengenakan jumper biru muda, bercelana ketat khas pemuda ibukota. Secarik kertas ia genggam di tangannya yang berhias gelang beraneka warna. Berdiri di tengah badan bis kota, ia mengucapkan salam. Salam lintas agama ia gunakan!! Dari Assalamualaikum sampai Swastiastu keluar dari mulutnya yang berbibir hitam. Seorang pluralis ia rupanya. Atau atheis?Ah, label saja!

"Mungkin sudah bosan para penumpang sekalian. Pagi pengamen, siang pengamen, malam pengamen..." begitu ia membuka penampilannya.
"Mau apa dia?" hati bertanya.
"Sebuah monolog akan saya bawakan..." katanya mantap.

Bajigur!! Ada monolog di dalam bis kota! Sungguh sebuah pengalaman baru. Ia mulai bermonolog. Suaranya berat dan serak. Nada kemarahan kentara dari setiap kata yang terucap. Sangat marah ia tampaknya. Pertama-tama ia bercerita tentang kebodohan. Ia menganggap dirinya bodoh. Orang lain menganggap ia bodoh pula. Namun sebenarnya ia tak bodoh, ia hanya sedang menghadapi kenyataan. Ia menceritakan tentang "kenyataan yang tak bisa dipungkiri". Bahwa seorang pemuda memilih jalan menjadi perampok adalah "kenyataan yang tak bisa dipungkiri". Bahwa seorang pemudi menjadi lonte adalah "kenyataan yang tak bisa dipungkiri". Seorang bernama Supreman ia bercerita tentang. Supreman tak mau dipanggil Su, Preman adalah nama yang biasa teman-teman alamatkan kepadanya. Menjadi perampok adalah pilhan hidupnya. Titik. Full Stop. Sampun. Uwis. Cuma itu monolognya! Aseng..!! Ia berdalih, monolog sebenarnya berdurasi lebih panjang, kira-kira 100 menit, namun tak sanggup ia bawakan seluruhnya karena di bis. Ia sempat mengungkapkan jatidirinya. Pun jatidiri naskah monolog yang ia bawakan. Naskah itu dahulu pernah dipentaskan di TIM di tahun 1999. Adalah kelompok teater sebuah SMA di Bandung yang mementaskan. Ia terlibat di dalamnya. Menang pula. Entah benar entah bohong.

Sialan! Kalau durasinya lama, kenapa ia "pentaskan" di dalam bis kota? Kenapa tak ia pilih monolog yang lebih pendek? Bikin kentang saja. Kena tanggung!

Jujur, cerita awalnya sungguh menarik. Apalagi suaranya sangat khas. Penuh amarah yang seakan ditahan-tahan. Begitu tiba kata "bodoh", "lonte", dan beberapa lainnya, amarah diledakkan, keluar dengan mantap, penuh jiwa. Salut aku dibuatnya. Di tengah-tengah kebanalan pengamen yang membawakan lagu, ia hadir sebagai pemberi gagasan baru. Sebuah monolog. Hebat! Hasilnya, lima ribu hilang dari peraduan. Seandainya saya bawa karya, Remy atau Sapardi mungkin, atau Wiji bahkan, akan sukarela saya pindahrakkan-kalau ia punya rak tentunya.

Haru Biru di Negeriku

Hari ini mengharu biru
Tempatku bersandar mengkhianatiku
Hujan buatan tuk atasi kekeringan tak sanggup tandingi deras muntahan air mataku
Lagi-lagi nyawa melayang
Lagi-lagi tubuh sia-sia terbuang

Meledak!!
Hangus!!
Menangis!!
Sadis!!

Sebegitu kecilkah niatannya membantu?
Sebegitu tumpulkah nurani yang rupanya membatu?
Kelam tak disangka mengubah pagi yang cerah
Pupus harapan putra bangsa berangkat sekolah

Apa takut istanamu roboh?
Apa gentar hilang tongkat sihirmu? Batu bertuahmu?

Hari ini mengharu biru
Menyusul hari-hari lain yang tlah lalu

Kamis, 15 Juli 2010

Omong Kosong!!

Riwayat menjalan
Mangkus karena ramuan yang dinamainya proses
Proses bagi kami adalah menjelang makanan
Setelah itu baru bersebadan

Bersebadan tanpa makanan adalah menulis tanpa pikiran
Omong kosong kata mereka kosong

Abu-abu saja yang mereka bicarakan
Cium sana jlat sini
Jabat tangan, berpelukan sambil berbisik, "Duitku ojo lali yo..."
Hasil adalah uang
dan pesakitan

Pesakitan yang menjalar
Kepada mereka yang baru datang
Tapi kami tidak!
Omong kosong kata mereka kosong

Ide-ide yang dinamainya proses
Proses mereka mirip keadilan
mirip kemanusiaan

Uang itu dilirik dan dibau
Andai hidung bisa melihat, uang pasti yng disantap baunya
Omong kosong kata mereka kosong

Selasa, 13 Juli 2010

Amerika dan Kebebasan Artifisial Internet



Negara Amerika Serikat terkenal sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, kebebasan dalam berpendapat, sebagai sebuah asas dasar yang mutlak bagi negara. Seringkali mereka mempropagandakan sekaligus mengelu-elukan demokrasi yang mereka bawa sebagai yang terbaik di dunia. Alhasil, negara-negara lain yang mereka anggap tidak mengimplementasikan sistem demokrasi yang baik di dalam pemerintahan akan serta merta “dikunjungi” dan “diberi arahan” untuk mempraktekkan demokrasi yang baik. Dulu rakyat Guatemala, Brazil, hingga Chili dibiarkan penuh peluh. Kemudian Irak menjadi murid yang dibuat patuh. Dan baru-baru ini, Presiden penuh harapan Barrack Obama, yang secara konyol dibangunkan sebuah patung di daerah Menteng sebelum akhirnya diprotes salah satu Ormas keren di Jakarta sehingga dipindahkan ke bekas SDnya –SDN Menteng 01 Jakpus yang juga secara konyol hendak memberikan kartu alumni kepadanya, mengebiri kenyataan bahwa Obama tidak keluar dari SD tersebut dengan status lulus-, dalam sebuah pidatonya ketika bertemu dengan warga keturunan Kuba di Amerika Serikat secara terang-terangan bercerita bahwa ia ingin memberikan pengenalan demokrasi pada rakyat Kuba yang tidak pernah kenal apa itu demokrasi. Seakan Amerika adalah polisi dunia yang mempunyai hak menetapkan apa yang baik dan apa yang tidak, siapa yang menjadi malaikat dan siapa yang menjadi iblis. Semoga mereka sadar jika malaikat pencabut nyawa itu juga tergolong sebagai malaikat.

Amerika Serikat yang juga terkenal mempunyai teknologi tingkat tinggi melebihi negara lain menjadi surga bagi kaum kapitalis yang pada dasarnya selalu ingin mencium bau harum uang dan teman akrabnya, kekuasaan. Oleh sebab itu, demokrasi yang diusung di Amerika itu sebenarnya adalah demokrasinya kaum kapitalis. Logika kekuasaan berenang bebas di sana. Seperti yang terkandung di What Uncle Sam Really Wants karya Chomsky, sebuah studi inter-American yang dipublikasikan oleh Royal Institute of International Affairs di London menyimpulkan bahwa demokrasi adalah proyek terselubung kaum kapitalis. Ketika para pebisnis terancam, demokrasi harus bergerak. Bila mereka aman, pembunuh dan penyiksa tidak akan turun tangan. Marx dulu pernah berkelakar, bahwa negara hanya akan menjadi alat bagi kaum kapitalis. Dan kelakarnya ternyata dianggap serius oleh Amerika yang menganggapnya punya kredit 6 SKS jadi mereka harus serius mempraktekkannya.

Amerika yang menjadi polisi dunia tentu saja harus mengetahui keadaan dunia yang “dijaganya”. Dinas intelijen CIA dikenal sebagai organisasi yang kuat, pintar, dan punya akses ke mana saja (mungkin negara semacam Kuba dan Iran tak masuk daftar), tak terkecuali Indonesia. CIA mungkin saja berperan sebagai agen mata-mata dunia yang punya kemampuan melihat negara mana saja yang bisa diberi permen untuk kemudian ditelanjangi. Coba buka situs CIA, kemudian di kotak search ketik “Indonesia”. The world factbook tentang Indonesia terpampang jelas di sana. Rubrik Pengenalan, Geografi, Ekonomi, Militer, hingga Isu Transnasional tentang Indonesia ada di situ. Walaupun belum di update, namun seluk beluk singkat Indonesia ada di situ. Kalau seluk beluk ini ada di ensiklopedia, bolehlah kita anggap itu suatu hal yang biasa. Konon, di basis data CIA, mereka punya lebih banyak data. Bukan hanya tentang Indonesia, namun juga seluruh dunia. Hal ini karena teknologi internet yang jamak diakses setiap orang di dunia ternyata berasal dari sana. ARPA dari MIT yang pada dasarnya proyek prestisius untuk menyaingi SPUTNIK milik Uni Soviet menjadi tonggak perkembangan internet. ARPA yang menjadi cikal bakal internet adalah milik Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Tidak mustahil, internet digunakan oleh Amerika untuk mengawasi dunia. Koran harian Tempo pernah memberitakan bahwa CIA mengalirkan dana ke Visible Technologies, perusahaan pengembang aplikasi untuk memantau apa saja isi Twitter, Flickr, YouTube, Blog, Chat dan forum-forum di internet. Itu yang bisa diendus media. Belum termasuk Top Secret yang ada di agenda CIA. Jadi, semua posting, status, tweet, video, gambar, dan semua bentuk tulisan yang ada di internet pada dasarnya akan menjadi milik CIA. Data tentang rencana Kaus Merah Thailand, rencana nasionalisasi Chavez, hingga rencana demo buruh semua akan direkam oleh CIA apabila ada aktivitas di internet seperti surat elektronik yang terkait dengan hal di atas.

Hal ini seperti membalik efek sistem Panopticon yang dicetuskan oleh Jeremy Bentham seorang filsuf Inggris yang kemudian diadopsi oleh Foucault di salah satu karyanya yang berjudul Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977). Pada dasarnya, Panopticon adalah sebuah penjara yang didesain untuk mendisiplinkan tahanan lewat sistem yang membuat para tahanan merasa sedang diawasi. Oleh Foucoult, Panopticon dikaitkan dengan sistem yang dipergunakan oleh institusi lain seperti rumah sakit, militer, pabrik, sekolah, dan bahkan institusi yang lebih besar seperti negara selain penjara. Dengan Panopticon, kesadaran masyarakat bahwa mereka sedang diawasi memperlancar berfungsinya logika kekuasaan. Walaupun pengawasan sebenarnya tidak berkesinambungan, namun terdapat kesan yang menyebabkan sifat permanen pengawasan dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalam institusi. Oleh karena itu, pendisplinan dapat dilakukan secara maksimal. Namun dalam kasus ini, Amerika yang menempatkan menara-menara pengawas ke seluruh penjuru dunia membalik efek dari sistem Panopticon. Amerika yang mengawasi dunia seakan-akan membiarkan masyarakat dunia merasa bebas. Lewat internet, orang bebas menuliskan apapun. Ajakan untuk mogok kerja, propaganda sosialisme, hingga rencana demonstrasi penolakan gerakan konglomerasi Amerika yang dimuat di internet menjadi santapan lezat Amerika. Sebuah antitesis pastinya telah disiapkan oleh mereka. Mereka tidak membuat efek “sedang diawasi”. Hal ini mungkin karena sistem paksaan pendisiplinan untuk membentuk tubuh yang mampu dikontrol dengan baik tidak bisa dilakukan seiring berkembangnya tingkat kecerdasan masyarakat dunia dan terutama sikap kritis dan skeptis yang diarahkan pada Amerika. Bukan mustahil, terjadi pemberontakan dari kelompok-kelompok yang merasa tertindas karena “diawasi”. Masyarakat sebenarnya, dan seharusnya, tahu bahwa Amerika dengan kapitalismenya kian menjadi-jadi, merongrong kehidupan setiap orang.
Kapitalisme Amerika memang semakin berkembang, beradaptasi lewat kuasa yang dipunya. Teknologi yang mereka punya tak pelak membuat negara lain kalah telak. Indonesia yang konon adalah negara yang kaya sumber daya alamnya dikelola sedemikian rupa oleh Amerika sehingga rakyat masih banyak yang menderita. Amerika mungkin mengaku tak mempunyai mata-mata, namun kepala mereka yang mempunyai hidung, telinga, dan mulut selain mata yang menempel telah disebar ke penjuru dunia. Salah satunya lewat internet. Internet yang ternyata hanya menyajikan kebebasan artifisial. Mengutip jargon bang napi, waspadalah waspadalah!!

Tabik

Minggu, 04 Juli 2010

Mengamini dan mengimani mitos (Cerita Mbah Priok)

Kegiatan baru cukup menyita waktu dan tenaga. Tak sempat sehingga menulis dan membuka ide baru. Baiklah saya unggah "tugas" di kegiatan baru saya ini. He-he-he...


Di zaman internet ini ternyata mitos masih menjadi ihwal yang berkelindan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Satu hal yang menarik adalah orang-orang di Indonesia, bahkan sekelas presiden, bisa dengan mudah mengamini dan mengimani suatu cerita yang berbau mitos.
Peristiwa di Tanjung Priok menjadi contoh sempurna. Makam sarat kerancauan fakta yang membuncah dipercaya sebagai kebenaran oleh orang-orang yang telanjur terkena mitos sensasi Mbah Priok. Pengkultusan Mbah Priok bahkan mengakibatkan pelanggaran sempadan kemanusiaan.

Agama menjadi meme yang paling efektif dalam hal ini. Massa menolak penggusuran makam karena mereka telah terinfeksi meme bahwa Mbah Priok adalah seorang penyiar Islam. Sebagai pemeluk agama Islam, tentu mereka membela habis-habisan. Bila mereka mati, toh, mereka masuk surga karena membela agama. Mereka tidak mau susah-susah mencari tahu kebenaran kepercayaan kepada Mbah Priok selama kunci surga aman berada di tangan.

Media pun turut terlibat. Media seharusnya bertungkus-lumus dengan pekerjaan utamanya, mewartakan fakta. Alih-alih menyinggung soal fakta yang menjelaskan bahwa cerita Mbah Priok tidak bisa dipertanggungjawabkan, sebagian besar media hanya meluruskan soal kebenaran tahun kematian Mbah Priok saja.

Politik pemerintah juga berperan besar dalam proses pengaminan dan pengimanan mitos Mbah Priok. Presiden SBY sengaja menandatangani distorsi sejarah Mbah Priok, mengesampingkan data faktual yang sebenarnya menelanjangi kepercayaan membabi-buta kepada Mbah Priok. Masyarakat seperti memperoleh tambahan amunisi kepercayaan karena sang presiden pun ternyata sama seperti mereka, percaya. Mungkin politik “ingin dekat dengan rakyat”- yang menjadi penyakit pemimpin Indonesia menurut Anhar Gonggong, sejarawan UI- menjadi agenda tersendiri.

Setakat ini kepercayaan itu masih hidup. Masyarakat tidak sadar bahwa meme ada di antara mereka, dan salah satunya sedang menjangkiti mereka. Selama mereka tidak sadar dan tidak disadarkan, tidak mustahil mitos-mitos yang lain akan terus diamini untuk kemudian diimani.

Jumat, 11 Juni 2010

Bergumam Semata

Meraba dalam gelap, terus meraba walau terlelap. Kiri dan turunannya. Proses melingkar tak tahu arah, mata terpejam kepala menengadah. Lalu mana jalan yang ditapak? Bersenggama lewat kata dan rupa. Berkerumun menciptakan wacana tanpa menyuntikkan materi yang katanya nyata. Berjalan mundur kah? Atau tempatmu hanya di situ. Baiklah masa lalu memang kelam atau mungkin dibuat kelam. Namun mata ada di depan memandang. Tinggal berkoordinasi dengan otak untuk menentukan ke kiri, kanan, atau tengah. Literatur dan ide makanan utama. Diskusi katanya adalah awal mula. Lalu mengapa tiap tahun selalu sama? Setiap tanggal satu berbaris sedemikian rupa. Berlomba-lomba merebut toa,lalu bersenggama. Sesekali perlu berdiri di depan kaca lalu mengumpat menyumpahi kemolekan tubuh sendiri. Kian hari pasti bosan menghampiri, dan akhirnya tercipta koreksi. Kumpulan orang-orang berotak sama akan selalu menciptakan pemikiran yang sama. Apakah mitos pseudo yang banyak dikata itu benar adanya? Tanah menderita, lalu bertemu hantu yang menawarkan obat yang niscaya mujarab, terlena, lalu terpana. Sekedar terlena dan terpana. Selanjutnya bersenggama. Gelap tak akan hilang selama cahaya tak diberi jiwa. Jiwa yang membebaskan. Jiwa yang berbeda. Jiwa yang tak hanya bersenggama. Dimana ada jiwa? Punyakah mereka? Omong-omong, siapa mereka? Atau mungkin mereka adalah saya? Jangan-jangan saya sedang menulis tentang mereka.Ah, masak sih saya mereka itu saya...

Somewhere Only I Know

“It is the easiest way to heaven”, she says.
“You despise me”, she continues.
I sigh,”He has a callous heart. Why should I do this bloody routine activity while I have the others overwhelming me?”
“Because it is the easiest way to heaven”, she says again.
“What is heaven?” I ask.
“It is the place where you can’t find totalitarianism. It is the place for democracy, happiness, peace, and beauty gathering”, she answers.
“And where are the ugliness, war, sadness, and injustice?” I ask once again.
“It is in hell, dear” she says.
“So right now we are living in hell?” I say.

Rabu, 09 Juni 2010

Tawur

Hey, lihat itu di sana!
Beberapa manusia bergerombol membentuk barisan
Siapa mereka, hati bertanya
Lontaran batu hilir mudik membenamkan niat mengarungi senja Ibukota

Siapa mereka, hati bertanya
Oh,ternyata warga, mata menjawab
Sedang apa mereka?
Berteriak, mengumpat, melempar molotov granat

"Rumah kami hendak digusur
Kami siap bertempur"
Terdengar rentetan kata-kata seolah senjata
Namun hey, kenapa tak ada siapa-siapa di depan mereka?

Melawan siapa mereka bertempur?
Seakan bayangan mereka ajak bicara
Tak ada siapa-siapa di sana
Hanya ada mesin

Mesin yang satu menderu
Tak berhenti melemparkan debu
Mesin yang lain juga menderu
Namun mereka menghantamkan peluru

Apa bisa mereka menang?
Manusia melawan mesin?
Mungkin Rambo bisa menang hanya dengan panah di tangan
Namun segerombol warga dengan batu dan molotov granat?

Tawur tak terelak
Manusia melawan mesin semua berarak
Hati melawan baterai dan perintah suara
Menusuk kepala mencengangkan mata

Mengisi luang


Lama juga tak bergumul dengan blog ini. Sibuk ini itu jadi batu sandunganku memencet tombol huruf. Baiklah saya isi saja dengan beberapa puisi karya Wiji Thukul. Nikmatilah dan renungkanlah.


Seorang Buruh Masuk Toko

masuk toko yang pertama kurasa adalah cahaya yang terang benderang tak seperti jalan-jalan sempit di kampungku yang gelap

sorot mata para penjaga dan lampu-lampu yang mengitariku seperti sengaja hendak menunjukkan dari mana asalku

aku melihat kakiku - jari-jarinya bergerak aku melihat sandal jepitku aku menoleh ke kiri ke kanan - bau-bau harum aku menatap betis-betis dan sepatu bulu tubuhku berdiri merasakan desir kipas angin yang berputar-putar halus lembut badanku makin mingkup aku melihat barang-barang yang dipajang aku menghitung-hitung aku menghitung upahku aku menghitung harga tenagaku yang menggerakkan mesin-mesin di pabrik aku melihat harga-harga kebutuhan di etalase aku melihat bayanganku makin letih dan terus diisap

10 september 1991

Bukan Kata Baru

ada kata baru kapitalis, baru? Ah tidak, tidak sudah lama kita dihisap bukan kata baru, bukan kita dibayar murah sudah lama, sudah lama sudah lama kita saksikan buruh mogok dia telpon kodim, pangdam datang senjata sebataliyon kita dibungkam tapi tidak, tidak dia belum hilang kapitalis dia terus makan tetes ya tetes tetes keringat kita dia terus makan

sekarang rasakan kembali jantung yang gelisah memukul-mukul marah karena darah dan otak jalan kapitalis dia hidup bahkan berhadap-hadapan kau aku buruh mereka kapitalis sama-sama hidup bertarung ya, bertarung

sama-sama? tidak, tidak bisa kita tidak bisa bersama-sama sudah lama ya sejak mula kau aku tahu berapa harga lengan dan otot kau aku kau tahu berapa upahmu kau tahu jika mesin-mesin berhenti kau tahu berapa harga tenagamu

mogoklah maka kau akan melihat dunia mereka jembatan ke dunia baru dunia baru ya dunia baru.

tebet 9/5/1992


E D A N

sudah dengan cerita mursilah? edan! dia dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain dia sambung-sambung jadi mukena untuk sembahyang padahal mukena tak dibawa pulang padahal mukena dia taroh di tempat kerja edan! sudah diperas dituduh maling pula

sudah dengan cerita santi? edan! karena istirahat gaji dipotong edan! karena main kartu lima kawannya langsung dipecat majikan padahal tak pakai wang padahal pas waktu luang edan! kita mah bukan sekrup

Bandung 21 Mei 1992


Sajak Suara

Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
Mulut bisa dibungkam
Namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
Dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku?!

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
Di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu: pemberontakan!

Sesungguhnya suara itu bukan perampok
Yang ingin merayah hartamu
Ia ingin bicara
Mengapa kau kokang senjata
Dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?!

Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
Ialah yang mengajari aku bertanya
Dan pada akhirnya tidak bisa tidak
Engkau harus menjawabnya
Apabila engkau tetap bertahan
Aku akan memburumu seperti kutukan!

Minggu, 16 Mei 2010

Materi

Saat pelajaran Agama di SMA, Maruli yang baru saja menyelesaikan MADILOG karya Tan Malaka ragu-ragu bertanya pada guru pengajarnya.
"Benarkah Tuhan itu sungguh ada?" tanyanya.
Sang guru tersenyum, kemudian berkata, "Kenapa kau meragukannya?"
"Sekarang coba Bapak meminta uang seribu rupiah pada Tuhan," kata Maruli.
Guru Agama itu sedikit terhenyak, namun kemudian melakukan apa yang dikehendaki Maruli.
"Nah, Bapak tak mendapatkan uang itu kan? Sekarang Bapak coba minta uang lima ribu rupiah pada saya," minta Maruli.
Dengan segera Maruli meletakkan selembar uang lima ribu rupiah pada tangan sang guru yang kemudian ia biarkan ternganga.

Surga

Dan bila Agama menjadi satu jalan menuju surga, kasihan benar mereka yang tinggal di pedalaman sana...Tulisan saja tak mereka kenal...

Kecewa

Di suatu sore yang teduh, Amir sedang menyiapkan teh untuk diseduh. Gula diterjunkan untuk menemani daun teh yang beraroma wangi melati. Air panas menyusul, bersatu dengan kedua kameradnya.
"Sudah siap," bisik Amir sambil menyerahkan segelas teh panas kepada Kakeknya.
"Dimana?" tanya Kakek.
"Di kamar sudah saya siapkan," jawab Amir.
"Yakin, Kek?" tanya Amir.
"Daripada saya melihat kenyataan ini, lebih baik saya meniru orang-orang Jepang. Saya sudah gagal. Cita-cita bangsa tak mungkin terwujud selama mereka masih bertingkah seperti itu," kata Kakek sambil berjalan tertatih - tatih masuk ke kamar. Bambu runcing dan bantal bersarung batik sudah berada di atas kasur tua tempat beliau dulu beristirahat setelah berjuang melawan penjajah laknat.

Dreams Continued

On the corner of my dreams I shout, "Beware!"
I see no one but the picture of mine in front
Mirror, reflects my deepest sour
Region of my mind keeps holding the brain on the ground

It is coming in the middle of the night
I can't avoid I can't pull to one side
Gimme more space I can't find my breath
Nonetheless my life has been set

Those guys are friends in my dreams
But were those really dreams?
"Sir, let me know," I beg
You argue, "The collision has wrecked!"

I want to be alone
But not lonely
Honestly you make everything undone
I just want to be free

So here the dreams to keep me company
Like best friends they always stand by me
To share my dreams as I wish
To share my burden I can't accomplish

Sabtu, 15 Mei 2010

The Raven (Le Corbeau), oleh Edgar Allan Poe

Once upon a midnight dreary, while I pondered, weak and weary,
Over many a quaint and curious volume of forgotten lore--
While I nodded, nearly napping, suddenly there came a tapping,
As of some one gently rapping--rapping at my chamber door.
"'Tis some visitor," I muttered, "tapping at my chamber door--
Only this and nothing more."

_Une fois, par un minuit lugubre, tandis que je m'appesantissais,
faible et fatigué, sur maint curieux et bizarre volume de savoir
oublié--tandis que je dodelinais la tête, somnolant presque: soudain
se fit un heurt, comme de quelqu'un frappant doucement, frappant à
la porte de ma chambre--cela seul et rien de plus._

Ah, distinctly I remember, it was in the bleak December,
And each separate dying ember wrought its ghost upon the floor.
Eagerly I wished the morrow;--vainly I had sought to borrow
From my books surcease of sorrow--sorrow for the lost Lenore--
For the rare and radiant maiden whom the angels name Lenore--
Nameless here for evermore.

_Ah! distinctement je me souviens que c'était en le glacial
Décembre: et chaque tison, mourant isolé, ouvrageait son spectre
sur le sol. Ardemment je souhaitais le jour--vainement j'avais
cherché d'emprunter à mes livres un sursis au chagrin--au chagrin
de la Lénore perdue--de la rare et rayonnante jeune fille que les
anges nomment Lénore:--de nom pour elle ici, non, jamais plus!_

And the silken sad uncertain rustling of each purple curtain
Thrilled me--filled me with fantastic terrors never felt before;
So that now, to still the beating of my heart, I stood repeating
"'Tis some visitor entreating entrance at my chamber door--
Some late visitor entreating entrance at my chamber door;--
This it is and nothing more."

_Et de la soie l'incertain et triste bruissement en chaque rideau
purpural me traversait--m'emplissait de fantastiques terreurs pas
senties encore: si bien que, pour calmer le battement de mon coeur,
je demeurais maintenant à répéter «C'est quelque visiteur qui sollicite
l'entrée, à la porte de ma chambre--quelque visiteur qui sollicite
l'entrée, à la porte de ma chambre; c'est cela et rien de plus.»_

Presently my soul grew stronger; hesitating then no longer,
"Sir," said I, "or Madam, truly your forgiveness I implore;
But the fact is I was napping, and so gently you came rapping,
And so faintly you came tapping--tapping at my chamber door,
That I scarce was sure I heard you"--here I opened wide the door:--
Darkness there and nothing more.

_Mon âme devint subitement plus forte et, n'hésitant davantage
«Monsieur, dis-je, ou Madame, j'implore véritablement votre pardon;
mais le fait est que je somnolais et vous vîntes si doucement frapper,
et si faiblement vous vîntes heurter, heurter à la porte de ma chambre,
que j'étais à peine sûr de vous avoir entendu.»--Ici j'ouvris, grande,
la porte: les ténèbres et rien de plus.»_

Deep into that darkness peering, long I stood there wondering, fearing,
Doubting, dreaming dreams no mortal ever dared to dream before;
But the silence was unbroken, and the stillness gave no token,
And the only word there spoken was the whispered word, "Lenore!"
This I whispered, and an echo murmured back the word, "Lenore!"--
Merely this and nothing more.

_Loin dans l'ombre regardant, je me tins longtemps à douter,
m'étonner et craindre, à rêver des rêves qu'aucun mortel n'avait osé
rêver encore; mais le silence ne se rompit point et la quiétude ne
donna de signe: et le seul mot qui se dit, fut le mot chuchoté
«Lénore!» Je le chuchotai--et un écho murmura de retour le mot
«Lénore!»--purement cela et rien de plus._

Back into the chamber turning, all my soul within me burning,
Soon again I heard a tapping, somewhat louder than before,
"Surely," said I, "surely that is something at my window lattice;
Let me see, then, what thereat is, and this mystery explore--
Let my heart be still a moment, and this mystery explore;--
'Tis the wind and nothing more."

_Rentrant dans la chambre, toute mon âme en feu, j'entendis bientôt
un heurt en quelque sorte plus fort qu'auparavant. «Sûrement, dis-je,
sûrement c'est quelque chose à la persienne de ma fenêtre. Voyons
donc ce qu'il y a et explorons ce mystère--que mon coeur se calme
un moment et explore ce mystère; c'est le vent et rien de plus.»_

Open here I flung the shutter, when, with many a flirt and flutter,
In there stepped a stately Raven of the saintly days of yore.
Not the least obeisance made he; not an instant stopped or stayed he;
But, with mien of lord and lady, perched above my chamber door--
Perched upon a bust of Pallas just above my chamber door--
Perched and sat and nothing more.

_Au large je poussai le volet; quand, avec maints enjouement et
agitation d'ailes, entra un majestueux Corbeau des saints jours de
jadis. Il ne fit pas la moindre révérence, il ne s'arrêta ni n'hésita
un instant: mais, avec une mine de lord ou de lady, se percha au-dessus
de la porte de ma chambre--se percha sur un buste de Pallas juste
au-dessus de la porte de ma chambre--se percha, siégea et rien de plus._

Then this ebony bird beguiling my sad fancy into smiling,
By the grave and stern decorum of the countenance it wore,
"Though thy crest be shorn and shaven, thou," I said, "art sure no craven,
Ghastly grim and ancient Raven wandering from the Nightly shore--
Tell me what thy lordly name is on the Night's Plutonian shore!"
Quoth the Raven, "Nevermore."

_Alors cet oiseau d'ébène induisant ma triste imagination au sourire,
par le grave et sévère décorum de la contenance qu'il eut: «Quoique
ta crête soit chue et rase, non! dis-je, tu n'es pas pour sûr un
poltron, spectral, lugubre et ancien Corbeau, errant loin du rivage
de Nuit--dis-moi quel est ton nom seigneurial au rivage plutonien de
Nuit.» Le Corbeau dit: «Jamais plus.»_

Much I marvelled this ungainly fowl to hear discourse so plainly,
Though its answer little meaning--little relevancy bore;
For we cannot help agreeing that no living human being
Ever yet was blessed with seeing bird above his chamber door--
Bird or beast upon the sculptured bust above his chamber door,
With such a name as "Nevermore."

_Je m'émerveillai fort d'entendre ce disgracieux volatile s'énoncer
aussi clairement, quoique sa réponse n'eût que peu de sens et peu
d'à-propos; car on ne peut s'empêcher de convenir que nul homme vivant
n'eût encore l'heur de voir un oiseau au-dessus de la porte de sa
chambre--un oiseau ou toute autre bête sur le buste sculpté, au-dessus
de la porte de sa chambre, avec un nom tel que: «Jamais plus.»_

But the Raven, sitting lonely on that placid bust, spoke only
That one word, as if his soul in that one word he did outpour.
Nothing further then he uttered; not a feather then he fluttered--
Till I scarcely more than muttered, "Other friends have flown before--
On the morrow _he_ will leave me, as my Hopes have flown before."
Then the bird said, "Nevermore."

_Mais le Corbeau, perché solitairement sur ce buste placide, parla
ce seul mot comme si, son âme, en ce seul mot, il la répandait. Je ne
proférai donc rien de plus: il n'agita donc pas de plume--jusqu'à ce
que je fis à peine davantage que marmotter «D'autres amis déjà ont
pris leur vol--demain il me laissera comme mes Espérances déjà ont
pris leur vol.» Alors l'oiseau dit: «Jamais plus.»_

Startled at the stillness broken by reply so aptly spoken,
"Doubtless," said I, "what it utters is its only stock and store,
Caught from some unhappy master, whom unmerciful Disaster
Followed fast and followed faster till his songs one burden bore--
Till the dirges of his Hope the melancholy burden bore
Of 'Never--nevermore.'"

_Tressaillant au calme rompu par une réplique si bien parlée: «Sans
doute dis-je, ce qu'il profère est tout son fonds et son bagage, pris
à quelque malheureux maître que l'impitoyable Désastre suivit de près
et de très-près suivit jusqu'à ce que ses chansons comportassent un
unique refrain; jusqu'à ce que les chants funèbres de son Espérance
comportassent le mélancolique refrain de «Jamais--jamais plus.»_

But the Raven still beguiling all my sad soul into smiling,
Straight I wheeled a cushioned seat in front of bird and bust and door;
Then, upon the velvet sinking, I betook myself to linking
Fancy unto fancy, thinking what this ominous bird of yore--
What this grim, ungainly, ghastly, gaunt and ominous bird of yore
Meant in croaking "Nevermore."

_Le Corbeau induisant toute ma triste âme encore au sourire, je
roulai soudain un siége à coussins en face de l'oiseau et du buste et
de la porte; et m'enfonçant dans le velours, je me pris à enchaîner
songerie à songerie, pensant à ce que cet augural oiseau de jadis--à
ce que ce sombre, disgracieux, sinistre, maigre et augural oiseau de
jadis signifiait en croassant: «Jamais plus.»_

This I sat engaged in guessing, but no syllable expressing
To the fowl whose fiery eyes now burned into my bosom's core;
This and more I sat divining, with my head at ease reclining
On the cushion's velvet lining that the lamp-light gloated o'er,
But whose velvet violet lining with the lamp-light gloating o'er,
_She_ shall press, ah, nevermore!

_Cela, je m'assis occupé à le conjecturer, mais n'adressant pas une
syllabe à l'oiseau dont les yeux de feu brûlaient, maintenant, au fond
de mon sein; cela et plus encore, je m'assis pour le deviner, ma tête
reposant à l'aise sur la housse de velours des coussins que dévorait
la lumière de la lampe, housse violette de velours dévoré par la
lumière de la lampe qu'_Elle_ ne pressera plus, ah! jamais plus._

Then, methought, the air grew denser, perfumed from an unseen censer,
Swung by Seraphim whose foot-falls tinkled on the tufted floor.
"Wretch," I cried, "thy God hath lent thee--by these angels he hath sent thee
Respite--respite and nepenthe from thy memories of Lenore!
Quaff, oh quaff this kind nepenthe, and forget this lost Lenore!"
Quoth the Raven, "Nevermore."

_L'air, me sembla-t-il, devint alors plus dense, parfumé selon un
encensoir invisible balancé par les Séraphins dont le pied, dans sa
chute, tintait sur l'étoffe du parquet. «Misérable, m'écriai-je, ton
Dieu t'a prêté--il t'a envoyé, par ces anges, le répit--le répit et
le népenthès dans ta mémoire de Lénore! Bois! oh! bois ce bon népenthès
et oublie cette Lénore perdue!» Le Corbeau dit: «Jamais plus!»_

"Prophet!" said I, "thing of evil!--prophet still, if bird or devil!--
Whether Tempter sent, or whether tempest tossed thee here ashore,
Desolate yet all undaunted, on this desert land enchanted--
On this home by Horror haunted--tell me truly, I implore--
Is there--_is_ there balm in Gilead?--tell me--tell me, I implore!"
Quoth the Raven, "Nevermore."

_«Prophète, dis-je, être de malheur! prophète, oui, oiseau ou
démon! Que si le Tentateur t'envoya ou la tempête t'échoua vers ces
bords, désolé et encore tout indompté, vers cette déserte terre
enchantée--vers ce logis par l'horreur hanté: dis-moi véritablement,
je t'implore! y a-t-il du baume en Judée?--dis-moi, je t'implore.»
Le Corbeau dit: «Jamais plus!»_

"Prophet!" said I, "thing of evil!--prophet still, if bird or devil!
By that Heaven that bends above us--by that God we both adore--
Tell this soul with sorrow laden if, within the distant Aidenn,
It shall clasp a saintly maiden whom the angels name Lenore--
Clasp a rare and radiant maiden whom the angels name Lenore."
Quoth the Raven, "Nevermore."

_«Prophète, dis-je, être de malheur! prophète, oui, oiseau ou
démon! Par les Cieux sur nous épars--et le Dieu que nous adorons tous
deux--dis à cette âme de chagrin chargée si, dans le distant Eden,
elle doit embrasser une jeune fille sanctifiée que les anges nomment
Lénore--embrasser une rare et rayonnante jeune fille que les anges
nomment Lénore.» Le Corbeau dit: «Jamais plus!»_

"Be that word our sign of parting, bird or fiend!" I shrieked, upstarting--
"Get thee back into the tempest and the Night's Plutonian shore!
Leave no black plume as a token of that lie thy soul hath spoken!
Leave my loneliness unbroken!--quit the bust above my door!
Take thy beak from out my heart, and take thy form from off my door!"
Quoth the Raven, "Nevermore."

_«Que ce mot soit le signal de notre séparation, oiseau ou malin
esprit,» hurlai-je, en me dressant. «Recule en la tempête et le rivage
plutonien de Nuit! Ne laisse pas une plume noire ici comme un gage du
mensonge qu'a proféré ton âme. Laisse inviolé mon abandon! quitte le
buste au-dessus de ma porte! ôte ton bec de mon coeur et jette ta
forme loin de ma porte!» Le Corbeau dit: «Jamais plus!»_

And the Raven, never flitting, still is sitting--still is sitting
On the pallid bust of Pallas just above my chamber door;
And his eyes have all the seeming of a Demon's that is dreaming,
And the lamp-light o'er him streaming throws his shadow on the floor;
And my soul from out that shadow that lies floating on the floor
Shall be lifted--nevermore!

_Et le Corbeau, sans voleter, siége encore--siége encore sur le buste
pallide de Pallas, juste au-dessus de la porte de ma chambre, et ses
yeux ont toute la semblance des yeux d'un démon qui rêve, et la
lumière de la lampe, ruisselant sur lui, projette son ombre à terre: et
mon âme, de cette ombre qui gît flottante à terre, ne s'élèvera--jamais
plus!_


Edgar Allan Poe (19 Januari 1809 - 7 Oktober 1849)

Selasa, 11 Mei 2010

Menuju Kota

Ketika suara-suara itu menemukan ruang untuk menjadi satu
Gemerincing limpahan koin bergumul hadirkan beban berat
Tak satupun suara berkata "Tidak!" dengan lantang
Hanya segelintir berkata "Tidak" dalam hati

Mungkin berarti bila suara menemukan makna
Namun bukankah ruang juga menyediakan makna?
Himpitan gerak maju semakin menjadi-jadi
Mendesak, merangkak, menjejak

Suara-suara itu tetap bergumul
Bercinta dengan sesamanya sambil mengelitiki asa
Suara-suara itu tak akan berhenti selama mereka belum menemukan makna

Kontaminasi hati
Konstelasi galaksi
Perburuan beraksi

Hilangkah mereka ditelan arti?
Ataukah semakin menggila bercumbu tanpa henti?
Iringi hidup yang menderu
Tinggalkan nafas yang kian berdebu

Rabu, 05 Mei 2010

Lulus

Satu garis mendatar itu begitu berarti
Tak terkira nian agung sang garis
Tebal dan hitam
Lurus, congkak menghantam

Mereka tak mau mendapati sang garis di sana
Tak semilimeterpun
Dimensia bisa melanda
Bahkan panas api neraka bisa menyapa
Ketika garis itu mengada

Mereka menyebut nama Tuhan
Mengharap garis tiada
Menghela napas sebelum tangan buat kertas terbuka

Jantung seperti bertarung
Berdegup kencang hadirkan murung
Mata hampir-hampir melewatkan kedip
Hanya untuk menanti kata ajaib

Semoga sang perangkat canggih itu tak salah memaknai
Semoga si 2B cukup menghitamkan si bulatan kosong

Hati mereka berteriak hebat
“Jangan kau berani bertengger di atas kata ajaib itu!!”
“Jangan kau hancurkan tiga tahunku yang penuh peluh!!”
“Jangan kau buat asa di dada sia-sia terbunuh!!”

“Kami juga ingin tumbuh!!”

Selasa, 04 Mei 2010

Free Trade: Free to Create


As our eyes face the new face of the world, where Nike could be found in Nabire, when Big Mac is also eaten by the children in Sampit.. The flowing wave to the progress of the world is something we have to deal with. The sign that is identified by the signifier that signifies. Globalization as a consequence of the progression is now trying to make sense. The pros and the contras toward globalization now, anyhow, cannot avoid the strict scheme created by the superpower countries U.S and Europe, the Free Trade.

Free Trade as a basic form of the theory of globalization is destroying the collectivity. It is our nature to create the collectivity and ironically it is also our nature to destroy the collectivity. Every human was born with a right to choose in hand. It depends on how we utilize it. For the sake of humanity or private party only? Create or destroy? It is better to destroy than to create what is meaningless. Educate the people!!

ilustrasi: maldef.org

Fiksi Mini

Baru-baru ini, saya tertarik dengan kehadiran sebuah gaya kepenulisan yang diberi titel fiksi mini. Gaya ini merupakan hal yang baru bagi saya. Ketertarikan saya timbul setelah membaca karya Agus Noor, seorang penulis asal Yogyakarta. Tulisan yang dimuat di salah satu media cetak nasional itu diberi judul Penjaga Kamar Mayat dan Sejumlah Fiksi Mini Lainnya. Karya sastra yang sangat ringkas akan tetapi sangat hebat dalam menggugah daya imaji untuk menghasilkan sebuah interpretasi. Karya Agus Noor tersebut membuka cakrawala baru bagi saya. Setelah hanya dijejali karya sastra berupa puisi, prosa, drama, dan novel, kehadiran fiksi mini seakan mendobrak banalitas karya sastra di kepala saya. Fiksi mini merupakan tulisan ringkas sarat makna yang hanya terdiri dari sekitar 50-100 karakter (beberapa bisa mencapai 500 karakter). Semakin sedikit kata yang ditorehkan, semakin berhasil penciptaan fiksi mini. Meskipun demikian, nilai kekuatan sebuah karya fiksi mini tidak hanya ditentukan oleh banyak sedikit kata yang dipergunakan. Proses penghimpunan exposition, rising action, dan climax ke dalam satu kesatuan yang terbatas namun berkualitas mempunyai peran penting dalam proses penilaian kekuatan sebuah fiksi mini. Fiksi mini yang kuat harus mampu menghadirkan imaji yang kuat sehingga interpretasi yang liar penuh rasa penasaran mampu timbul di benak para pembaca. Pembaca akan merasa dihantam palu godam setelah selesai menyantap sebuah fiksi mini. Berbeda dengan novel atau prosa yang lebih bertele-tele dalam proses narasi, fiksi mini harus bisa langsung menohok para pembacanya lewat satu atau dua kalimat. Berbeda pula dengan puisi, fiksi mini mempunyai pencitraan narasi yang memungkinkan para pembaca merasa sedang membaca sebuah cerita, bukan kalimat sepotong demi sepotong yang terdapat di setiap bait puisi.

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, fiksi mini dikenal dengan nama Postcard Fiction, Short Short Story, Flash Fiction, dan Sudden Fiction. Ernest Hemmingway, seorang penulis kenamaan Amerika yang tersohor lewat karyanya yang berjudul The Old Man and the Sea secara tidak langsung turut berpartisipasi di sejarah kepenulisan fiksi mini. Dia mampu menciptakan sebuah novel yang hanya terdiri dari 6 kata setelah ditantang oleh seorang teman. Kata-kata itu berbunyi: For sale: baby shoes, never worn. Karya Hemmingway tersebut bisa dikategorikan sebagai fiksi mini. Jauh sebelum Hemmingway, Aesop (620-564 SM) lewat fabel-fabelnya juga mengemukakan karya yang bisa dimasukkan ke genre fiksi mini. Karya Aesop yang terkenal adalah The Wolf and the Sheep. Selain Hemmingway dan Aesop, sastrawan-sastrawan kelas dunia lainnya yang juga turut mencipta fiksi mini antara lain adalah sastrawan Rusia bernama Anton Chekov dan Franz Kafka, sastrawan Ceko yang menggunakan bahasa Jerman dalam karyanya.

Kepenulisan fiksi mini ini juga bisa dipantau di dunia digital internet. Status-status yang dibuat di Facebook dan Twitter, situs-situs jejaring sosial yang perkembangannya sungguh luar biasa belakangan ini, ada beberapa yang berbau fiksi mini. Status yang biasanya hanya berjumlah beberapa kata namun mampu membangkitkan makna yang dalam bisa dikategorikan sebagai fiksi mini. Ambil contoh, sebuah status yang ditulis seorang kawan di Facebook yang berbunyi : “Jogja aku datang.....tapi...masih merasa belum lengkap.....masi setengah ni....masi menunggu....” Interpretasi saya: penulis merasa senang karena dia akan segera ke kota Yogyakarta, namun dia juga merasa sedih karena dia merasa “belum lengkap”. Dengan dipergunakannya kata “tapi” yang berarti “penghubung antarkalimat atau antarparagraf untuk menyatakan hal yang bertentangan atau tidak selaras”, hal ini berarti ada hal lain yang mengikuti premis pertama yang menjadi syarat terjadinya premis tersebut. “Belum lengkap” mungkin berarti si penulis menunggu orang lain yang akan menemaninya pergi ke kota Yogyakarta. Atau mungkin juga si penulis sedang berada di tengah perjalanan, belum sampai ke kota Yogyakarta sehingga senang yang dirasa juga hanya setengah. Di situs jejaring Twitter, bahkan sudah ada sebuah akun yang mengkhususkan diri sebagai sarana ber-tweet ria seputar fiksi mini. Tweet yang ditulis semua berupa fiksi mini.

Kehadiran fiksi mini ini juga bisa menjadi sarana pelampiasan nafsu menulis bagi para peminat dunia sastra (bukan penulis) yang merasa belum mampu menuangkan ide ke dalam sebuah bentuk karya sastra berupa novel atau prosa yang memang menuntut jumlah kata yang banyak. Ketidakmampuan ini bisa berupa hambatan waktu dan tempat karena kesibukan seseorang dengan pekerjaan utamanya, atau mungkin memang belum bisa mengekspresikan ide di kepala ke dalam sebuah karya nyata. Sulit saya menemukan ulasan mengenai fiksi mini di dunia maya. Ada sebuah portal milik seorang warga negara Amerika Serikat yang sengaja didedikasikan bagi para penulis fiksi mini di seluruh dunia, namun portal itu masih dalam tahap pengembangan. Walaupun fiksi mini belum bisa menemukan wadahnya secara nyata, para peminat masih bisa menyalurkannya lewat dunia maya. Blog menjadi jawaban bagi masalah ini. Koran dan majalah sebagai media utama penyalur karya sastra dirasa terlalu luas bagi fiksi mini. Agus Noor menyiasati hal ini dengan membuat sebuah kompilasi fiksi mini. Hal ini menjadi strategi untuk publikasi menurutnya.

Berikut saya kutip sebuah fiksi mini karya Agus Noor yang dimuat di salah satu media cetak nasional:
Adam berbisik ke telinga Iblis yang kesepian. Iblis pun segera menyaru. Sesuatu yang mengerikan terjadi setelah itu….

Pengetahuan yang kita miliki bisa menjadi sesuatu yang membuat orang lain merasa ngeri. Baiklah kita membuat mereka ngeri karena kita memberikan sesuatu yang positif agar mereka terhenyak sehingga memberikan pengakuan atas kengerian yang mereka alami itu adalah akibat kontribusi positif kita. Lewat tulisan, kita bisa membuat bulu roma mereka yang membaca menjadi tegak berdiri. Tak harus diterbitkan oleh penerbit kawakan untuk menjadi seorang sastrawan. Bercinta dengan tulisan yang kita buat akan memberi kenikmatan tak terbagi. Luangkan waktu sejenak dan biarkan angan-angan menari mengikuti irama hati, berikan nafas pada imajinasi. Mari berfiksi mini.

Fenomena "Reg Spasi"

Tulisan ini dibuat tahun 2009 awal,sempat hilang karena worm

Perkembangan teknologi di dunia berkembang layaknya laju pesawat ulang-alik Apollo, melesat dengan cepatnya sehinga semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Tak terkecuali masyarakat Indonesia yang ikut menikmati teknologi tingkat tinggi, dimanjakan oleh berbagai macam gadget yang mampu mengakomodasi mobilitas masing-masing individu dalam mengarungi kesibukan hidup. Salah satu gadget yang menjadi primadona bagi masyarakat Indonesia adalah telepon seluler atau handphone. Telepon seluler yang pernah dulunya adalah tertiary product atau barang kebutuhan tingkat tiga, sekarang telah bertransformasi menjadi primary product atau barang kebutuhan utama. Hampir semua lapisan masyarakat mampu mendapatkan barang yang berbasis teknologi komunikasi ini. Telepon seluler yang dulu hanya bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan cara bertelepon dan mengirim pesan singkat (short message service), sekarang telah berkembang sehingga aktivitas mengakses internet dan mendengarkan musik pun bisa dilakukan lewat telepon seluler.

Satu fenomena terkini terkait perkembangan telepon seluler adalah menjamurnya iklan yang mendengungkan jargon “reg spasi dan kirim ke”, untuk mendapatkan imbalan berupa nada dering, wallpaper, pasangan hidup, bahkan perubahan nasib hidup. Iklan-iklan ini acap kita jumpai di layar televisi kita sehari-hari. Bisnis yang menggunakan telepon seluler sebagai media utamanya ini menjadi satu fenomena yang menarik dan menggelitik bagi saya. Kenapa? Apabila kita menggali lebih dalam untuk mengetahui kenapa kemunculan iklan-iklan semacam ini bisa terus ada membabi buta, tentunya tak lepas dari keadaan masyarakat Indonesia sendiri. Dalam hal ini, tingkat pendidikan dan intelegensia masyarakat Indonesia sangat berperan penting terhadap kemunculan iklan-iklan yang menurut saya, mengeksploitasi ketidaktahuan masyarakat Indonesia tentang teknologi yang berkaitan dengan telepon seluler. Saya melihat para pelaku bisnis sangat jeli melihat peluang mendapatkan uang dengan cara yang sebenarnya sangat memalukan bangsa Indonesa sendiri. Imbalan yang didapatkan setelah kita mengirim pesan singkat “reg spasi dan kirim ke” sebenarnya berkaitan erat dengan tingkat pendidikan dan intelegensia, seperti yang telah saya sebutkan di atas. Sebagai contoh, ketika kita mengirim pesan singkat “reg spasi lagu” kemudian mengirimkannya ke XXX untuk mendapatkan imbalan berupa lagu berformat mp3 ke dalam telepon seluler kita, sebenarnya ketidaktahuan kita untuk mendapatkan lagu lewat cara yang lebih “biasa” sedang dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis ini. Cara “biasa” yang saya maksud disini adalah dengan cara yang umum digunakan oleh masyarakat yang paham tentang penggunaan komputer dan telepon seluler sekaligus., yaitu dengan cara memindah lagu yang diinginkan lewat kabel data, kartu memori(mmc), infrared, ataupun bluetooth. Saya berargumen bahwa mereka yang mengirim pesan singkat “reg spasi dan kirim ke” tidak paham dengan teknologi ini, yang ironisnya dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis. Apakah memang target dari iklan ini adalah mereka yang gaptek? Apabila benar, tampaknya ekonomi korporasi Indonesia sudah melewati batas sifat asli manusia sebagai makhluk sosial yang seharusnya menciptakan suatu tatanan sosial yang saling menguntungkan dan tolong menolong, bukannya malah semakin menjerumuskan. Mengutip kalimat dari Pramoedya Ananta Toer, “Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang yang membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, kaena itu satu sama lain adalah saudara.”

Dan ketika kita menginginkan perubahan nasib dengan mengetik “reg spasi zodiak” dan sebagainya, jawaban yang kita terima adalah berupa petuah-petuah yang bisa kita unduh secara gratis dari berbagai website yang disediakan oleh Google,tanpa perlu terjebak dalam iklan yang terus-menerus menyedot pulsa kita, walaupun “unreg” sudah terkirim. Orang-orang yang “tertipu” oleh iklan ini pastilah punya tingkat pendidikan dan intelegensia yang kurang memadai. Mereka mempunyai telepon seluler canggih yang punya fitur bluetooth ataupun infrared, namun mereka tak tahu cara penggunannya. Satu hal yang sangat ironis menurut saya. Dengan menggunakan bluetooth, kita tak perlu mengeluarkan uang untuk berlangganan ke 9887. Sungguh suatu fenomena yang unik, sebab iklan-iklan ini dengan segala macam variannya terus bermunculan di layar televisi, pertanda “korban” dari eksploitasi ini semakin betambah pula. Satu pertanyaan muncul di benak saya, apakah mungkin mereka yang terjebak di “reg spasi dan kirin ke” ini sebenarnya tahu dan paham, namun ingin menggunakan cara yang “berbeda” yang lebih praktis untuk mendapatkan imbalan yang ditawarkan? Entahlah. Mungkin mereka adalah penganut pola pragmatisme yang tanpa sadar telah berakar ke dalam setiap jiwa manusia yang mengagumi dunia profan nan nyaman. Mungkin, apabila ada iklan “reg spasi surga” untuk bisa mendapatkan tiket masuk surga, “mereka yang tidak tahu” pasti lebih memilih cara ini, tak peduli berapa banyak pulsa yang dikeluarkan asalkan tujuan bisa mereka dapatkan.

Minggu, 02 Mei 2010

Ujian Nasional Tahun Depan

Kemarin pengumuman ujian SMA di sekolah
Hamba ilmu pengetahuan berkumpul jadi satu di sana
Guru bercengkerama, bersendawa, dan bermuram durja
Siswi-siswa tertawa, terlunta-lunta, bahagia, dan terluka

Pak Menteri sedang berwacana
Kata penjaga sekolah yang berkarya sejak tahun 75
Kepala sekolah juga terpaksa
Elak deputinya ketika dengar pendapat di aula

Kira-kira tahun depan bagaimana?
Semoga tak terulang silap yang sama
Semoga nyawa bisa dijaga setelah membuka realita
Semoga tahun depan di gerbang sekolah tak bisa kita temui gelak tawa kerumunan penjual obat serangga

Rabu, 28 April 2010

3 Puisi Iwan Simatupang

REQUIEM
mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah

Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan

Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari

Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat

Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik

Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang

Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kamu tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan

Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.

Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung

Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi

Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera …

Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggu kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan

Inilah langkah pertama kami
kepengijakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!

Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhingaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!

Surabaya, 29 Januari 1953


POTRET

Di sudut kamat seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Belum jua pulang.

Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang—
Takkan lagi kunjung datang.

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Masih jua belum pelung

Kini dara sudah lama dalam biara.

ZIARAH MALAM


Tahun lalu ia lari tinggalkan biara
Kerna tak tahu tempatkan kasih
Pada Tuhan atau padri muda
Yang masuk biara kerna ingin tobat
Dari dosa: memperkosa ibu tirinya

Bulan lalu ia diangkut ke sanatorium
Kerna tak tahu apa lagi akan dikasihinya
Setelah Tuhan dan padri muda ia tinggalkan
Dan kasih yang membara di buah dadanya
Akhirnya mengapung ke paru-parunya

Siang tadi ia dikubur kemari
Kerna lewat tahu, bahwa kasih
Yang pulang dari Tuhan, daging dan kelengangan
Hanya akan berterima lagi oleh
Tepi pertemuan kembola dan langit malam

Dan di bimbang bintang Tuhan masih Maha Pengasih